Sebuah hasil foto ront-gen. Sebuah wajah yang kuyu. Dan seorang dokter yang siap meluncurkan berita buruk itu.
"Jika kau tahu waktumu sudah hampir usai, apa yang akan kau lakukan?" tanya dokter itu. Kanji Watanabe, sang pasien, tertegun.
Inilah kisah dalam film Ikiru (Hidup), yang diputar dalam Pekan Film Mengenang Akira Kurosawa" di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta, akhir pekan lalu. Film ini berkisah tentang Kanji Watanabe, seorang pegawai rendahan yang mengetahui bahwa usianya sudah terhitung beberapa bulan lagi. Ia mulai mempertanyakan arti hidupnya; mulai meragukan perasaannya terhadap keluarganya dan tempat ia bekerja selama 25 tahun. Meragukan berarti ia memang masih hidup dan berdenyut. Tiba-tiba saja ia ingin merombak seluruh rutinitasnya. Tiba-tiba saja ia ingin membuktikan bahwa seseorang bukan hanya didefinisikan oleh pemikirannya dan pandangan-pandangannya, tetapi terutama oleh apa yang dilakukannya. Tiba-tiba saja, Watanabe merasa "action" adalah sesuatu yang penting, sebelum ia melangkah pada Kematian dan Keabadian. Film ini adalah salah satu film Kurosawa yang kontemplatif dan filosofis dan oleh kritikus Barat dianggap sebagai sebuah representasi dari pemikiran eksistensialis. Film itu sukses besar di Jepang, tapi para distributor film menganggap film itu tak akan dimengerti orang asing. "Namun saya bertahan. Saya meminta film itu tetap disertakan dalam Festival Film Berlin," demikian tutur Kurosawa. Nyatanya, film ini menggondol penghargaan Silver Bear untuk film terbaik. "Saat itulah saya percaya bahwa film adalah sebuah media internasional. Persoalan kemanusiaan adalah persoalan universal," katanya dalam sebuah wawancara. Film ini, bagi Kurosawa, punya arti tersendiri karena kematian adalah sebuah topik yang menjadi obsesinya.
"Sometimes I think of my death," demikian tulis sutradara Jepang terkemuka Akira Kurosawa beberapa saat setelah upaya bunuh dirinya yang gagal 20 tahun silam. Seperti tokoh Watanabe itu, Kurosawa ingin merasa telah mengisi hidupnya tanpa kesia-siaan.
Kurosawa disebut sebagai Sang Kaisar dalam dunia sinema. Sebutan ini bisa dianggap sebagai sebuah penahbisan bagi pemujanya, tetapi bisa juga dianggap ejekan bagi pengritiknya. Harus dimaklumi bahwa, meski ia dianggap tokoh legendaris karena film-filmnya mempengaruhi sutradara Hollywood dan Jepang, ternyata tak semua sineas Jepang menghargai karyanya. Beberapa filmnya, di negaranya sendiri, mendapat kecaman pada suatu masa—terutama karena dianggap "kebarat-baratan"—padahal di dunia internasional Kurosawa dianggap empu perfilman yang setara dengan Ingmar Bergman.
Belajar menulis skenario dan penyuntingan film dari sutradara ternama Kajiro Yamamoto, pada 1943 lahirlah film perdana Kurosawa berjudul Sanshiro o Sugata, yang mengisahkan pencarian diri melalui bela diri judo. Tahun berikutnya film Ichiban Utsukushiku (Yang Terindah) diproduksi, yang bercerita tentang kehidupan tiga buruh perempuan. "Saya meminta ketiga aktris itu betul-betul bekerja menjadi buruh dan melupakan profesi mereka sebagai aktris," tutur Akira.
Kesungguhan Akira dalam karakterisasi terlihat ketika ia membuat Rashomon pada 1950. Inilah sebuah kisah psikologis yang dibuat berdasarkan novel karya Ryunosuke Akutagawa, yang memperlihatkan betapa sulitnya mencari kebenaran melalui bibir manusia belaka. Film yang memperlihatkan kekuatan karakterisasi tokoh-tokohnya dan keindahan fotografi ini memenangkan hadiah pertama Festival Film Venice 1951 dan ditiru oleh sutradara Amerika menjadi The Outrage, yang dibintangi Paul Newman. Rashomon bercerita tentang seorang suami, seorang istri, seorang bandit yang kebetulan lewat, dan seorang tukang kayu yang hanya menyaksikan adegan akhir dari kerusuhan di tengah hutan itu. Kisah itu kemudian muncul dalam berbagai versi dan format. Sang istri mengaku, suaminya dibunuh dan dia diperkosa sang bandit. Sang bandit punya versi bahwa sang istri merayunya dan mereka bercinta sementara sang istri meminta agar suaminya dibunuh. Sang suami—melalui perantara seorang pesihir—bertutur sendiri dan tukang kayu pun punya versinya sendiri. Semua orang merasa dirinya benar. Dan hingga akhir film kita tak pernah tahu pasti apa yang sesungguhnya terjadi; dan kita tak pernah tahu yang mana sesungguhnya kebenaran. Dari 30 film karya Kurosawa, inilah salah satu filmnya yang dianggap paling mencekam dan kontroversial dalam dunia sinema internasional.
Film Hakuchi adalah karya Akira yang merupakan adaptasi novel The Idiot karya Dostoyevsky, yang diputar dalam pekan film Kurosawa ini. Sesungguhnya Hakuchi secara sinematografis adalah karya Akira yang menarik meskipun, harus diakui, kurang mencekam dibandingkan dengan Rashomon. Namun film produksi Shochiku Company yang aslinya mempunyai masa putar 165 menit itu kemudian diringkas menjadi 90 menit oleh produser. Apalagi film itu diterpa kritik yang keras oleh penonton Jepang, yang terkejut melihat tokoh perempuan yang agresif dan berani menentang pendapat seorang lelaki. "Harus diakui bahwa gagasan mengangkat martabat perempuan datang dari Kurosawa," tutur kritikus Jepang ternama, Tadao Sato. Menurut Sato, Kurosawa bukan saja peka terhadap diskriminasi ini, tetapi juga mengantisipasi perubahan dalam masyarakat.
Film klasik Kurosawa lainnya adalah Schichinin Samurai (Tujuh Samurai). Film Schichinin Samurai berkisah tentang tujuh samurai yang mempertahankan sebuah desa dari serangan para bandit hingga titik darah penghabisan. Film ini melibatkan tiga kelompok: petani, bandit, dan samurai. Kurosawa memperlihatkan sekuen yang berbeda untuk setiap kelompok. Bagian pertama adalah kisah para bandit dan tingkah laku mereka; bagian kedua adalah kelompok petani yang mencoba mengatasi persoalan dengan meminta bantuan para samurai, dan bagian ketiga adalah proses seleksi para samurai (dan ronin). Musik yang mengiringi setiap sekuen (adegan petani dengan musik folk; adegan samurai dengan musik vokal lelaki yang jantan dan ilustrasi musik drum yang keras berdentam) untuk adegan para bandit memperlihatkan bagaimana Kurosawa adalah seorang master dalam visualisasi dan karakterisasi. Seven Samurai, seperti juga film klasik Kurosawa yang lain, belakangan hari kemudian menjadi inspirasi bagi film The Magnificent Seven dengan Yul Bryner sebagai aktor utama.
Film Ran, yang meraih hadiah Oscar sebagai Film Asing Terbaik 1986, merupakan film Kurosawa pertama yang diputar di bioskop komersial di Indonesia beberapa tahun silam. Pada awal 1980, skenario film ini ditolak perusahaan film Jepang dengan alasan permintaan anggaran yang terlalu tinggi untuk ukuran masa itu, yakni US$ 11 juta. Karena itu Kurosawa mulai memikirkan untuk membuat film Kagemusha. "Untuk pertama kalinya saya membuat 400 sketsa tentang adegan yang saya bayangkan dalam Kagemusha, yang biayanya dicarikan oleh Francis Ford Coppola," tutur Kurosawa. Berdasarkan studi film Kagemusha yang spektakuler itulah Kurosawa mampu membuat film Ran. Film yang juga diadaptasi dari naskah William Shakespeare berjudul King Lear ini mengubah ketiga gadis Lear (Goneril, Regan, Cordelia) menjadi tiga putra Taro, Jiro, dan Saburo. Adalah Hidetora yang menyadari puja-puji kedua kakaknya yang berbau darah. Saburo yang tak pandai berkata-kata diusir ayahnya, dan inilah awal dari "ran" (kekacauan) itu. Kurosawa membuka tragedi Shakespeare ini dengan keheningan alam Jepang—abad ke-16—yang sengaja dikaburkan sehingga cerita itu bagaikan sebuah dongeng di negeri antah berantah. Tragedi demi tragedi yang beruntun digambarkan dengan proses hukum karma. Orang-orang yang disakiti di masa lalu kemudian menjadi musuh yang menghajarnya dengan kesumat.
Beberapa adegan kekerasan—yang secara ironis menjadi adegan "indah"—misalnya adegan penyabetan leher Kaede dengan pedang samurai hingga darah muncrat ke tembok menjadi sebuah adegan legendaris yang ditiru oleh sutradara Jepang maupun Hollywood.
Bagian lain yang menarik dari Ran adalah penokohan Kyoamo, yang merupakan adaptasi tokoh The Fool dalam King Lear. Dalam King Lear, posisi The Fool adalah seorang "badut" atau punakawan yang mencoba melucu di hadapan Lear, meski kita tahu ucapannya adalah kebijaksanaan, nasihat, bahkan teguran bagi Lear yang mulai pikun itu. The Fool memiliki fungsi memberi cahaya di mata Lear, agar orang tua itu menyadari sifat-sifat manusia di sekelilingnya. Begitu Lear terjatuh ke dalam jurang, Shakespeare menyingkirkan tokoh The Fool karena ia sudah tak berguna. Persamaan tokoh Kyoamo rekaan Kurosawa dengan The Fool dalam lakon Shakespeare hanya berhenti pada posisi hubungan antara tuan dan punakawannya. Ketika Hidetora hilang ingatan, Kyoamo tetap menemaninya dengan setia. "Di dunia yang telah gila ini, hanya orang gila yang menjadi waras, Tuanku," katanya pedih. Kyoamo menjelma menjadi abdi setia yang menunggui tuannya hingga akhir hayat.
Film-film Kurosawa merupakan serangkaian klimaks dalam karir sinematik. Karena itu, di usianya lanjut, film Dreams dan Rhapsody in August adalah sebuah antiklimaks. Kisah tentang trauma Nenek Kane tentang "cahaya" berkilat di atas Nagasaki, yang diceritakan kepada sang keponakan Clark (Richard Gere), sebetulnya sebuah kisah yang menyentuh. Tapi beberapa adegan yang datar, akting Gere yang tak berbeda dengan aktingnya dalam film Pretty Woman, memperlihatkan Kurosawa akhirnya tampak terengah. Bagaimanapun, seperti juga para sineas besar lainnya, Kurosawa, yang baru saja almarhum bulan September silam, meninggalkan jejak dan pengaruh besar kepada perfilman dunia.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini