Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah Wartawan di Balik Jeruji

Sebuah film yang diinspirasi kisah nyata tentang wartawan yang dijebloskan ke penjara.

24 Januari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NOTHING BUT THE TRUTH
Sutradara: Rod Lurie
Skenario: Rod Lurie
Pemain: Kate Beckinsale, Matt Dillon, Alan Alda, Vera Farmiga

DI suatu hari yang paling sulit bagi Rachel Armstrong. Pada akhirnya, pilihan yang ada di hadapannya serba kelabu. Mengungkap sumber dan Rachel akan mengkhianati profesinya sebagai seorang wartawan. Jika Rachel berkeras bungkam, dia akan dijebloskan ke penjara dan anaknya akan terabaikan.

Plot cerita yang menyambar headline koran, atau minimal yang mengambil sebagian besar sebuah skandal besar yang menjadi pembicaraan media, selalu mempunyai risiko besar. Jika digarap dengan serius dan teliti seperti karya All the President’s Men (Alan J. Pakula, 1976) atau The Insider (Michael Mann, 1999), ini akan menjadi film klasik yang mampu menembus ruang dan waktu. Tapi, jika penggarapannya lebih mementingkan sensasi dan meromantisasi dunia jurnalisme, film-film ini akan berlalu begitu saja.

Film Nothing But the Truth mengisahkan seorang wartawati investigasi dari Washington, DC, Rachel Armstrong (Kate Beckinsale), yang secara tak sengaja mendengar beberapa kisah dari obrolan ibu-ibu di pesta anaknya. Dari obrolan ini, Rachel lalu melakukan cek dan recheck serta menyusuri seabrek riset. Belakangan, dengan nekat dia menyatakan kepada Erika van Doren (Vera Farmiga), salah satu ibu dari kawan anak Rachel, bahwa dia akan membuka kedok Erika sebagai agen CIA.

Tak mengherankan jika serial berita Rachel Armstrong mengguncang. Dia didatangi seperangkat mesin negara, termasuk jaksa khusus Patton Dubois (Matt Dillon) yang memberi dua pilihan muskil: Rachel dipaksa membuka sumbernya yang dianggap membocorkan rahasia negara karena memberi tahu identitas Erika van Doren atau dia dicemplungkan ke penjara. Rachel—sudah bersuami dan memiliki satu anak—memutuskan untuk bungkam.

Dan kita menyaksikan sekelebatan kisah nyata wartawan Judith Miller yang juga dijebloskan ke penjara karena tak mau mengungkap narasumber yang menguak identitas agen CIA, Valerie Plame.

Tentu saja sutradara Lurie harus memperlihatkan problem rumah tangga Rachel, yaitu Ray (David Schwimmer), yang tidak memperlihatkan dukungannya terhadap risiko pekerjaan istrinya. Bukan hanya karena Rachel terpaksa menyerahkan seluruh pengasuhan anak mereka kepada suaminya, tapi ya dia memang tipe suami lemah yang tidak bisa diguncang problem. Bahasa gampangnya: mau enaknya sendiri.

Persoalan rumah tangga bercampur baur dengan politik di penjara (berebut tempat tidur dan proses memperoleh rasa hormat dari sesama narapidana); tekanan jaksa Dubois semakin keji; dan pengacara Rachel yang flamboyan, Alan Burnside (Alan Alda), yang tampak sibuk sekali dengan potongan jasnya yang terbaru,ternyata argumen pembelaannya di ruang pengadilan sulit terbantahkan.

Lurie mengaduk semua lapisan problem ini dengan ritme yang cepat. Semua bangunan disusun dengan rapi dan ketegangan dicicil perlahan-lahan. Para pemain berhasil menjadi bagian bangunan yang mendukung ketegangan itu, terutama saat-saat Vera Farmiga dan Kate Beckinsale sama-sama memperlihatkan betapa keduanya bisa menjadi sesama kepala batu.

Kate Beckinsale akhirnya bisa meyakinkan penonton bahwa dia adalah seorang wartawan (”problem” menjadi seorang wanita yang sangat jelita). Peristiwa demi peristiwa buruk yang menimpa Rachel pada setiap langkah yang diambilnya tak kunjung membuatnya luruh dan kalah (hingga kita berpikir bagaimana bisa dia menikah dengan lelaki selemah itu. Ya, dalam hidup, cinta memang ”barang” paling sulit dicerna).

Sesekali saat simpati kita mulai menipis pada karakter Rachel Armstrong yang tampak sangat keras kepala, kita juga bertanya, betulkah ada karakter seteguh itu dalam hidup. Tentu saja ada. Kita baru diingatkan kembali, bukankah Lurie terinspirasi oleh kisah nyata wartawan Judith Miller? Tapi ”inspirasi” yang kemudian disusun menjadi sebuah kisah fiksi ini memang menjadi perdebatan baru yang menarik: apakah kelokan plot terakhir—yang maksudnya ingin jadi kejutan—tentang ”sumber” yang dipersoalkan itu realistis? Apakah yang dimaksud ”sumber” oleh Rachel Armstrong itu adalah sebuah ”sumber” atau merupakan ”asumsi awal” yang ternyata memang sebuah ”fakta”? Pada bagian akhir ini, cerita dan skenario Lurie terasa dipaksakan.

Selain sebagai hiburan yang menarik—mumpung masih main di bioskop, tontonlah—dan DVD-nya layak dijadikan koleksi, film ini tentu bisa menjadi contoh tentang integritas seorang wartawan.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus