Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Yogyakarta -Penulis novel Eka Kurniawan berbagi cerita tentang proses kreatifnya dalam berkarya di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ia menekankan novel-novelnya menjadi antitesis atau berlawanan dengan heroisme atau kepahlawanan. “Tokoh-tokoh di novel saya tidak semua muncul sebagai hero. Kebanyakan berjuang untuk diri sendiri,” kata Eka Kurniawan di hadapan peserta Forum Umar Kayam Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri UGM, Selasa, 10 April 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Peraih nominasi The Man Booker International Prize, penghargaan tahunan bergengsi untuk para penulis dunia itu menggambarkan proses kreatifnya dengan melihat gambaran tentang keindonesiaan. Ia menampilkan gambar-gambar yang bicara tentang keindonesiaan. Misalnya poster bergambar foto-foto pahlawan nasional Indonesia, di antaranya Agus Salim, Antasari, Bung Tomo, Sudirman, Soekarno, Mohammad Hatta, Nyut Nyak Dien, dan Kartini.
Dia juga menyajikan karya sastra klasik Mahabharata yang bicara tentang perebutan tahta Pandawa dan Kurawa. Juga gambar-gambar tokoh pewayangan Arjuna dan Bisma. Gambar-gambar itu, kata Eka bicara tentang pertarungan elit atau perebutan kekuasaan.
Eka juga menyajikan gambar novel horor karya Abdullah Harahap, karya La Rose, cerita silat S.H Mintardja. Roman dan cerita-cerita silat itu menjelaskan bagaimana budaya pop berkembang di Indonesia. Eka tumbuh bersama karya sastra tersebut. Ada pula novel-novel karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
Keindonesiaan lewat gambar-gambar itu dia adopsi dengan sudut pandang yang berbeda dalam novel-novelnya. Ia membuat semacam bagan dengan garis dan lingkaran sebagai peta untuk membuat novelnya. Eka memilih menggunakan perspektif orang-orang biasa atau rakyat jelata sebagai pusat cerita.
Dari tokoh pewayangan ia memperoleh gambaran tentang karakter di luar arus utama yang menarik, misalnya Semar. “Wayang memberi sudut pandang kehidupan yang berwarna. Tak hanya bicara tokoh-tokoh berwajah bagus, tapi buruk rupa misalnya,” kata Eka.
Selama ini sejumlah kalangan kerap menyebut Eka sebagai penerus Pramoedya Ananta Toer. Karya-karya Eka juga seringkali disebut mengadopsi gaya realisme magis, membaurkan fiksi dan realitas karya peraih Nobel Sastra asal Kolombia, Amerika Latin, Gabriel Garcia Marquez. Novelnya berjudul Cantik Itu Luka yang telah diterjemahkan dalam banyak bahasa telah menembus sastra dunia.
Eka menyebut perkenalanannya dengan karya sastra Amerika Latin berangkat dari cara dia melihat kondisi sosial politik Indonesia yang mirip dengan negara-negara di Amerika Latin di tahun 1990-an.
Indonesia dan negara-negara Amerika Latin misalnya sama-sama pernah dipimpin diktator dengan masa kepemimpinan yang panjang. Persamaan lainnya adalah negara-negara pasca-kolonial dan agamis. Indonesia yang mayoritas Islam kuat dengan pengaruh kiainya dan Amerika Latin mayoritas katolik yang kuat dengan pengaruh pastur. ‘Saya meminjam pisau bedah mereka untuk melihat konteks sosial politik masyarakat Indonesia,” kata Eka.
Manajer PKKH UGM, Hamada Adzani, mengatakan Eka Kurniawan menjadi representasi sastra Indonesia dan diperbincangkan di kalangan internasional. “Ia novelis yang punya sumbangsih penting bagi perkembangan sastra. Karyanya banyak dibaca dan diapresiasi,” kata Hamada.