Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lini Natalini Widhiasi adalah pelukis cilik yang sangat dikenal 50 tahun silam. Putri Tedja Suminar.
Mengeksplorasi medium logam sebagai sarana melukis dan membentuk kreasi berukuran jumbo yang terpasang di dinding.
LINI Natalini Widhiasi adalah pelukis cilik yang sangat dikenal 50 tahun silam. Reputasi Lini kala itu menakjubkan hingga Affandi menyebutnya “anak ajaib”. Adapun penyair W.S. Rendra menyebut lukisan Lini “firdaus yang hilang”. Namun, sejak 40 tahun lalu, namanya surut. Meski sesekali karyanya muncul dalam pameran ramai-ramai, namanya tetap samar ditelan kabut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Maret 2024, Lini mendadak mengirim pesan WhatsApp kepada saya. “Om, saya akan sepenuhnya berkarya,” tulisnya. Saya kurang percaya. Tapi, pada pertengahan Juli, dia berkabar lagi tentang dunia kesenirupaannya. Pertama-tama, Lini mengabarkan bahwa dia akan berpameran tunggal di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Pameran tunggal? Belum selesai keterkejutan saya, ia menyambungnya dengan cerita tentang medium seni rupanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Om, aku sekarang sangat senang karena menemukan media aluminium dan stainless. Semuanya dalam bentuk lembaran 1 x 2 meter. Dengan media itu, aku bisa bikin karya dua setengah dan tiga dimensi. Uh, doaku terjawab, lho! Aku kan akhir-akhir ini merasa tidak cukup melukis dalam bidang dua dimensi. Aku ingin terbang bebas tanpa batas-batas. Bisa menyeruak ke bawah, melejit ke atas, ke kiri-kanan, maju-mundur-maju!”
Pada hari lain, ia menulis surat lagi.
“Untuk semua itu, aku membuat konsep dalam bentuk gambar atau sketsa. Namun pada kenyataannya, ketika berpraktik di studio, aku lupa soal sketsa itu. Karena dalam proses semuanya serta-merta mengalir terus, terus, dan terus, menuruti tema baru yang mendadak ada dalam pikiranku, sehingga tidak jarang, yang dalam konsep karyaku cuma kecil, ternyata jadinya melebar. Mengalirnya sangat nikmat diikuti sehingga lupa daratan....”
Penderitaan- Harapan-Kejayaan. Agus Dermawan T
Pada suatu hari, bagian manajemen pameran menegur bahwa beberapa konsep karya Lini yang diajukan ke Galeri Nasional Indonesia tidak cocok dengan hasil pekerjaannya. Ini bisa merepotkan dalam penataan display pameran. Di antaranya sketsa burung-burung yang sudah rapi dibuat ternyata ditabrak. Atas teguran tersebut, Lini membalas:
“Jane, aku lupa dengan sketsa yang kuajukan ke Galeri Nasional itu. Tapi, kalau ingat, aku malah ciloko, lho. Aku akan membuat burung-burung sebanyak itu, yang aku rasakan bakal monoton. Aku pikir karya seni adalah proyeksi pikiran saat karya itu dibikin. Seperti buku harian.”
Minggu-minggu berlanjut. Dalam proses penciptaan di Surabaya, Lini beruntun mengirim foto banting tulangnya saat ia bekerja di studionya. Termasuk gambar-gambar konsep karyanya yang sering ia terabas sendiri.
Pada 3 September 2024, pameran tunggal seni rupa Lini dibuka di Galeri Nasional Indonesia, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta. Astaga, karya-karya yang saya lihat ternyata (memang) sangat berbeda dengan gambar-gambar yang ia kirim. Begitu juga ukurannya. Karya yang semula hanya berukuran sedepa menjelma menjadi sehamparan dinding. Karya Yin Yang, misalnya, dalam praktiknya melebar menjadi dua kali lipat.
Pameran tunggal “Infinity Yin Yang” karya Lini akhirnya menjadi gigantik, yang kemudian mengagetkan publik. Bayangkan, pintu gerbang galeri yang lebar dan tinggi itu mendadak diduduki dan ditutup oleh patung aluminium dan baja tahan karat yang menggambarkan abstraksi sosok raksasa menggeliat, yang dijuduli Kebangkitan.
Sengaja menghadang orang datang? Benar. Atas hal itu ia memberikan alasan. “Sejak dulu kala, kalau ada perempuan yang berjuang di tengah jalan, para dewa pun harus minggir ke tepian.” Lini tidak bercanda. Sikapnya ternyata mengacu kepada Lysistrata, perempuan pejuang feminisme nomor satu di jagat raya, tokoh cerita pengarang Aristophanes 2.600 tahun silam.
Tapi hadangan ini tidak berhenti sebagai logam mati. Sebab, di dalam tubuh raksasa itu ternyata terpahat bayangan perempuan yang berlari dengan wajah menatap langit. Tangan perempuan itu digambarkan mendorong beban yang harus diruntuhkan. Di sekitar sosok perempuan terlihat kepingan benda keras yang rontok berserakan.
Dari gerbang yang tertutup inilah pengunjung lalu menyelip di tepian dan masuk ke ruangan untuk menyaksikan 12 karya Lini yang “ugal-ugalan”.
Yin Yang, yang dijadikan tema, bisa jadi merupakan karya ikoniknya dalam pameran. Di sini Lini memvisualkan filosofi yang ribuan tahun terdalami sebagai dasar ajaran Taoisme dan Buddhisme. Kita tahu, yin dan yang adalah dua kutub berlawanan, tapi tak pernah memercikkan pertengkaran. Sebab, keduanya ternyata saling membutuhkan. Seperti dingin dan panas, langit dan bumi, air dan api, keras dan lunak, “Yin dan yang adalah ajaran terbesar dalam seni untuk berharmoni,” tutur Lini.
Pohon Kehidupan. Agus Dermawan T
Dalam karya yang menguasai dinding tersebut, Lini melipat, menekuk, menempel, mematri, mengklem, memaku, mengait, membaut, dan membentuk lempengan-lempengan logam. Semua komponen yang berhias tatahan, pahatan, dan pulasan cat itu lantas dikomposisikan menjadi rupa yang bercerita. Ada citra mata di situ, yang digambarkan menjaga bunga dan rumpun perdu. Ada daun lebar ringkih yang meneduhi batu-batu. Ada burung-burung kecil terbang di atas telaga luas yang ditumbuhi pepohonan.
Filosofi keseimbangan ala yin-yang juga ia tekankan dalam Menyeimbangkan Energi Maskulin dan Feminin. Karya dua setengah dimensi ini menggambarkan pertemuan kegagahan seekor burung elang dengan kelembutan ikan-ikan yang berenang di kedung sungai dan lautan. Kejantanan dan kelelakian bersekutu dengan kelembutan perempuan. Pertemuan dua unsur ini menghasilkan citra keteduhan pohon hayat.
Di samping itu, Lini bercerita bahwa sesungguhnya harmoni ala yin-yang tidak selalu menyediakan jalan terbuka. Sebab, manusia acap berada di wilayah gamang lantaran diguncang kenyataan yang sering berbeda dengan dugaan pikiran. Perenungannya atas hal ini dimanifestasikan dalam Kehidupan yang Paradoks. Dalam karya selebar 710 sentimeter ini, Lini menawarkan simbol tentang kegagahan dan kesombongan dalam bentuk bongkah-bongkah tak beraturan dengan imbuhan warna-warni bombastis.
Tema ini diberangkatkan dari ingatannya atas adagium: kala engkau kuat bercongkak, itu petunjuk bahwa engkau tidak tahu banyak. Makin engkau berpengetahuan mendalam, makin engkau merasa berada di kedangkalan. Teori dan fenomena paradoks ini terangkat karena Lini adalah sarjana psikologi.
Karena itu, kata karya Lini, seseorang harus melihat sesuatu dengan apa adanya. Dari menatap yang kecil dan terbawah dulu, baru menyaksikan yang besar, yang menjulang di atas. Karya Pikiran Terbalik adalah visualisasinya. Menarik. Dalam karya ini, Lini menyertakan lempeng-lempeng hologram sehingga piramida terjungkir itu berkilau-kilau warnanya.
Dari sejumlah karya yang disajikan, gubahan Lini yang sangat mengingatkan pada jejak-jejak masa lalunya sebagai pelukis cilik adalah Pohon Kehidupan (270 x 327 sentimeter), Perjalanan Jiwa (250 x 470 sentimeter), dan Penderitaan-Harapan-Kejayaan (450 x 590 sentimeter). Dalam karya-karya ini, gambar masa kecil Lini yang banyak mengekspos dedaunan, sisik-sisik ikan, bulu-bulu unggas, profil lelaki-perempuan, dan burung-burung terbang bermunculan. Gambar-gambar 50 tahun silam itu seperti sengaja diangkat agar muncul bayang-bayang garis merah dalam lini masa penciptaan.
Lini, yang lahir di Surabaya pada 1964, adalah putri Tedja Suminar dan Muntiana, yang juga pelukis. Orang tua Lini—semuanya sudah almarhum—adalah sahabat saya. Dalam berbagai kesempatan, saya berjumpa dengan pasangan luar biasa ini, seperti di Jakarta, Bali, dan Surabaya. Pada suatu waktu di hari tua, mereka berujar, “Titip Lini, ya.”
Saya pun mencermati langkah seni lukis Lini sebisanya sejak 1973, ketika gadis (cilik) ini memenangi Medali Perak Shankar’s International Children’s Competition di India. Dia pun akhirnya memenangi puluhan medali seni lukis nasional dan internasional.
PIkiran Terbalik. Agus Dermawan T
Tahun berganti tahun. Lini menikah dan lantas menghilang dari kancah seni rupa Indonesia. Ternyata ia mengikuti suaminya, Profesor Insinyur Eko Budi Djatmiko, MSc, PhD, yang kala itu sedang menempuh studi di Glasgow, Skotlandia. Lama Lini di sana. Setelah kembali ke Surabaya, Lini masih menyembunyikan diri dari dunia seni. Alasannya: mengurus rumah tangga, tiga anak, bahkan Dharma Wanita sehubungan dengan jabatan suaminya sebagai dekan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Ia baru membangun konstruksi besar keseniannya dalam beberapa tahun terakhir, yang lantas diwujudkan dalam pameran yang dikuratori Citra Smara Dewi ini.
Terlihat benar kehadiran Lini dalam pameran “Infinity Yin Yang” adalah akumulasi kekuatan seni yang selama berbelas tahun tersembunyi. Karyanya yang sekarang tak sekadar liris dan puitis seperti dulu. Tak cuma ramai dan lucu seperti gambar-gambarnya yang lampau. Tapi menggelegak dan mendobrak, berteriak dengan tangan menggenggam, bagai perempuan yang ingin membalas dendam. Dari presentasi yang dibahasakan dengan lugas, ia jelas ingin menembus garis-garis batas.
Dari realitas ini saya jadi teringat pesan “nitip” Tedja dan Muntiana dulu kala. Pesan itu kini membekas sebagai kata yang sangat terkesan bercanda. Sebab, nyatanya, tanpa dititipkan, Lini sudah sigap berjalan sendiri. Kini bahkan dia berlari-lari sendiri sebagai perupa perempuan yang digdaya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Keberanian Lini"