ENTAH sejak kapan manusia mesra dengan bunga. Yang pasti, Pujangga Shakespeare dari Inggris sempat meninggalkan klise abadi hingga kini, "Katakanlah dengan bunga." Lalu ucapan ini malah sering jadi "senjata" bagi mereka yang apakala gundah dengan suami, atau istri, atau pacar. Dan sebagai simbol yang banyak amsalnya itu, singkat kata, bunga memang tak tergugat lagi dalam hati insan, pergaulan, dan kehidupan. Itu tercermin, misalnya, pada pawai menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan ke-43 dan HUT DKI Jakarta ke-461, Minggu sore, 21 Agustus lalu. Bunga turut menyemarakkan acara. Ketika arakan melintas di sepanjang jalan Silang Monas sampai Bunderan Senayan, ratusan ribu penonton terpesona kagum. Dari 130 mobil yang berpawai, 20 di antaranya berbunga warna-warni, yang bergabung dalam Yayasan Bunga Nusantara yang dipimpin Nyonya Bustanil Arifin. Dan untuk hiasan mobil-mobil itu, diperlukan sekitar 4 juta kuntum bunga. Bunga yang dijual di Jakarta didatangkan dari Desa Cihideung, Kecamatan Cisarua, Bandung. Juga ada yang dari Tegal, Cirebon, Sukabumi, dan Puncak. Kembang-kembang itu ada aster, suyok, crysant, gladiol, dan sebagainya. Di Cihideung terdapat 15 hektar kebun bunga potong (biasanya untuk membuat karangan bunga) dan 35 hektar bunga yang ditanam di halaman rumah. Lahan seluas itu milik 140 penanam yang tergabung dalam Koperasi Bunga Indonesia Cihideung Indah (KBICI). Di desa yang masuk kawasan Lembang ini harga bunga Rp 10 sampai Rp 100 setangkai. "Tergantung jenisnya," kata Endang pada Ida Farida dari TEMPO. Petani berusia 41 tahun itu sekarang adalah ketua KBICI. Harga bunga dahlia, misalnya, Rp 10 setangkai, sedang sedap malam Rp 100. Dari usahanya itu, rata-rata Endang memperoleh Rp 200 ribu sebulan. Lain dengan di Pasar Pagi Rawabelong, Jakarta. Apidpuddin, 32 tahun, menjual krisan Rp 100 setangkai. Penjaja asal Cipanas ini membelinya dari petani Rp 80. Jika sedang mujur, setiap hari bunga yang dijualnya laku 1.000 hingga 2.000 tangkai, dengan untung Rp 20 ribu. Bila apes, ia cuma mengantungi Rp 500. Bahkan ia juga sudah biasa rugi berat. "Karena kesegarannya hanya tiga hari. Lebih dari itu, terpaksa saya jual di bawah harga. Bila tidak juga laku sesudah layu, ya, terpaksa dibuang," ujar Apid pada B. Aji dari TEMPO. Padahal, di kala segar, bunga jenis tertentu dikagumi serta dipuji selangit. Bahkan sewaktu diperlukan, seperti menghias kendaraan yang menyemarakkan pawai itu, ada yang mengalirkan biaya membeli bunga sampai Rp 20 juta. Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini