Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ejekan dari cibinong

Sutradara: syuman djaja produksi: pt matahari artis jaya film pemain: benyamin, farouk afero, christine h. resensi oleh: salim said.

1 Januari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUL ANAK MODEREN Cerita, Skenario & Sutradara: Sjuman Djaja Produksi: PT Matari Artis Jaya Film BEBERAPA tahun silam, Sjuman Djaja membuat film anak-anak, Si Dul Anak Betawi. Kabarnya film itu menghasilkan banyak uang dan jadi buah bibu anak-anak. Sukses itu yang nampaknya kemudian menimbulkan ilham baru bagi Sjuman untuk membuat semacam seri lanjutan yang berkisah mengenai Si Dul dan kawan-kawannya setelah mereka sama-sama dewasa dan berada di kota metropolitan Jakarta. Ketika cerita - dimulai, rumah keluarga Dul sudah tidak di Jakarta, tapi di Cibinong. Kepindahan dari Betawi ke pinggiran itu memang tidak perlu penjelasan panjang, sebab toh luas diketahui bahwa orang Betawi memang terdesak ke pinggir Kendati demikian, toh Dul (Benyamin) muncul dengan pakaian anak kota, lengkap dengan motor buatan Jepang model terakhir. Cara bicaranya pun mirip anak Menteng, meski lagak lakunya tidak pas dengan Betawi atau Jakarta. Di Jakarta ia berteman dengan kawan sekampung dulu, Sapei (Farouk Afero), Sinyo (Wahab Abdi) dan Nonon alias Christine (Christin Hakim). Kecuali Christine, dua teman Dul lainnya ternyata cuma tukang catut dengan gaya meyakinkan. Dan Dul yang digambarkan keliwat bloon itu akhirnya juga "dicatut" oleh teman-temannya sendiri. Ini soal bloon memang khas Benyamin, tapi penonton yang dulu nonton Si Dul Anak Betawi barangkali bisa numpang tanya, apa pasal itu Dul kecil (dimainkan oleh Rano Karno) yang dulu lincah dan cerdas jadi amat bloon setelah dewasa selepas bersekolah di Taman Siswa. Dan penonton memang terpaksa tertawa ketika si bloon Dul membanggakan Taman Siswa di depan Achmad (Achmad Albar) anak Kwitang yang mendapat pendidikan di Perancis. Ejek Sjuman mengejek Taman Siswa? Kesannya memang demikian. Tapi pengurus Taman Siswa tidak perlu merasa berkecil hati, sebab yang diejek dalam film ini bukan cuma mereka. Orang Betawi yang sok modern pun habis-habisan diejek Sjuman. Juga haji pun jadi bulan-bulanan. Haji-haji penjual tanah dalam film ini digambarkan secara amat karikatural dalam kelicikan dan kerakusan. Tapi mengejek begini nampaknya memang salah satu ciri film Sjuman. Dalam Si Dul Anak Betawi, guru ngaji (dimainkan oleh Soekarno M. Noor) digambarkan sebagai mata duitan, pada film Atheis, tokoh Haji Mustapa (dimainkan oleh Maruli Sitompul) digambarkan sebagai orang yang gerakannya diatur oleh tokoh komunis Anwar (Kusno Sudjarwadi), meski dalam novel Achdiat Kartamihardja tidak begitu. Para penonton boleh tidak setuju pada pandangan Sjuman Djaja terhadap haji dan guru ngaji, tapi film Si Dul Anak Moderen ini harus diakui sebagai film terlancar dari semua film yang pernah dihasilkan oleh Sjuman. Sebagai anak Betawi asli, Sjuman kelihatannya kenal betul-betul watak orang-orang kampungnya dan dengan cara yang rapi ia menggambarkan kekonyolan mereka. Para pemain pun memainkan peranan mereka dengan baik, dan dengan bantuan Djufri Tanissan (pengarah seni) dan Tarigan MA (kamera) sebuah tontonan ringan yang mengasyikkan telah dihasilkan oleh Sjuman. Adegan terakhir film ini: Dul terbaring di ranjang rumah sakit setelah mengalami kecelakaan mobil ketika ia dengan kecewa melarikan diri dari Christine yang menolak lamarannya. Di sam ping ranjang berkerumun teman dan keluarganya, termasuk pak haji (Nico Pelamonia) yang sebelumnya ikut menipu uangnya dan kini mengangkat tangan dengan komat kamit mulut berdoa. Christine ternyata datang dengan perubahan sikap. Dalam keadaan kaki digip Dul loncat dari tempat tidur berlari menyongsong Christine di lorong rumah sakit. Hanya beberapa saat setelah ia berjanji pada ibunya untuk tidak lagi merisaukan si gadis modern. Mereka berpelukan dan terjatuh di lantai. "Gusrak", tertulis di layar. Selesai. Yang tidak selesai di kepala penonton adalah pertanyaan ini: begitu konyolkah anak Betawi dalam kota Jakarta yang modern ini? Salim Said

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus