Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran fotografi dan karya seni 25 tahun Reformasi.
Upaya mengingat dan merawat harapan Reformasi.
KANTOR Yayasan Riset Visual mataWaktu di ruko sempit ITC Fatmawati, Jakarta Selatan, Rabu malam, 17 Mei lalu, penuh sesak oleh pengunjung. Halaman ruko juga dipenuhi ratusan orang yang menghadiri pembukaan acara pameran dan jejaring bersama bertajuk "25 Tahun Reformas!h In Absentia" yang berlangsung hingga sebulan mendatang. Kebanyakan hadirin adalah seniman, fotografer, mantan aktivis, dan anggota masyarakat yang ingin mengingat peristiwa 25 tahun silam. Salah satunya Nadia Hastarini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah Nadia masuk jepretan kamera fotografer (almarhum) Julian Sihombing yang tengah dipamerkan. Di kolase foto, ia berdiri berdemonstrasi, tampak menoleh ke sebuah arah. Saat itu ia adalah satu dari ribuan mahasiswa yang menuntut perubahan. Nadia masih ingat hari-hari ia dan kawan-kawannya berdemonstrasi di kampus menjelang peristiwa berdarah kerusuhan Mei 1998. Nadia, yang ketika itu menjadi wakil ketua III dewan mahasiswa di fakultas hukum, kerap tak pulang dan tidur di kampus untuk memikirkan koordinasi pergerakan hingga pecah kerusuhan massal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nadia dalam foto karya Julian Sihombing saat demonstrasi Mei 1998, yang dipamerkan dengan tajuk 25 Tahun Reformas!h In Absentia di Matawaktu, Fatmawati Jakarta. Dok. Matawaktu/25 Tahun Reformas!h In Absentia
“Foto itu jika tak salah beberapa jam sebelum terjadi penembakan Elang dan kawan-kawan,” ujarnya kepada Tempo, mengingat peristiwa 25 tahun lalu. Menurut dia, para mahasiswa sudah hendak bergerak ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat dan mendapatkan izin polisi. “Tiba-tiba saat itu ada peluru tajam berhamburan,” ujarnya. Ia mengumpulkan selongsong peluru dan membawanya sebagai barang bukti.
Nadia Hastarini di Yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, 17 Mei 2023. Tempo/Febri Angga Palguna
Setelah 25 tahun berlalu, Nadia merasa seperti masih bermimpi. Banyak harapan tinggi, tapi situasi yang ada membuat kecewa. “Kayak baru kemarin saja. Saya prihatin dengan tata kelola pemerintahannya, good governance-nya, kok, malah mundur, bukan sosok-sosoknya,” ucapnya. Setelah Reformasi, Nadia memilih profesi pengacara, tak mengikuti teman-teman seangkatannya yang masuk partai atau menjadi aktivis.
Ada banyak wajah mahasiswa yang difoto closeup, seperti terlihat dalam karya Kemal Jufri. Mantan fotografer Agence France-Presse ini mengambil foto seorang demonstran berkacamata yang tampak ngotot berteriak dengan ekspresi marah di hadapan pasukan polisi yang tak berekspresi. Ia tak ingat lokasi memotretnya, apakah di gedung DPR, Universitas Trisakti, atau Semanggi.
Fotografer Kemal Jufri dalam pameran 25 Tahun Reformas!h In Absentia di Yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, 17 Mei 2023. Tempo/Febri Angga Palguna
Saat peristiwa Mei 1998 meletus, hampir setiap hari Kemal berkeliling memantau situasi yang memanas. Pada malam hingga menjelang pagi, ia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar gelap untuk mencuci-cetak foto sendiri hingga mengirim foto yang diambil di lapangan sepanjang siang. “Sangat menguras tenaga,” kata Kemal. Ia pun harus berhemat film untuk mengabadikan peristiwa chaos itu.
Peristiwa kerusuhan di sekitar Universitas Trisakti yang menyebabkan kebakaran di berbagai tempat masih terngiang dalam ingatan Kemal. Saat itu massa hendak membakar stasiun pengisian bahan bakar umum dan aparat menembaki massa. Ia pun tak luput dari tembakan peluru yang menyebabkan dua luka berdarah.
“Enggak nyangka aparat akan menembak. Karena aku ada di tengah-tengah itu, ya kena juga,” ujarnya. Tak ada perlengkapan memadai yang ia pakai saat itu sehingga ayahnya, Fikri Jufri, selalu khawatir. Peristiwa setelah kebakaran dan adanya korban tewas menjadi memori buruk bagi Kemal. Namun tuntutan pekerjaan dan berbagai peristiwa besar yang terjadi setelah itu menimpa memori buruk tersebut.
Asap yang masih mengepul di kawasan Glodok menyesakkan hati John Suryaatmadja, 56 tahun, fotografer lepas yang saat itu tengah berburu foto sehari setelah peristiwa kebakaran. “Saya membayangkan korban dan jika itu menimpa saya dan keluarga. Itu yang paling membekas, apalagi ada banyak cerita mengerikan,” tutur John.
Fotografer John Suryaatmadja dalam pameran 25 Tahun Reformas!h In Absentia di Yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, 17 Mei 2023. Tempo/Febri Angga Palguna
Peristiwa tersebut sangat menakutkan bagi pria yang saat itu berusia 31 tahun ini. Ia merasa dekat lantaran dia juga keturunan Tionghoa. Ada kekhawatiran peristiwa itu menimpanya, tapi ia merasa justru lebih aman jika berada di lapangan ketimbang hanya berdiam di rumah. Ia menyayangkan pada hari-hari yang menakutkan itu justru tak ada aparat yang memberi perlindungan.
Ia biasa berburu foto bersama fotografer Julian Sihombing dan Oscar Motuloh yang memudahkannya mendapatkan akses dan informasi. Tapi kadang ia juga berjalan sendiri menyewa ojek seharian, naik kendaraan umum, atau membawa kendaraan pribadi ke berbagai sudut kota mengabadikan momen kerusuhan. Karyanya juga terpampang di kolase, mengabadikan peristiwa setelah pecahnya kerusuhan di kolong Jembatan Semanggi. “Justru saya ambil aftermath-nya,” kata John. Tak jarang ia mendapat timpukan batu yang nyasar atau terkena gas air mata ketika mengambil angle foto. Ia selalu membawa persediaan rol film yang cukup agar tak kehilangan momen.
Foto Nadia serta karya Kemal dan John adalah bagian dari kolase foto dan karya seni lain dalam pameran yang digelar Yayasan Riset Visual mataWaktu. Penulis dan budayawan Goenawan Mohamad membuka pameran ini. Dalam sambutannya, ia menyatakan dalam setiap peringatan Reformasi selalu ada yang menyampaikan ketidakpuasan. “Reformasi kok begini-begini saja, sebetulnya itu tanda kita tidak rendah hati kepada sejarah. Kita tidak bisa membentuk masa depan semau kita,” ujar Goenawan.
Menurut dia, setiap perubahan akan menghadirkan hal baik meski tetap menyisakan hal yang pahit untuk terus dilawan. Tidak semua harapan akan terpuaskan dan banyak yang mengecewakan. Ia mencontohkan betapa partai politik kini menjadi sangat berkuasa dan soal parlemen yang korup. Sedangkan hasil Reformasi yang bisa dinikmati, seperti hak asasi manusia, baru dicantumkan dalam undang-undang setelah Reformasi. Hilangnya diskriminasi etnis dan rasial juga disebabkan oleh Reformasi. Begitu pula kemerdekaan pers dan hak-hak sipil lain. Reformasi memperlihatkan mimpi baik dan mimpi buruk. Goenawan juga mengingatkan agar hasil perjuangan para penggerak Reformasi tetap dirawat.
Foto karya John Suryaatmadja dalam pameran 25 Tahun Reformas!h In Absentia. Dok. Matawaktu/25 Tahun Reformas!h In Absentia
Dalam pameran ini, terpampang karya puluhan fotografer, seniman atau pekerja seni, perusahaan media, serta lembaga negara seperti Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Mereka adalah Adek Berry, Andi Ari Setiadi, Agus Susanto, Alit Ambara, Awan Simatupang, Beawiharta, Budi Purwito, Chandra Rahmatillah, Danu Kusworo, Didi Raharjo, Diky Halim, Donny Metri, Eddy Hasby, Enrico Halim, Gino F. Hadi, Goenawan Mohamad, Grafis Sosial, tim Grafis Trisakti 98, Graphic Victims, Iwan Setiyawan, Jay Subyakto, John Suryaatmadja, Julian Sihombing, Kariim Saad, Kemal Jufri, Melly Riana Sari, Muhammad Revaldi, Mosista Pambudi, Oscar Motuloh, Rahmat Riyadi, Rajut Kejut, Rizal Rudi Surya, Rully Kesuma, tim Saksi Seputar Aksi 98, dan Saut Sitompul.
Kurator pameran, Oscar Motuloh dan Gunawan Widjaja, menata karya fotografer dalam kolase foto berbagai ukuran sedang dan obyek. Ada pula bundelan karya desain grafis, karya sastra, esai, kliping koran, dan kartun serta dua karya instalasi dua kuda tanpa kepala dan hasil reproduksi senapan serbu dari keping huruf keyboard.
Pameran dimulai dengan pengantar kuratorial, sisa kepingan seng yang terbakar bertulisan "Milik Pribumi". Kemudian foto-foto Soeharto dengan sepeda motor Harley-Davidson serta Soeharto bersama para menteri dan konglomerat. Terselip juga foto Marsinah, buruh yang tewas sebagai korban rezim Orde Baru. Lalu foto sampul majalah Tempo yang mengulas kapal perang bekas yang dibeli pemerintah Indonesia yang menjadi biang kemarahan dan menyebabkan pembredelan tiga media, ditunjukkan dengan foto Goenawan Mohamad muda ketika dikerubuti jurnalis di depan gedung Mahkamah Agung setelah mengajukan gugatan majalah Tempo dan foto Fikri Jufri, salah satu pejabat Tempo yang seperti tengah menunggu waktu. Juga foto-foto gencarnya demonstrasi yang dihadiri aktivis hak asasi manusia, Adnan Buyung Nasution, demonstrasi mahasiswa jepretan Gino F. Hadi.
Terpampang pula foto Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus dengan gestur yang congkak melihat Presiden Soeharto menandatangani perjanjian dengan lembaga keuangan dunia itu. Tampak juga foto Soeharto yang tertunduk lesu, lalu foto-foto putri Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana, bersama Harmoko—menteri, lalu Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pengurus Partai Golkar saat itu. Juga foto tuntutan massa kepada keluarga Cendana. Galeri foto dilanjutkan dengan situasi demonstrasi yang memanas dan turunnya pasukan polisi berseragam lengkap.
Foto Marsinah saat menghadiri pernikahan adiknya yang dipamerkan dalam 25 Tahun Reformas!h In Absentia di Matawaktu, Jakarta. Dok. Tempo/25 Tahun Reformas!h In Absentia/Matawaktu
Makin ke kiri, dari kolase tampak foto-foto chaos demonstrasi yang ditanggapi brutal oleh aparat. Tampak foto korban yang jatuh, sebagian berdarah bahkan tewas jadi korban peluru atau alat aparat yang brutal. Foto Mosista Pambudi yang mengabadikan puluhan peti mati untuk penguburan massal 113 jenazah yang tak dikenali, korban kebakaran di toko-toko di Jakarta dan Tangerang, Banten, cukup menyentuh. Lengsernya Soeharto sebagai presiden yang berkuasa 32 tahun tetap dimunculkan dalam sebuah judul berita dan karya grafis. Penggalan karya sastra dan esai dibubuhkan dalam kolase sepanjang hampir 7 meter itu.
Duo kurator itu mengurutkan karya dalam kolase dan garis lini masa berlampu yang memperlihatkan dinamika politik pada Mei 1998, menjelang Reformasi. Kumpulan karya sastra Wiji Thukul, esai Goenawan Mohamad, suara mahasiswa, serta karya grafis korban tewas mahasiswa Universitas Trisakti karena terjangan peluru aparat juga dapat dilihat oleh pengunjung. “Saya mengumpulkan karya dan menghubungi teman-teman yang punya visi dan keinginan yang sama,” ucap Oscar.
Pameran ini, Oscar melanjutkan, menghadirkan rangkaian satu peristiwa menuju satu bagian sejarah penting yang tidak pernah tercatat dalam kurikulum pendidikan sejarah di generasi baru. "Pameran ini kami tampilkan untuk mengingatkan kembali selama 32 tahun Indonesia pernah menjadi otokrasi, rezim Orde Baru. Narasi-narasi yang membelenggu kebebasan," tuturnya.
Ide Oscar dan Gunawan sejalan dengan ide arsitek dan pekerja seni Jay Subyakto. Ia hadir bersama anak dan istrinya. Dua karya Jay, sebuah foto bendera Merah Putih dengan siluet kawat berduri, ia ambil di daerah Sukamadu sebelum dibangun Jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya-Madura. Karya tiga dimensi dari berbagai medium memperlihatkan sebuah mesin tangan besi dengan wajah Soeharto (dari uang Rp 50 ribu) berdiri di atas tengkorak para korban. Ini menggambarkan situasi ketika Indonesia berada di bawah rezim yang membelenggu kebebasan berekspresi dan segala sesuatu dilarang dengan risiko kematian.
“Saya ingin mengajarkan langsung sejarah kepada anak saya. Peristiwa penting ini yang tak diajarkan di sekolah,” ujarnya. Jay pun waktu itu ikut berdemonstrasi bersama teman-temannya di Universitas Indonesia. Orang tuanya tak melarangnya berdemo dengan alasan sejarah sedang berlangsung.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kebebasan: Kesaksian dan Harapan Fotografer"