SIAPA tak kenal Dokter Mun'im Idris? Ahli foren-sik yang acap membantu tugas polisi itu kembali disebut-sebut namanya, tapi kali ini sebagai tergugat. Mungkin ini pertama kalinya seorang ahli forensik dituntut ke pengadilan gara-gara mengungkapkan hasil autopsi yang dilakukannya. Adapun hasil autopsi itu menyangkut Marthadinata alias Ita, yang tewas sebagai korban pembunuhan pada 9 Oktober 1998. Dan empat bulan kemudian, tepatnya Selasa pekan lalu, orang tua mendiang Ita menggugat Mun'im ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Melalui Pengacara Frans Hendra Winarta, orang tua Ita—pasangan Leo Haryono dan Wiwin Suryadinata—menuntut Mun'im Rp 2 miliar. Alasannya, pernyataan Mun'im tentang keadaan korban, yang tak sepantasnya diutarakan kepada publik, dianggap telah mencemarkan nama baik Ita dan keluarganya. Uang Rp 2 miliar dikatakan sebagai ganti rugi.
Winarta menambahkan, berita pers tentang Ita yang berasal dari keterangan Mun'im menimbulkan sorotan negatif dari para tetangga dan rekanan bisnis terhadap keluarga korban. Akibatnya, orang tua Ita tak kerasan lagi tinggal di rumah mereka di Sumurbatu, Jakarta Pusat. Bisnis mebel Leo juga kini terpaksa ditutup. Dan kakak Ita, Epi, kehilangan pekerjaannya. Sikap masyarakat sekitar dan rekan bisnis itu menyebabkan duka cita yang ditanggung keluarga Leo Haryono terasa makin menyakitkan.
Kasus pembunuhan terhadap Ita memang merupakan pangkal dari musibah yang berkepanjangan itu. Ita, 18 tahun, siswa kelas III Sekolah Menengah Umum Paskalis Jakarta, ditemukan tewas di rumahnya di Sumurbatu. Pembunuhan terhadap Ita lantas menjadi isu politik lantaran ibu Ita diberitakan sebagai salah seorang relawan penolong korban kerusuhan dan pemerkosaan Mei 1998. Segera saja pembunuhan Ita dikaitkan dengan kasus Mei—terutama yang berhubungan dengan keengganan para saksi dan korban kasus itu untuk memberikan keterangan.
Tapi, setelah tersangka pembunuhannya, Suryadi alias Bram atawa Otong, 22 tahun—masih tetangga korban—ditangkap polisi, berita pembunuhan Ita pun semakin sensasional. Ini terjadi karena polisi menyatakan bahwa kasus pembunuhan Ita adalah kriminal murni. Penjelasan ahli forensik dr. Mun'im Idris dan ahli psikologi Prof. Sarlito Wirawan tentang kematian Ita membuat sensasi itu meletup. Terjadilah heboh yang waktu itu berkesan kesimpang-siuran informasi.
Keterangan Mun'im memang mengejutkan. Mun'im, yang mengautopsi jasad Ita, mengungkapkan, dari hasil tes urine bisa disimpulkan bahwa korban adalah seorang pemakai narkotik. Selain itu, kata Mun'im, selaput dara korban sudah robek dan terdapat bekas seks anal pada dubur, yang sudah terjadi lama, bahkan sebelum Mei 1998. Psikolog Sarlito pun menambahkan bahwa korban adalah pekerja seks.
Keterangan dua ahli tersebut, yang dikutip dan disiarkan secara luas oleh pers, dianggap telah merendahkan martabat Ita dan keluarganya. Apalagi, "Yang diutarakan mereka nyatanya bukan penyebab pembunuhan Ita," tutur Winarta. Sampai kini pun Otong selaku tersangka pembunuhan belum divonis bersalah oleh pengadilan.
Bagi Winarta, perbuatan ahli forensik Mun'im terhitung melanggar hukum. Sebab, dokter forensik hanya boleh menyampaikan rahasia korban kepada polisi sebagai penyidik, untuk kepentingan proses peradilan. "Ia tak bisa mengumumkan hasil autopsi kepada umum," ujar Winarta.
Belakangan, Sarlito Wirawan minta maaf kepada keluarga Ita. Sarlito mengaku hal itu ditempuhnya semata-mata karena pertimbangan silaturahmi, setelah ia mengkaji dampak berita hasil autopsi Ita tadi. "Meski yang saya lakukan sesuai dengan keahlian, inilah risiko seorang ahli, kadang-kadang terjepit," kata Sarlito.
Tak demikian halnya Mun'im. "Ini soal transparansi. Kalau fakta, ya, tak boleh disembunyikan," ucapnya. Menurut Mun'im, pemaparan hasil autopsi korban berguna sebagai alat bukti untuk membantu penyidikan polisi. Dan penjelasannya sendiri juga penting untuk meluruskan berita tentang pembunuhan Ita.
Sebab, ada lembaga swadaya masyarakat yang mengaitkan kasus pembunuhan Ita dengan kasus Mei 1998 serta mengatakan bahwa Ita disodomi dan dibunuh. "Dari hasil autopsi, tak ditemukan sperma. Berarti, tak ada tanda-tanda persetubuhan. Dari hasil pemeriksaan, juga diketahui bahwa seks anal sudah lama, bahkan sebelum Mei 1998," ujar Mun'im. Dalam kata lain, bukti kuat menunjukkan bahwa Ita bukan korban pemerkosaan, seperti yang sebelumnya diduga orang.
Mun'im bersikukuh, dan sikap ini mendorong keluarga Ita menempuh jalan hukum. Memang gugatannya baru diajukan sekarang. Soalnya, menurut Winarta, keluarga Ita sempat takut dan ragu-ragu karena ada yang mengancam mau membunuh mereka.
Menanggapi gugatan itu, Mun'im, yang mengaku sering menerima tuntutan gara-gara hasil autopsinya, berkomentar, "Mungkin karena reformasi, gugatan jadi aneh-aneh. Pak Baramuli saja digugat. Tapi kenapa sih gugatan terhadap saya tak menunggu sampai pemilihan umum selesai?" Ketika diingatkan bahwa ia dituntut ganti rugi Rp 2 miliar, reaksi Mun'im enteng saja, "Waduh, Anda mesti nyumbang. Saya kan pegawai negeri. Ha-ha-ha...."
Hp.S., Iwan Setiawan, Ahmad Fuadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini