Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEHARI menjelang malam penganugerahan pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010, A.S. Laksana gundah. Juri lomba dua tahunan yang digelar sejak 1974 itu tak bisa membayangkan reaksi hadirin yang akan datang.
Dan Jumat malam dua pekan lalu, tatkala Anton Kurnia—rekannya sesama juri—membacakan hasil kerja tim juri di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, ia memilih berdiri di barisan belakang. Dia enggan duduk di kursi tim juri. Sapardi Djoko Damono, juri lainnya, malah tak terlihat di malam penganugerahan itu.
Hadirin tercekat ketika Anton Kurnia mengatakan, ”Harapan kami mendapatkan satu karya istimewa tak terpenuhi. Tak ada naskah yang kuat jadi pemenang utama.”
Itulah kesepakatan juri. Menurut A.S Laksana, dia, Anton, dan Sapardi berdebat sengit pada rapat terakhir, sampai akhirnya memilih empat unggulan, tanpa pemenang utama. Keempat unggulan itu adalah naskah nomor 6 berjudul Persiden karya Wisran Hadi, 26 (Lampuki, Arafat Nur), 39 (Jatisaba, Ramayda Akmal), dan 130 (Memoar Alang-alang, Hendri Teja). Masing-masing mendapat hadiah uang tunai Rp 7,5 juta.
Persiden berlatar Minangkabau. Novel itu mengundang tafsir baru tentang cara mengkritik masalah adat. Kegamangan pada tradisi dibenturkan dengan modernitas. Alur bercabang di bagian akhir sangat menarik, tidak konvensional. Tradisi bertutur khas Minangkabau menjadikan novel 223 halaman ini segar. Sayangnya, teknik pola bertutur lisan itu membuat cara bercerita ngelantur.
Lampuki berkisah tentang Aceh ketika masih berstatus daerah operasi militer. Penulis tajam menghadirkan luapan emosional rakyat Aceh. Meskipun karakter para tokoh kurang kuat, penokohannya tak linear. Sayangnya, diksi kurang kuat. Banyak istilah tak berkekuatan literer, seperti ”pemerintah terkait” atau ”hidup makmur serba berkecukupan”. Dengan ketebalan 236 halaman, penulis tidak taktis membangun dramaturgi. Alhasil, cerita berjalan lambat.
Jatisaba merekam kisah trafficking, berkedok pengiriman tenaga kerja Indonesia, dituturkan dari sudut pelaku kejahatan. Perempuan yang sebelumnya menjadi korban kejahatan yang sama kembali ke desanya, lalu bergerilya mencari korban. Banyak karakter muncul, tapi tak terjaga baik. Juga terlalu mengumbar selipan bahasa lokal, yang mengganggu pembaca. Novel 210 halaman ini mendapat perhatian serius juri karena Bab I hanya merupakan kopian atau pengulangan Bab XX. Juri merekomendasikan penulisan ulang Bab I atau penulis membuangnya sekalian.
Memoar Alang-alang berlatar historis, diilhami kisah Tan Malaka. Sandaran pada riset awal abad ke-20 di Sumatera, Jawa, dan Belanda tergarap serius. Era kolonial dan kaitannya dengan pembangunan tokoh utama amat hidup. Cinta segitiga sang tokoh berhasil membebaskan novel 343 halaman ini dari rangkuman sejarah tak bernyawa. Sayangnya, proses membangun cerita amat lambat. Penulis terjebak dalam deskripsi lokasi, peristiwa, atau persoalan.
Juri mencatat, semua karya bertele-tele, kehilangan arah. Selama tiga bulan proses penjurian, juri melahap 254 naskah setebal 300-500 halaman dengan tiga kali rapat. Rapat pertama menentukan poin penilaian dan mekanisme penentuan pemenang. Pada rapat kedua, setiap juri memilih 10 unggulan. Rapat ketiga memutuskan pemenang. ”Semua karya mengecewakan,” kata A.S. Laksana.
Upaya mengatrol, agar muncul satu pemenang, gagal. Penyebabnya, semua penulis lemah dalam keperajinan bahasa. Menurut juri, tanpa itu, ide sedahsyat apa pun tak akan menggugah. Para juri juga melihat para peserta kurang berminat membaca. Akibatnya, strategi membangun cerita lemah. Referensi, cara menulis dan bertutur, serta penggalian sumber terasa kering. Kondisi ini mengakibatkan semua karya cenderung menjadi media dakwah sang penulis. ”Penulis menunggangi cerita dan karakter untuk kepentingan pribadi,” ujar Anton.
Ramayda, satu-satunya perempuan dari empat pemenang unggulan, mengaku bisa menerima kritik juri. Mahasiswi semester pertama pascasarjana humaniora di Universitas Gadjah Mada itu akan merevisi Jatisaba, lalu menerbitkannya. Akan halnya Wisran Hadi, dramawan senior yang sejak 1978 kerap memenangi lomba penulisan naskah sandiwara-drama Dewan Kesenian Jakarta, mengatakan, ”Meski hanya unggulan, saya senang novel saya dihargai.”
Dwidjo U. Maksum
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo