Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Patgulipat Beras Impor

Jaksa dipersalahkan karena menghentikan tuntutan atas kasus manipulasi beras. Polisi memenangi kasus praperadilan ini, tapi jaksa naik banding. Manipulasinya sendiri tak tersentuh.

15 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGUSUTAN harta mantan presiden Soeharto sudah menjadi agen da nasional, tapi sampai kini tidak terlihat ada kemajuan. Pelacakan dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri, tapi hasilnya hampir-hampir nihil. Tak terlalu salah dugaan orang bahwa upaya itu akan sia-sia. Sekarang, tanpa ada tekanan apa pun dari mahasiswa, tekad untuk mengusut justru makin melemah. Bahkan ada yang memperkirakan, apabila Soeharto tidak juga diadili sebelum pemilihan umum, semua tuntutan buyar dengan sendirinya. Pengusutan atas tujuh yayasan yang diketuai Soeharto, di antaranya Dharmais, Supersemar, dan Dakab, bisa dijadikan bukti konkret. Menurut Soehandojo, Kepala Hubungan Masyarakat Kejaksaan Agung, dari enam bendahara yayasan yang telah diperiksa, belum ditemukan adanya unsur pidana. Soehandojo menambahkan, kendati sumber dana yayasan berpangkal pada keputusan presiden alias keppres yang diteken Soeharto, hal itu tak menjadi masalah sepanjang tujuannya untuk kepentingan umum. Demikian pula penggunaan dana yayasan. ''Kalau penggunaannya masih sesuai dengan tujuan yayasan, ya, tidak apa-apa. Misalnya, keuntungan dari saham milik yayasan di sebuah perusahaan disalurkan lagi untuk kegiatan sebagaimana tujuan yayasan," ujar Soehandojo. Indikasi tak melanggar hukum itu agak janggal memang. Sebab, dengan keppreslah pungutan untuk kepentingan dana yayasan jadi diistimewakan. Selain itu, dana yayasan juga dengan gampang dialirkan ke sejumlah bisnis kalangan dekat (kroni) Soeharto. Dana Rp 750 miliar milik Yayasan Dharmais, contohnya, dipinjamkan ke Grup Nusamba milik Bob Hasan. Ada pula dana yayasan untuk membeli saham Indocement, PT Kiani Kertas, dan PT Citra Marga Nusaphala Persada. Memang pengusutan atas tujuh yayasan yang diketuai Soeharto belum final. Setidaknya para pelaksana yayasan, juga bendahara Yayasan Trikora, Mat Rozi, belum diperiksa. Artinya, hingga kini, belum ada temuan yang menjanjikan. Sedangkan Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib sudah menyingkap hasil perburuan harta Soeharto di luar negeri. Katanya, Selasa pekan lalu, dari hasil penelusuran ke 16 kedutaan besar Republik Indonesia (KBRI) di 16 kota yang tersebar di empat benua?antara lain Beograd, Brussel, Paris, dan Den Haag?tak ditemukan harta Soeharto, baik berupa rekening, deposito, tanah, maupun rumah. Pernyataan sepolos ini semakin kontroversial bila menilik berbagai informasi?di antaranya dari majalah Forbes dan tulisan George Aditjondro?yang mempublikasikan fakta dan data tentang harta Soeharto dan keluarganya di luar negeri, yang bernilai triliunan rupiah. Itu pula agaknya yang menyebabkan banyak orang meragukan keseriusan Kejaksaan Agung dalam mengusut kasus Soeharto, sekaligus tak mempercayai hasil penemuan 16 KBRI itu. ''Dengan permintaan secara formal kepada KBRI, bukan pengusutan secara materiil, kesannya Kejaksaan Agung malah melindungi Soeharto dari tuntutan korupsi," kata Albert Hasibuan, Ketua Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara. Teten Masduki dari Indonesian Corruption Watch berpendapat, posisi Kejaksaan Agung sebagai penerima surat kuasa dari Soeharto lebih dominan ketimbang posisinya sebagai penuntut kasus korupsi. Dan kenyataan ini menjadi kendala besar dalam proses pengusutan tersebut. Seharusnya, ''Kejaksaan Agung berperan sebagai penuntut, lantas menetapkan status hukum Soeharto sebagai tersangka. Dengan begitu, baru pelacakan harta Soeharto di luar negeri menjadi mudah," ujar Teten. Status tersangka, menurut Teten, sudah cukup kuat berdasarkan dugaan awal tentang kekayaan Soeharto yang demikian menggunung. Dan tak kalah penting, kata Hasibuan, unsur delik korupsi tak harus karena Soeharto telah menguntungkan diri sendiri, tapi bisa pula lantaran menguntungkan orang lain atau kroninya. Namun, sampai kini, Kejaksaan Agung mengaku belum menemukan bukti permulaan untuk menjadikan Soeharto sebagai tersangka. Jadi, menjelang pemilihan umum pada 7 Juni nanti, bisa-bisa pengusutan kejaksaan berujung pada kalimat ini: ''Kasus dikesampingkan karena tak cukup bukti." Happy Sulistyadi, Hardy R. Hermawan, Hendriko L. Wiremmer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus