Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Paus Fransiskus menerima banyak kenang-kenangan selama di Jakarta.
Beberapa kenang-kenangan dibuat oleh kelompok difabel.
MARCELLA Elaine Danica Pigety dan ibunya, Elvi Hidayat, masih mengenang perjumpaan mereka dengan Paus Fransiskus. Elaine disambut Paus saat berkunjung ke gedung Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di Menteng, Jakarta, dua pekan lalu. Gadis remaja itu pun menyerahkan karya diamond painting-nya kepada Sri Paus. Sang Gembala langsung menerima dan mencium karya bergambar keluarga kudus Nazareth ini. Sri Paus lalu memberikan permen dan rosario untuk siswa Sekolah Murid Merdeka tingkat sekolah menengah pertama ini. “Elaine sangat senang, masih terus membicarakannya sampai saat ini,” ujar Elvi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Elaine, anak berkebutuhan khusus, dipilih KWI untuk memberikan kenang-kenangan kepada Sri Paus. Hal itu bermula dari ibu salah satu kawan Elaine yang mengenalkan Elaine kepada panitia penyambutan Paus Fransiskus di KWI. “Panitia memberi kesempatan Elaine untuk memberikan karya cendera mata untuk Bapa Paus. Sungguh tak menyangka dan bersemangat dia mengerjakannya,” ucap Elvi kepada Tempo, Rabu, 11 September 2024. Elaine, yang suka melukis dan berprestasi sejak berusia taman kanak-kanak, mengerjakan diamond painting berukuran 30 x 40 sentimeter sekitar dua minggu. Hampir tiap hari dia mengerjakan lukisan Bunda Maria, Yesus Kristus, dan Bapa Yusuf atau Yosef tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang tak kalah menarik, ketika Paus Fransiskus mendarat, sebuah buket bunga unik diserahkan dua anak berpakaian adat. Menurut Sekretaris Keuskupan Agung Jakarta Romo V. Adi Prasojo, buket itu berasal dari komunitas lingkungan. Sebuah buket yang terdiri atas untaian padi, kucai, kapas, rempah-rempah (cengkih dan bunga lawang), serta sayur-sayuran dirangkai dalam anyaman daun kelapa dan diikat pita merah-putih.
Kenang-kenangan lain untuk Paus Fransiskus yang juga diberikan anak-anak setiba di Grha Pemuda, Jakarta, berupa selendang Tembayat. Selendang ini dijahit oleh anggota Komunitas Tuli dari potongan kain batik dengan beberapa kombinasi warna dan motif. Salah satunya elemen warna bendera Argentina, negara asal Sri Paus. Ada pula warna bendera Indonesia dan lambang Takhta Suci Vatikan. “Panitia mengarahkan suvenir ini adalah sesuatu yang unik, khas Indonesia,” tutur Romo Adi.
Ada pula kenang-kenangan berupa miniatur replika relief Terowongan Silaturahmi yang memperlihatkan dua tangan yang menelangkup. Replika ini ditandatangani oleh Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo dan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar.
Dalam unggahan di media sosial akun Katolik_Garis_Lucu, Uskup Agung Medan Mgr Cornelius OFMCap tampak memakaikan sebuah ikat kepala khas Batak kepada Sri Paus. Cornelius memberikan ikat kepala itu ketika berada di Kedutaan Besar Vatikan, tempat Paus menginap. Dia kemudian mencium tangan dan pipi Paus. Tampak Paus bertanya kepada Cornelius. Lucunya, unggahan ini menjadi bahan bercanda soal marga yang cocok untuk Paus.
Kedatangan Paus Fransiskus juga disambut instalasi Hati Polyhedra berukuran 7,2 x 4,8 x 3 meter yang diletakkan di Grha Pemuda, kompleks Gereja Katedral. Instalasi ini dirancang oleh Marcellus Rafi, arsitek dan anggota jemaat setempat. Instalasi itu disusun dari daur ulang kayu jati Belanda yang fragmen-fragmennya berbentuk segitiga dan dilapisi kain perca, kain batik, serta barang-barang daur ulang di bagian luar. Adapun bagian dalam dinding fragmen ditempeli ratusan surat dari remaja Indonesia di Jakarta, Bali, Lombok, serta Labuan Bajo. Ada pula foto-foto remaja dan orang tua mereka, boneka, noken, topeng tradisional, serta hiasan kulit dan kayu dari Papua. “Instalasi hati ini menggambarkan kekayaan, keberagaman, dan toleransi di Indonesia, melibatkan lebih dari 1.500 orang, terutama anak remaja, dari berbagai latar belakang budaya, agama, sosial, dan ekonomi,” ujar Marcellus kepada Tempo.
Warga melihat proyek seni Hati Polyhedron di Graha Pemuda, Kompleks Katedral, Jakarta, 2 September 2024. Tempo/Subekti
Marcellus mengatakan yang paling menantang adalah perancangan strukturnya karena harus kuat dan cukup luas untuk dimasuki Paus. Ia mengerjakan instalasi ini, dari perancangan hingga pemasangannya, dalam 28 hari. Karya instalasi ini dipesan panitia dari Vatikan melalui lembaga Scholas Occurrentes, organisasi nirlaba internasional yang didirikan Paus pada 2013 untuk mendidik kaum muda dalam “Budaya Perjumpaan” melalui seni, olahraga, dan teknologi.
Selama kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia, banyak pemeluk Katolik yang ingin memberikan kenang-kenangan kepadanya. Tak terkecuali ketika Sri Paus tengah menyapa dan menghampiri warga yang berjejer di pinggir jalan. Andri Prasetyo Wibowo, pekerja swasta dan penulis, salah satunya. Tampak dalam unggahan video di media sosial, setelah diizinkan personel pengamanan Vatikan, walau sempat dihalangi pengawal dari Indonesia, Andri berhasil menyerahkan buku filateli setebal sekitar 420 halaman kepada Paus. Buku itu berisi benda filateli seperti prangko, surat, kartu pos, dan teks tentang Vatikan, Paus, dan kristianitas. Ia mengumpulkan materi tersebut sejak 2002 dan menjadikannya buku menjelang kedatangan Paus. “Beliau sempat membuka beberapa halaman dan mengucapkan terima kasih,” ucap Andri.
•••
RASA bangga tak karuan juga dirasakan segenap siswa, guru, dan Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Pendidikan Industri Kayu Atas atau PIKA di Semarang. Dari tangan mereka, tercipta dua kursi yang diduduki Paus Fransiskus saat memimpin misa di Jakarta dan tidak diangkut ke Vatikan sebagai kenang-kenangan. Sebuah pesan WhatsApp masuk ke akun Fransiskus Xaverius Marsono pada awal Februari 2024. Kepala SMK PIKA tersebut mendapat pesan dari salah seorang anggota panitia kunjungan Paus di Jakarta. “Romo Hani (Pastor Kepala Gereja Katedral Jakarta Romo Albertus Hani Rudi Hartoko, SJ) mengabarkan hal ini dan minta dirahasiakan dulu,” katanya di ruang kerjanya pada Selasa, 10 September 2024.
Sekolah di Jalan Imam Bonjol itu mendapat pesanan dua kursi untuk Paus. “Langsung saya jawab, bersedia. Modelnya seperti apa saya belum mikir. Pokoknya bersedia dulu,” ujar Marsono. Setelah itu, ia menggelar rapat dengan para guru dan memilih siswa yang akan terlibat dalam pembuatan kursi untuk Paus. "Kursi yang dibuat kolaborasi antara siswa, guru, dan karyawan," ucapnya. Delapan siswa SMK PIKA kelas akhir ikut dalam pembuatan kursi itu di bawah arahan tiga guru dan dibantu lima tukang.
Sebulan kemudian, Marsono dikirimi gambar kursi berikut ukuran dimensinya. "Akhirnya kami diberi ukuran. Ada foto kursi tulisannya bahasa Italia. Ada ukurannya, tapi kami diberi kebebasan soal desainnya," ujarnya. Mereka lantas membuat beberapa pilihan desain yang diajukan ke panitia. "Dipilihlah kursi rotan dan sofa."
Marcella (batik coklat) bersama orang tua dan adiknya menunjukan rosario pemberian Paus Fransiskus di Gedung Keuskupan Agung Jakarta, 10 September 2024. Tempo/Subekti
Tim dari SMK PIKA ini mendapat beberapa kali evaluasi desain. Awalnya terdapat ornamen ukiran salib dan anggur pada sandaran kursi. Adapun sofa diusulkan akan dibubuhi bordir. Namun usulan tersebut tak disetujui. "Semuanya hangus," ucap Marsono. "Paus minta desain yang sederhana. Titik."
Akhirnya jadilah kursi rotan yang sederhana. Sandarannya melengkung dan agak lancip di bagian atas. Satu kursi lain berlapis kain putih bertanda Takhta Suci Vatikan. Mereka mulai membuat kursi ini pada April 2024 dengan tambahan kayu jati. Adapun bahan sofa adalah kayu birch dari Eropa.
Kursi rampung dibuat sekitar satu setengah bulan lalu dan dikirim ke Jakarta pada 27 Mei 2024. Marsono bahkan tak berani mencoba kekuatan kursi itu dengan mendudukinya. Rasa bangga muncul ketika dia melihat kursi itu diduduki pemimpin tertinggi umat Katolik tersebut di televisi. Setelah kabar itu viral, banyak pihak ingin memesan kursi serupa, tapi ia tolak. Kursi itu kini berada di Katedral Jakarta dan rencananya diperlihatkan untuk umum selama sebulan sebelum masuk ke Museum Katedral.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Jamal A. Nashr dari Semarang berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Cendera Mata untuk Sang Gembala"