Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dokumentasi tentang identitas dan perspektif generasi keturunan Maluku yang hidup di Belanda.
Dengan proyek ini, mereka baru merasa terkoneksi dan mengenal akar keluarga mereka.
Saat tampil di Ambon, mereka mengaku merasa cukup emosional bisa berada di tengah keluarga dan kerabat, akar mereka.
MEREKA mengantarkan koreografi dengan gerakan perlahan diiringi ketukan-ketukan. Lalu terdengar bunyi gamelan. Mereka bergerak lambat dalam koreografi sederhana: merentangkan tangan, memutar, mengayunkan bahu dan tangan sambil melangkah mengangkat kaki, juga melompat. Suara gamelan berpadu dengan musik modern.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka bergerak dalam formasi berkelompok, lalu menyebar dengan gerakan masing-masing dan kembali menyatu. Meski tarian itu merupakan koreografi modern, terselip gerak tari-tari tradisi Jawa dan Bali di antara gerakan para penari. Ada gerakan tangan tari Jawa, ada pula gerak ala tari Bali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka adalah penari yang menampilkan koreografi berjudul Keturunan. Proyek Art& dari Belanda ini mempertemukan warga keturunan Belanda dengan Indonesia untuk mengungkapkan perspektif generasi keturunan Maluku di Belanda dan hubungannya dengan Indonesia. Sebuah inisiatif untuk menjembatani perjalanan serta mengeksplorasi identitas, budaya, dan sejarah masa lalu dengan generasi saat ini. Mereka mementaskan koreografi di Erasmus Huis, Jakarta, Sabtu, 7 September 2024. Sebelumnya mereka tampil dalam Solo International Performing Arts di Surakarta, Jawa Tengah, dan Taman Budaya Provinsi Maluku, Ambon.
Bagian awal koreografi, dalam balutan gerakan kontemporer, cukup kental dengan nuansa tradisi Indonesia dari gerakan tari dan musik Jawa. Yang menarik, terdapat sebuah fragmen koreografi yang menyeret ke sebuah peristiwa penting antara Indonesia dan Belanda.
Ketika musik berhenti, di tengah suasana hening, tiba-tiba terdengar suara Sukarno membacakan teks Proklamasi disertai suara penyulih bahasa Belanda dan seseorang dalam bahasa Maluku. Para penari bergerak ke salah satu sudut panggung, perlahan memutar tubuh dan berdiri berkelompok seperti agak limbung, lalu menyebar.
Foto kolase Moya wenno dengan masa kecil paman tertuanya yang lahir tumbuh di barak Huize de Biezen no.7 Belanda. Tempo/Dian Yuliastuti
Mereka bergerak lagi di tengah panggung menghadap penonton dengan tiga penari berdiri dan dua lainnya duduk. Perlahan mereka melepas sebagian kostum bagian atas, melipat, dan menyerahkannya kepada salah satu penari yang lalu meletakkannya pada sebuah tugu kayu di sudut panggung. Mereka berpencar dan berkumpul dengan kedua tangan masing-masing memegang dada dengan napas tersengal.
Bagian ini seperti menjadi penanda masa dan representasi sejarah kedua bangsa. Ada representasi sejarah kelam yang kemudian mengubah nasib dan identitas sebagian orang Indonesia, terutama orang Maluku. Pada masa lalu, banyak orang Maluku yang dijadikan anggota Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL). Pasukan KNIL dari Maluku diperintahkan pergi ke Belanda bersama kerabat mereka. Tapi orang-orang Maluku yang berada di Belanda di kemudian hari ditempatkan di bekas kamp konsentrasi, tak bisa pulang ke kampung halaman mereka. Mereka pun beranak-pinak di Belanda. Ada pula yang kemudian bermigrasi karena faktor lain, seperti ekonomi.
•••
SEBUAH lagu tradisi Maluku bergema, mengantarkan para penari dalam gerakan yang padu. Berempat mereka berjalan dalam arah diagonal. Kedua tangan mereka dikunci ke belakang, sementara salah satu penari berjalan sambil menepuk dada. Masih sambil berjalan dengan tangan terkunci ke belakang, mereka lalu menjejakkan kaki, melompat, dan mengentakkan kaki dalam gerakan menyilang. Gerakan-gerakan mereka yang mengingatkan pada gerakan tari tradisi Maluku, seperti cakalele, terlihat cukup dominan. Gerakan yang dinamis. Mereka merentangkan tangan seolah-olah tengah memegang parang dan membawa tameng. Beberapa penonton ikut menyanyi, menambah meriah pertunjukan.
Koreografer dan para penari, yakni Cheroney Pelupessy, Sascha Lekatompessy, Moya Wenno, Simon Mual, dan Thersa Bergmann, adalah keturunan Indonesia, tepatnya Maluku. Sebelumnya mereka tak terlalu menganggap penting asal mereka. Ketika bergabung dalam proyek Keturunan, barulah mereka merasa terhubung dengan Maluku.
Direktur Eksekutif Art& Gi Au-Yeung menjelaskan, mereka mencari kisah-kisah menarik dari para penari keturunan Indonesia, khususnya dari Maluku. Mereka mencari tahu arti identitas dan leluhur. Sebanyak 30 pelamar lantas diseleksi dan didapatkan beberapa penari. Mereka lalu mencari latar belakang keluarga dan memfilmkan kisah keluarga mereka, mencari tahu kisah asal muasal mereka dari saudara, orang tua, hingga kakek.
Orang-orang itu menelusuri latar belakang akar keluarga mereka di Indonesia. Membongkar arsip dan koleksi foto jadul, mereka menemukan sesuatu yang menghangatkan hubungan mereka. Film dokumenter ini dibuat dalam empat bulan. Ada rasa canggung, kekhawatiran, senyum bahagia, dan pelukan hangat saat mereka menanyakan dan mengetahui asal muasal mereka hingga menjadi warga Belanda. Hal ini diperlihatkan dalam film dokumenter yang diputar sebelum penampilan koreografi di panggung di Erasmus Huis pada 7 September 2024. Beberapa foto penari dan kolase foto lawas keluarga dengan narasinya ikut dipajang pada bidang dinding di luar panggung.
Dalam film itu ditunjukkan, dalam budaya Maluku atau Indonesia, penting mengetahui siapa yang datang sebelumnya, kapan, dan dari mana asalnya, mempelajari keluarga dan dinamikanya. “Bagi kami, itu sangat inspiratif, berbeda dengan budaya Belanda,” ujar Gi kepada Tempo seusai pertunjukan. Menurut Gi, bagi masyarakat Indonesia, leluhur memiliki arti penting dan pengaruh besar dalam pengembangan identitas budaya dan etnis mereka. Saat koreografi itu ditampilkan di Ambon, emosi para penari membeludak, tak terbendung. “Seperti mimpi yang jadi kenyataan, tampil dan bersama keluarga, leluhur mereka. Kami semua menangis,” ucap Gi.
Koreografi berjudul Keturunan di Erasmus Huis, Jakara, 7 September 2024. Erasmus Huis/Oxalis Atindriyaratri
Dalam film, terlihat Simon Mual menanyakan akar keluarganya kepada ibunya yang berasal dari Latuhalat, Ambon, dan anggota keluarganya yang masih tinggal di sana. Simon dan ibunya berbincang di ruangan yang berlimpah sinar matahari ditemani beberapa camilan khas Indonesia, seperti dadar gulung dan onde-onde. Sebuah kaleng kue yang sangat ikonik dari Indonesia berada di meja. Mereka berbincang dari hati ke hati. Tampak pula sang ibu sesekali menuangkan minyak kayu putih dan menghirup aromanya. Setelah tampil, Simon menceritakan pengalamannya dalam proyek yang menebalkan identitas dan mempertemukannya dengan keluarga leluhur ini. “Hatiku terasa penuh, senang, berat rasanya pulang ke rumah meninggalkan Ambon,” katanya.
Adapun Moya Wenno mengaku kurang nyaman bertanya kepada orang tuanya sehingga memilih berbincang dengan kakeknya, Opa Wenno. Dari sang kakek, ia mendapat cerita tentang bagaimana mereka sampai ke Belanda dan berjuang hidup untuk keluarga hingga cukup sejahtera. Sang koreografer, Cheroney Pelupessy, lebih beruntung karena pernah ke Indonesia sebelumnya. Ada anggota keluarganya yang tinggal di Jakarta dan Maluku. Untuk proyek ini pun ia melakukan riset dengan mempelajari beberapa tari tradisional Indonesia.
Tari dan musik tradisi Indonesia yang Cheroney pelajari menjadi inspirasi bagi koreografi ciptaannya. Ia tidak merasa kesulitan membuat suatu koreografi dengan latar belakangnya identitas dan leluhurnya. “Karena itulah identitas saya. Saya merasa penting merasakan tarian itu,” ujarnya. Ia mengatakan mengetahui dan mengenali tari tradisi Indonesia, tapi belum pernah melihat tari cakalele. Ia dan para penari dengan gaya masing-masing berbagi pengalaman dan memadukannya dalam koreografi Keturunan. Melalui koreografi ini, ia dan para penari lain merasa terhubung dan menemukan kembali akar mereka, leluhur dan kehangatan keluarga besar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo