DUL ANAK MODEREN
Cerita, Skenario & Sutradara: Sjuman Djaja
Produksi: PT Matari Artis Jaya Film
BEBERAPA tahun silam, Sjuman Djaja membuat film anak-anak, Si
Dul Anak Betawi. Kabarnya film itu menghasilkan banyak uang dan
jadi buah bibu anak-anak. Sukses itu yang nampaknya kemudian
menimbulkan ilham baru bagi Sjuman untuk membuat semacam seri
lanjutan yang berkisah mengenai Si Dul dan kawan-kawannya
setelah mereka sama-sama dewasa dan berada di kota metropolitan
Jakarta.
Ketika cerita - dimulai, rumah keluarga Dul sudah tidak di
Jakarta, tapi di Cibinong. Kepindahan dari Betawi ke pinggiran
itu memang tidak perlu penjelasan panjang, sebab toh luas
diketahui bahwa orang Betawi memang terdesak ke pinggir Kendati
demikian, toh Dul (Benyamin) muncul dengan pakaian anak kota,
lengkap dengan motor buatan Jepang model terakhir. Cara
bicaranya pun mirip anak Menteng, meski lagak lakunya tidak pas
dengan Betawi atau Jakarta.
Di Jakarta ia berteman dengan kawan sekampung dulu, Sapei
(Farouk Afero), Sinyo (Wahab Abdi) dan Nonon alias Christine
(Christin Hakim). Kecuali Christine, dua teman Dul lainnya
ternyata cuma tukang catut dengan gaya meyakinkan. Dan Dul yang
digambarkan keliwat bloon itu akhirnya juga "dicatut" oleh
teman-temannya sendiri. Ini soal bloon memang khas Benyamin,
tapi penonton yang dulu nonton Si Dul Anak Betawi barangkali
bisa numpang tanya, apa pasal itu Dul kecil (dimainkan oleh Rano
Karno) yang dulu lincah dan cerdas jadi amat bloon setelah
dewasa selepas bersekolah di Taman Siswa. Dan penonton memang
terpaksa tertawa ketika si bloon Dul membanggakan Taman Siswa di
depan Achmad (Achmad Albar) anak Kwitang yang mendapat
pendidikan di Perancis.
Ejek
Sjuman mengejek Taman Siswa? Kesannya memang demikian. Tapi
pengurus Taman Siswa tidak perlu merasa berkecil hati, sebab
yang diejek dalam film ini bukan cuma mereka. Orang Betawi yang
sok modern pun habis-habisan diejek Sjuman. Juga haji pun jadi
bulan-bulanan. Haji-haji penjual tanah dalam film ini
digambarkan secara amat karikatural dalam kelicikan dan
kerakusan. Tapi mengejek begini nampaknya memang salah satu ciri
film Sjuman. Dalam Si Dul Anak Betawi, guru ngaji (dimainkan
oleh Soekarno M. Noor) digambarkan sebagai mata duitan, pada
film Atheis, tokoh Haji Mustapa (dimainkan oleh Maruli Sitompul)
digambarkan sebagai orang yang gerakannya diatur oleh tokoh
komunis Anwar (Kusno Sudjarwadi), meski dalam novel Achdiat
Kartamihardja tidak begitu.
Para penonton boleh tidak setuju pada pandangan Sjuman Djaja
terhadap haji dan guru ngaji, tapi film Si Dul Anak Moderen ini
harus diakui sebagai film terlancar dari semua film yang pernah
dihasilkan oleh Sjuman. Sebagai anak Betawi asli, Sjuman
kelihatannya kenal betul-betul watak orang-orang kampungnya dan
dengan cara yang rapi ia menggambarkan kekonyolan mereka. Para
pemain pun memainkan peranan mereka dengan baik, dan dengan
bantuan Djufri Tanissan (pengarah seni) dan Tarigan MA (kamera)
sebuah tontonan ringan yang mengasyikkan telah dihasilkan oleh
Sjuman.
Adegan terakhir film ini: Dul terbaring di ranjang rumah sakit
setelah mengalami kecelakaan mobil ketika ia dengan kecewa
melarikan diri dari Christine yang menolak lamarannya. Di sam
ping ranjang berkerumun teman dan keluarganya, termasuk pak haji
(Nico Pelamonia) yang sebelumnya ikut menipu uangnya dan kini
mengangkat tangan dengan komat kamit mulut berdoa. Christine
ternyata datang dengan perubahan sikap. Dalam keadaan kaki digip
Dul loncat dari tempat tidur berlari menyongsong Christine di
lorong rumah sakit. Hanya beberapa saat setelah ia berjanji pada
ibunya untuk tidak lagi merisaukan si gadis modern. Mereka
berpelukan dan terjatuh di lantai. "Gusrak", tertulis di layar.
Selesai.
Yang tidak selesai di kepala penonton adalah pertanyaan ini:
begitu konyolkah anak Betawi dalam kota Jakarta yang modern ini?
Salim Said
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini