Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Jawa dari Pintu Belakang Hanafi

Hanafi mengajak penonton menyusuri pengalaman personalnya dari pintu belakang Galeri Nasional.

7 Maret 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para penonton berdesakan antre dari pintu belakang Gedung A Galeri Nasional, Jakarta. Begitu masuk, kita mula-mula dihadapkan pada serangkaian gambar enthung (kepompong). Kepompong yang digambar satu-satu itu ada kesan baru jatuh dari pohon randu. Ujung kepompong itu masih bisa bergerak-gerak. Ada yang mengarah ke kiri dan ke kanan. Sebuah kepompong tampak rebah. Adalah menarik bahwa gambar enthung digunakan Hanafi untuk memulai sebuah "perjalanan" dari pintu belakang.

Tahun lalu, saat menggelar pameran "Oksigen Jawa", pria 54 tahun ini mengubah ruang pameran Galeri Soemardja Institut Teknologi Bandung menjadi labirin dengan sekat-sekat ruang batu bata putih. Setelah mendengar suara-suara mesin jahit sepanjang labirin, barulah pengunjung menyaksikan karya-karya visual Jawa dari perspektif personal Hanafi.

Kini kita diajak masuk dari pintu belakang. Jawa, bagi Hanafi, agaknya bukan hanya persoalan bentuk, melainkan juga perspektif cara memandang. "Kalau pulang ke rumah, aku lebih suka masuk lewat pintu belakang," kata Hanafi. Menurut dia, pintu belakang di kampung-kampung Jawa selalu menjadi pintu informal. Pameran ini menyajikan karya-karya Hanafi dalam lima bulan terakhir.

Untuk pameran ini, Hanafi melakukan perjalanan ke Tengger, Imogiri, Sangiran, dan daerah-daerah di masa kecilnya di Purworejo. Yang menarik, Dia selalu bertolak dari gagasan mengenai hal di sekitarnya yang remeh-temeh tapi dapat diabstraksikannya ke tingkat eksekusi artistik yang memiliki dimensi interior ruang yang kuat.

Menempatkan gambar mengenai kepompong sebagai awal tadi ternyata memiliki sejarah personal sendiri. Dalam dunia permainan anak-anak di Jawa, enthung bisa menjadi tempat bertanya mau ke mana. Ujung enthung bisa mengarah ke empat mata angin: lor (utara), kidul (selatan), wetan (timur), dan kulon (barat). "Mungkin alasan saya merantau ke Jakarta karena enthung mengarahkan saya ke kulon," kata Hanafi.

Setelah menyaksikan kepompong, masuk ke ruangan lain, kita melihat 60 unit kempul tembaga dengan logo Bayer dalam karya berjudul Sakit Kepala-Masuk Angin ditempelkan di tembok. Inilah refleksi Hanafi mengenai dunia obat di rumahnya. Hanafi ingat, ketika dia kecil, ibu dan tetangganya kerap membuatkan jamu kalau ada anggota keluarga yang sakit kepala atau masuk angin. Tapi kebiasaan ini terkikis ketika Bayer, produsen obat, pertama kali memasarkan produknya di Jawa. "Semua orang menjadi seragam, mengkonsumsi obat, melupakan kearifan lokal."

Tak jauh dari sana, Hanafi membangun sesosok piramida buntung dari logam yang salah satu sisinya ditempeli bakiak-bakiak. Piramida buntung itu diinspirasi dari makam raja-raja Jawa di Imogiri yang baru saja dikunjunginya. Adapun bakiak merupakan alas kaki khas Jawa yang kerap digunakan untuk pergi ke masjid. Sebuah refleksi mengenai makam dan masjid. Salah satu karya yang kuat adalah instalasi berjudul Error+Noise. Instalasi ini menggunakan materi ratusan helm bekas tentara yang gugur sepanjang perang. Melalui instalasi ini, Hanafi mengkritik tingginya angka kematian pasca-1965 di Jawa. Ia membuat sebuah tempayan raksasa yang diisi puluhan helm tentara asli.

Akan halnya dalam instalasi Entrance without Ontology, ia menyajikan ruang keluarga tradisional. Kursi dan meja yang tersusun lengkap dengan rengginang, deretan lima sanggul dan blangkon yang tersusun di tembok, mesin jahit tua dengan layar yang menampilkan kehidupan tradisional; membajak tanah pertanian, bersepeda. Khusus instalasi ini, tidak boleh ada potret yang diambil.

Delapan panel lukisan dengan ukuran berbeda menggambarkan sebuah panorama "surealis" sepanjang dinding. Kita menyusuri sebuah pemandangan aneh, mungkin imaji dari laut kering, lalu muncul tunggul-tunggul kayu, pohon murbei, dan kepala-kepala kuda laut. Karya ini diberi judul Tak Lelo-Lelo Ledung—judul sebuah lagu untuk meninabobokkan bayi di Jawa. Karya ini bersanding dengan rak besi pengering ikan asin.

Lalu ada instalasi sekitar 20 setrika arang, yang disusun melengkung. Ada juga seri Aji Saka, mitos suku Tengger. Seri ini terdiri atas sembilan panel lukisan, sembilan karya trimatra dari pelat aluminium dengan pola dan warna sarung suku Tengger, serta satu pelat besi berukuran 2 x 3 meter yang menyerupai sosok orang di posisi terbalik. Pada beberapa bagian, bentuk itu mirip dengan aksara Hanacaraka.

Total ada sembilan instalasi, sebelas lukisan, dan dua video yang dipamerkan. Harus diakui, salah satu yang kuat dari Hanafi adalah bagaimana cara ia menempatkan obyek-obyek dan lukisan dalam perspektif ruang. Hanafi memiliki sensibilitas dalam menyusun dan mengelola ruang. Tidak membosankan atau vulgar tapi cukup efektif menyajikan sesuatu yang tak terduga. Di bagian yang seharusnya menjadi lobi dari Gedung A, misalnya, ia menghidangkan dua lukisan, Mask in the Blue Pool dan No Other Borobudur. Mask in the Blue Pool menampilkan imaji kolam Taman Sari, kolam para selir Raja Yogya zaman dulu. Tapi cara Hanafi memilih sudut pandang kolam memberi kesan garis dan kedalaman sendiri yang aneh. Apalagi di depannya digeletakkan instalasi dua lonceng besar berkarat.

Tatkala pameran ini berakhir di pintu depan gedung A, pengunjung disuguhi apa yang seharusnya biasanya diletakkan di "pintu belakang", yaitu sebuah sumur bata, dinding-dinding anyaman bambu, rak, dan tumpukan kayu bakar. Sumur itu tentu tidak digali betulan. Sumur dibuat sedikit menjulang. "Tidak ada lagi air di kedalaman 50-60 meter. Mungkin, untuk melepas dahaga, kita harus mencari Tuhan," kata Hanafi sedikit berfilsafat.

Pameran ini diberi judul "Derau". Derau berarti gangguan suara atau noise yang mengganggu tatanan yang sudah baku. Namun kita lihat gangguan Hanafi bukanlah dalam bentuk perlawanan. Dia tidak menyajikan sebuah Jawa yang ditimbun sejarah, sebuah Jawa yang rahasia atau Jawa yang sisi-sisinya tak pernah dikuak. Semua yang disajikan Hanafi adalah Jawa yang kita kenal. Tapi cara pandang personal Hanafi yang emosinya senantiasa ngungun dan minimalis mampu membuat Jawa yang kita kenal pun menjadi lain.

Amandra M. Megarani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus