Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keruntuhan itu tidak serta-merta. Tanda-tandanya sebetulnya mulai terlihat sejak awal 1997, ketika bangunan-bangunan pokok yang menjadi basis legitimasi utama kekuasaannya mulai rontok satu per satu. Atau, minimal, tak lagi sepenuhnya berada dalam genggam kendalinya.
Yang pertama, soal mitos keajaiban pembangunan ekonomi Orde Baru: pertumbuhan ekonomi yang menggelembung tujuh sampai delapan persen setahun, dan angka penduduk miskin 64 persen pada 1965 yang berhasil dipangkas tinggal 11 persen pada dua dekade kemudian. Berkibar-kibarnya angka-angka cemerlang itulah yang acap kali dijadikan alasan untuk mengedepankan stabilitas dan mengekang demokrasi. Sampai tibalah saatnya badai krisis moneter menerpa. Nilai mata uang rupiah langsung terjerembap, dan tak ayal membuat angka pertumbuhan yang semula menakjubkan itu kontan terjun bebas. Tidak tanggung-tanggung, menukik sampai minus 16,5 persen pada kuartal kedua tahun 1997. Sementara itu, jumlah orang miskin meroket lagi mencapai 20 juta orang, atau sekitar 30 persen.
Kegagalan pemerintahan Soeharto untuk segera keluar dari krisis ekonomi yang berlarut-larut itu langsung ditangkap sebagai rontoknya basis legitimasi pemerintahan Orde Baru. Puncaknya adalah pada 15 Januari 1998. Saat itu, Michael Camdessus, Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF), dengan angkuhnya sambil bersedekap mengawasi Soeharto yang membungkuk di hadapannya, meneken Memorandum IMF. Sebuah tanda takluk. Soeharto, "si anak bandel", akhirnya bersedia melaksanakan reformasi ekonomi total demi pinjaman US$ 4 miliar lebih dari IMF.
Momentum ini amat signifikan. Peluang perubahan mulai terpampang. Kelompok-kelompok kritis mulai lebih berani secara terbuka menyatakan kritik dan perlawanan terhadap kepemimpinan Soeharto.
Bangunan kedua yang menopang kekuasaan Soeharto adalah politik persatuan-kesatuan. Atas nama itulah, segala sesuatu yang berbau perbedaan, apalagi konflik SARA, diharamkan. Namun, pada akhir Desember 1996, gelombang kerusuhan SARA meledak berentetan di sepanjang kepulauan Nusantara. Mulai kerusuhan Dayak-Madura di Sanggauledo, Kalimantan Barat, diikuti kerusuhan di Rengasdengklok, Tasikmalaya, Pasuruan, Probolinggo, Pekalongan, Situbondo, Banjarmasin, Timor Timur, Irianjaya, dan Ujungpandang. Gelombang kerusuhan SARA, yang pada masa sebelumnya akan dengan serta-merta dapat segera dipadamkan, kini seolah tak kuasa lagi dibendung. Api kerusuhan merembet begitu cepat dari satu daerah ke daerah lain dalam rentang waktu yang relatif singkat.
Bangunan ketiga yang menopang kekuasaan Soeharto itu adalah apa yang ia sebut-sebut sebagai "konstitusi". Semasa berkuasa, Soeharto adalah sang penafsir tunggal konstitusi. Yang konstitusional dan yang tidak, tergantung dari sabdanya. Soeharto, pendeknya, punya monopoli atas kebenaran. Satu hal yang menurut J. Kristiadi dari CSIS sama bahayanya dengan komunisme. Bukan karena kekejamannya, tapi justru karena monopolinya atas kebenaran. Kebenaran, dalam sistem komunis, hanya datang dari politbiro.
Padahal, menurut Mochtar Pabottingi, yang terjadi justru sebaliknya. Ia menyitir salah satu butir pernyataan LIPI tanggal 18 Mei 1998, "Argumen konstitusionalitas yang selama ini dipakai oleh rezim Orde Baru dalam rangka suksesi dan reformasi pada hakikatnya tidak konstitusional." Pelaksanaan pemilihan umum adalah contohnya: dengan jatah Golkar yang sudah dipatok, sistem penghitungan suara yang tidak transparan, serta pengawasan yang dimonopoli.
Pemilu terakhir adalah bukti dari rekayasa telanjang pemerintah untuk memenangkan Golkar, mesin politik Orde Baru. Kepala Staf Angkatan Darat waktu itu, Jenderal Hartono, bahkan sampai petantang-petenteng mengenakan jaket kuning, untuk memperlihatkan pemihakan habis-habisannya pada Golkar. Efeknya, para panglima kodam sampai komandan korem ikut-ikutan berjaket kuning. Palka jalan, tugu, dan berbagai lokasi umum sampai ke pagar rumah, tak luput dari gerakan "kuningisasi" Gubernur Jawa Tengah Soewardi, yang memicu perlawanan masyarakat itu.
Ujung-ujungnya, berbagai kerusuhan yang dipicu oleh kekesalan masyarakat atas perilaku over acting aparat yang ingin memenangkan Golkar itu meledak di mana-mana. Di Pekalongan, panggung kampanye yang disediakan untuk Mbak Tutut, putri Soeharto, dibakar massa. Kerusuhan merembet ke mana-mana, membuat pemilu terakhir itu menjadi pemilu paling berdarah. Majalah Time mencatat tak kurang dari 300 nyawa melayang sia-sia.
Tak hanya itu. Berbagai operasi intelijen digelar untuk mengerdilkan PDI, yang waktu itu mulai menggeliat. Bahkan, Megawati, yang lagi naik pamornya, tak ampun lagi digusur. Golkar pun lalu melenggang menyapu 74 persen suara. Tapi rakyat punya perlawanannya sendiri. Dengan mengibarkan bendera koalisi "Mega-Bintang", terjadilah penggembosan PDI Soerjadi yang secara amat memalukan cuma berhasil meraih tiga persen suara, dan hanya bisa menggenapi jumlah minimal 13 kursi di DPR setelah "diselamatkan" Golkar dengan patgulipat pemberian kelebihan suaranya (stembus accord).
Akhirnya, dalam ritual lima tahunan yang diberi nama Sidang Umum MPR, seluruh wakil rakyat koor memilih Soeharto menjadi presiden untuk ketujuh kalinya, meski sebelumnya Soeharto sendiri telah menyatakan keinginannya untuk lengser keprabon dan madeg pandhito, dan meminta Harmoko untuk mengecek kebenaran pencalonannya sebagai presiden. Ternyata, yang diminta untuk mengecek cuma menanyakannya ke para gubernur yang, terang saja, langsung mengamini. Soeharto pun lagi-lagi diangkat menjadi presiden. Dan yang paling membuat tercengang banyak orang adalah pilihannya untuk anggota Kabinet Pembangunan VII. Soeharto seakan menutup telinga dari teriakan reformasi yang saat itu mulai menggema. Beberapa orang yang disorot KKN justru ditunjuknya, seperti: putrinya sendiri, Siti Hardiyanti Rukmana; kroninya, Muhammad "Bob" Hasan dan Haryanto Danutirto, yang dicurigai korup. Akibatnya, gelombang demo menuntut reshuffle kabinet pun marak mengiringi gugatan reformasi.
J. Kristiadi melihat bahwa terlalu lamanya kekuasaan Orde Baru menyebabkan terjadinya pembusukan politik. Secara sistemik, institusi-institusi politik sudah tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya. Semua lembaga politik seperti MPR, DPR, DPA, sudah menjadi bagian dari birokrasi. MPR/DPR terbentuk dari hasil rekayasa. Sehingga, menurut istilah Mochtar, lebih tepat disebut sebagai Majelis Permusyawaratan Rezim. Tujuannya cuma satu: melanggengkan sistem politik darurat, yang pada gilirannya mengekalkan sistem rezim militer.
ABRI, yang seharusnya merupakan alat negara, dijadikannya sebagai alat kekuasaan. Sehingga, terjadilah apa yang disebut Mochtar sebagai pengukuhan kedaulatan kekuasaan, bukan kedaulatan rakyat. Suatu "kedaulatan bedil", hasil dari "rezim bedil", yang pada puncaknya hanya menjadi bagian dari kepentingan satu orang, yaitu Soeharto sendiri. Satu hal yang bukan saja hanya menyebabkan distorsi, tapi sudah menyebabkan kesewenang-wenangan. Sebuah pembusukan di dalam.
Soeharto memang tidak pernah menyiapkan sebuah sistem yang mampu mengontrol dia, sampai akhirnya kebusukan sistem politik itulah yang mengambrukkannya.
Karaniya Dharmasaputra, Ahmad Fuadi, Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo