DUNIA adalah panggung yang gaduh. Seorang perempuan meratap di sebuah pojok Rumah Sakit Zmirli, Aljazair, selepas sebuah pembunuhan massal pecah di Bentalha. Seorang anak tanpa nyawa, dengan leher yang menganga dan bibir yang pucat, dikerek dari dalam dasar sumur di negara yang sama. Di belahan yang lain, Gloria, pelacur jalanan 33 tahun di kawasan Bronx, New York, Amerika Serikat, menyuntikkan heroin ke tangan kiri dan menjual tubuhnya yang berkoreng ke lelaki iseng di pinggir jalan Kota New York yang beku. Dunia adalah panggung yang gaduh. Sebuah panggung yang renta.
Kegaduhan itulah yang tampak dalam pameran "World Press Photo"—sebuah pameran foto tahunan yang diprakarsai Yayasan World Press Photo yang didirikan di Belanda pada 1955—di Erasmus Huis, Jakarta, 28 Januari sampai 9 Februari lalu. Pemenang pertama World Press Photo kali ini adalah Hocine dari agen berita AFP yang memotret ratapan Bentalha itu. Ia berhasil mengalahkan 36.040 foto lainnya dari 3.627 pemotret dari 115 negara. Sebagai foto, apa yang dihasilkan Hocine bukan sesuatu yang istimewa. Sebuah histeria yang biasa terjadi di belahan bumi mana pun yang telah menjadikan kekerasan sebagai suatu keseharian. Tapi, kelebihan Hocine adalah ketika drama ratapan itu tidak saja menyajikan fakta, melainkan juga keindahan yang sedih: seorang perempuan berkerudung yang lebih mirip Bunda Maria ketimbang perempuan jelata, yang anggota keluarganya mati atau terluka.
World Press Photo dari tahun ke tahun memang didominasi oleh foto-foto yang bercerita tentang kekerasan dan penderitaan. Tahun 1992, pameran serupa dimenangkan oleh James Nachtwey, yang menggambarkan perempuan Somalia yang mengangkat anaknya yang tewas akibat perang. Tahun 1996, Francesco Zizola menampilkan karya yang menikam, yang menggambarkan anak-anak korban ranjau.
Karya-karya yang lebih "optimistis" memang tidak dominan dalam pameran yang foto-fotonya dipilih oleh 10 dewan juri di bawah pimpinan Neil Burgess dari London ini. Ada foto tentang keunggulan teknologi, keluarga borjuis Sisilia, atau pesta-pesta kelas menengah Rusia pada sebuah klub sauna. Namun, sesungguhnya, secara keseluruhan foto-foto tahun ini tengah bercerita tentang sebuah dunia yang berubah.
Kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara, Yudhi Soerjoatmodjo, yang enam tahun berturut-turut mengamati pameran ini, mengakui bahwa tahun ini foto-foto yang keluar sebagai pemenang bertema lebih variatif. "Tidak melulu tentang peperangan dan lebih banyak foto-foto sehari-hari yang menarik," tutur Yudhi.
Variasi tema itu memang terlihat pada sebuah seri foto karya Jeremy Nicholl dari Irlandia, misalnya, yang bercerita tentang dioperasikannya kembali Sandunovskaya Banya—tempat pemandian mewah di Rusia—yang beberapa tahun terakhir ditutup. Kini, pemandian yang telah 200 tahun digunakan oleh kader komunis itu ramai dikunjungi praktisi perbankan dan pasar modal. Para perempuan dan laki-laki mempercantik diri, lengkap dengan pelayanan manicure dan pedicure, di klub bergaya aristokrat itu. Padahal Rusia adalah negeri yang bangkrut. Dengan kata lain, foto pemenang kedua kategori kehidupan sehari-hari (daily life) bercerita tentang sebuah ironi.
Di sisi lain, kemajuan teknologi, seperti tampak pada beberapa foto dalam kategori ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak selalu dipandang sebuah "kemajuan". Domba Dolly, karya Stephen Ferry, pemenang pertama kategori ini, lebih menyiratkan kegetiran menghadapi dampak kemajuan teknologi ketimbang kegembiraan menyambutnya. Ketika domba bisa digandakan melalui sebuah rekayasa genetis, bukankah pada gilirannya akan muncul kerepotan-kerepotan baru?
Walhasil, pameran World Press Photo kali ini, seperti juga pameran-pameran sebelumnya, selain bisa dilihat sebagai dokumentasi terakhir peradaban manusia, juga harus dilihat sebagai sebuah kegagapan manusia memahami perkembangan yang dilakukannya sendiri. Sebuah perkembangan yang tak terduga-duga dan menjadikan dunia kian carut marut saja.
Arif Zulkifli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini