Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Otto Sidharta menghadap ke dua buah laptop, sound card, dan mini-mixer di atas meja yang bertengger di kiri depan panggung. Di tengah panggung, berdiri tiga buah mikrofon serta sebuah kendang gede dan ricikan gender Jawa. Jemarinya mulai menekan dan memutar tombol-tombol mixer. Suara lirih bermunculan. Beberapa mengeras volumenya serta melahirkan efek stereo image dan bebunyian yang berputar (surround). Bebunyian itu menciptakan ambiance atau sejenis suara-suara alam dan lingkungan. Otto tidak sedang memutar rekaman suara. Tapi, melalui sensor elektromagnetik dari seperangkat alat elektronik tadi, Otto menangkap getaran-getaran gedung pertunjukan dan mengolahnya dengan intuisi musik digital. Dan, muncullah spektrum bunyi musikal yang meruang.
Bunyi-bunyi atmosfer ruang itu berlangsung dalam durasi yang cukup lama. Hingga seorang pemain flute masuk ke ruang pentas, diam sejenak di depan salah satu mikrofon, lalu mulai memainkan nada-nada tunggal. Entah nada apa yang dimainkan. Tapi kadang ia juga memainkan nada panjang dan menyambungkannya dengan nada lain secara melismatis atau secara stakato. Pada beberapa momen, ia bahkan mendistorsi nada dengan teknik yang tidak wajar. Pemain flute itu seolah-olah sedang melemparkan umpan balik setiap modul bunyi yang dilayangkan Otto. Begitu sebaliknya, Otto senantiasa melayani setiap input nada yang dibunyikan pemain flute. Mereka berdialog. Tapi kadang tidak saling merespons, sehingga melahirkan lapis-lapis bunyi yang lebar dan multiwarna, chaos, serta tak berujung.
Kemudian seorang pria memasuki panggung, tanpa membawa alat musik apa pun. Hanya mulut yang digunakan untuk memainkan musiknya. Dari kerongkongan yang kering, pria yang menggelung rambutnya itu mendaraskan suara-suara purbawi. Ia tampak menguasai teknik pernapasan yang mumpuni. Bahkan desis vokal berfrekuensi rendah pun mengalir dalam sustain bunyi yang halus, lembut, tidak patah-patah. Sesekali ia menyentakkan lengkingan bunyi yang keras dan parau, dan Otto mengolahnya menjadi spektrum bunyi yang kering dan panjang.
Otto tidak hanya mengolah melalui patcher, tapi juga mengelaborasikan sumber-sumber bunyi yang diterima dengan sound bank yang telah ia rekam di laptop. Sebagai komponis, secara intuitif dan spontan, ia kendalikan semuanya. Termasuk ketika seorang pemain saksofon turut ambil bagian. Dengan cara yang sama, pemain saksofon yang menyampaikan input bunyi-bunyi analog direspons dan diolah dalam perangkat digital dengan intuisi musikal yang spontan.
Selama hampir 45 menit, kepada penonton disajikan olahan bunyi elektroakustik—yang matematis—tapi melalui dialog intuisi musikal antarpemain dan komposer yang bersahutan. Di beberapa bagian, muncul momen yang mengasyikkan bagi permainan individu. Otto membiarkan dirinya dan para pemain bertamasya dalam atmosfer bunyi yang terbuka bagi semua kemungkinan. Pada bagian inilah kekakuan sifat, karakter, dan bentuk musik elektroakustik lenyap.
Pesohor musik elektronik yang berguru pada komponis Ton de Leeuw di Sweenlick Conservatorium Amsterdam, Belanda, ini memang tidak main-main dengan garapan musiknya. Melalui komposisi Mimpi: An Intuitive Electroacoustic Music—yang meluluskannya sebagai doktor penciptaan musik pertama dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta—ia menepis kodrat musik elektroakustik yang dicap sekadar memutar rekaman atau hanya memotong-motong pita rekaman (layer) dan menyambung-nyambungkannya dalam tatanan pola ritme, dinamik, serta warna bunyi khusus. Pertunjukan pada Kamis siang, 25 Februari 2016, di Gedung Teater Kecil ISI Surakarta itu menegaskan bahwa musik elektroakustik bisa digarap dengan intuisi musikal yang spontan dan lebih manusiawi. Dengan begitu, ia bisa tampil dalam performa yang lebih hidup pada saat pementasan.
Untuk proyek musik ini, Otto melengkapi laptop berperangkat lunak MAX-MSP dengan berbagai patcher: program sisipan yang dirancang selama proses penyusunan komposisi. Ia juga melengkapinya dengan sound bank berisi berbagai rekaman bunyi binatang, suara alam, bahkan rekaman rapat, dan lainnya. Ia juga menggunakan sound card yang berfungsi sebagai alat untuk mengkonversi bunyi analog ke digital untuk diolah dalam komputer, dan sebaliknya, mengkonversi bunyi digital dari komputer ke perangkat sound system.
Otto tentu bukan orang pertama yang melakukan ini. Karlheins Stockhausen pernah menggabungkan musik elektroakustik dengan pemain musik secara live. Misalnya komposisi yang berjudul Kontakte untuk musik elektronik, piano, dan perkusi. Hampir seluruh bunyi elektronik pada Kontakte dihasilkan dari impulses generator yang kecepatan dan durasi impulsnya bervariasi. Selain itu, Stockhausen menggunakan filter serta beberapa bunyi lain yang dihasilkan melalui perangkat sine wave dan square wave generators.
Bagi Otto, karya tersebut belum menyentuh aspek spontanitas intuitif yang optimal. Sebab, seturutnya, pada intuitive music, proses penciptaan dan pementasannya dilakukan secara spontan. Setiap pihak yang terlibat boleh mengungkapkan ekspresinya secara bebas dan spontan sebagai respons atas bunyi dan suasana yang terjadi pada saat itu. Jadi mirip dengan musik chance atau aleatoricmusic. Hanya, pada kedua kategori musik ini, materi musikal sudah dipersiapkan. Sedangkan pada intuitive music, semuanya diciptakan secara instan, tergantung apa yang ingin dilakukan pemusik secara spontan.
Pengungkapan ekspresi musikal yang spontan adalah ruang penyeimbang ekspresi mekanistis dan matematis dalam musik elektroakustik. Ekspresi spontan di sini adalah tidak lain dari bentuk improvisasi yang berpijak pada kreasi instan, di mana prinsip atau aturan boleh digunakan atau sama sekali tidak digunakan oleh para pemain. Komponis bisa memberikan instruksi kepada para pemain secara verbal atau berupa grafik, gambar, bunyi, bisa juga suasana lingkungan sekitar. Reaksi atau respons pemain sepenuhnya diberikan atas dasar intiusi pribadi pemainnya secara spontan.
Musik seperti ini tidak terlepas dari pengaruh John Cage, komponis yang sangat penting pada abad ke-20. Sebagai pionir konsep indeterminasi yang dipengaruhi konsep musik Zen Buddhism dan I Ching mengenai perubahan, Cage menawarkan resep bermain musik yang jauh menanggalkan atribusi musik Barat. Selain sebagai pelopor dari penggunaan benda-benda non-alat musik yang lazim, konsepnya tentang silence music pada komposisi musik 4'33'' adalah embrio dari intuitive music. Otto mengartikan konsep tersebut sebagai sinyal bahwa permainan musik bisa dilihat seperti improvisasi bebas dalam bentuk komposisi terbuka, tapi dengan aspek intuitif kolektif. Di sini, pengertian komposisi musik tidak seperti pada pengertian komposisi tradisional, di mana struktur dan bentuk menjadi tujuan utama.
Dan, sebagaimana makna harfiah dari mimpi, komposisi Mimpi: An Intuitive Electroacoustic Music tidak menjadikan struktur dan bentuk sebagai sesuatu yang terencana. Ia sebuah komposisi yang mengalir intuitif dan spontan. Bahkan, sekalipun komponis juga menyediakan kendang gede dan gender Jawa, toh itu hanya menjadi properti panggung, lantaran tiada pemain yang tergerak ingin memainkannya.
Joko S. Gombloh, (Pemerhati Musik)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo