Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Band Efek Rumah Kaca konsisten menyuarakan isu sosial, politik, dan kemanusiaan.
Setelah delapan tahun, Efek Rumah Kaca merilis album baru bertajuk Rimpang.
Rimpang menawarkan kebaruan musik dibanding tiga album sebelumnya.
DENGAN tempo pelan, Cholil Mahmud mulai melantunkan lagu “Manifesto” diiringi petikan gitar. Tembang dari album terbaru Efek Rumah Kaca, Rimpang, tersebut dibawakan Cholil dalam sesi latihan di Kios Ojo Keos, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Senin, 15 Mei lalu. “Kami perlu latihan sebelum konser di Singapura,” kata Cholil.
Efek Rumah Kaca (ERK) bakal tampil di Esplanade Concert Hall, Singapura, pada 21 Mei 2023 dalam acara seni budaya Melayu, Pesta Raya 2023. Ini akan menjadi penampilan kedua band tersebut di Negeri Singa. Sebelumnya, mereka tampil di Pusat Kebudayaan Singapura pada 2010. “Beberapa lagu dari album Rimpang akan dibawakan di acara itu,” ujar Cholil, 47 tahun, vokalis dan gitaris ERK.
Cholil, yang ditemani personel ERK lain, Akbar Bagus Sudibyo (drum), Airil Nur Abadiansyah alias Poppie Airil (bas), serta Reza Ryan (gitar dan kibor), menceritakan proses kreatif di balik pembuatan album Rimpang yang dirilis pada akhir Januari lalu. Album keempat tersebut berisi sepuluh lagu. Seperti tiga album sebelumnya—Efek Rumah Kaca (2007), Kamar Gelap (2008), dan Sinestesia (2015)—lagu-lagu dalam album Rimpang mengangkat tema sosial, politik, dan hak asasi manusia.
Menurut Cholil, sebenarnya materi album tersebut telah digarap sejak 2016. Namun penggarapannya tertunda. Saat itu Cholil menyusul istri dan anaknya yang lebih dulu tinggal di New York, Amerika Serikat. Cholil menemani istrinya, Irma Hidayana, yang kuliah doktoral di Columbia University.
Cholil juga kemudian kuliah di New York University. “Akhirnya saya ikut kuliah juga,” tutur lulusan akuntansi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas, Jakarta, itu. Setelah lulus pada 2019, mereka kembali ke Indonesia.
Pada 2020, Cholil sekeluarga kembali ke Negeri Abang Sam. Saat itu ia menemani Irma yang menempuh studi pascadoktoral dan mengajar di St. Lawrence University, New York. Biasanya, kalau ada libur, kata Cholil, mereka pulang ke Jakarta.
Pulang adalah kesempatan Cholil bersama ERK menyelesaikan penggarapan lagu-lagu yang tertunda. Empat lagu yang mereka rampungkan akhirnya diputuskan untuk dijadikan EP atau album mini Jalan Enam Tiga, yaitu “Tiba-tiba Batu”, “Normal yang Baru”, “Jalan Enam Tiga”, dan “Palung Mariana”.
Jalan Enam Tiga yang menjadi judul album itu diambil dari nama sebuah jalan di kawasan Manhattan, New York, bernama 63rd Street. Di kawasan itu Cholil dan keluarganya bermukim.
Semua isi Jalan Enam Tiga direkam di Trout Studio, Brooklyn, New York, pada awal musim panas 2019 oleh Bryce Goggin. Saat itu Akbar dan Airil berangkat ke New York untuk menyelesaikan album tersebut. Jalan Enam Tiga dirilis pada awal 2020. “Setelah merilis mini album itu, kami lanjut bikin Rimpang,” ucap Cholil.
Mereka membuat tiga lagu baru, yakni “Sondang”, “Heroik”, dan “Ternak Digembala”, untuk melengkapi tujuh materi lain yang telah digarap untuk album Rimpang. “Tapi waktu itu belum tahu judulnya apa,” ujar Cholil. Saat membuat tiga lagu baru itu, kata Cholil, mereka menggandeng Reza Ryan yang sejak 2018 kerap bekerja sama dengan ERK.
Akhirnya sepuluh lagu untuk materi album Rimpang pun tuntas. Bila merujuk pada kamus bahasa Indonesia, “rimpang” berarti batang yang menjalar di bawah tanah, menghasilkan kuncup yang menjadi batang ke atas dan mengakar ke bawah. Namun, kata Cholil, “rimpang” adalah pergerakan yang tidak linier, tidak hierarkis, dan bergerak di bawah tanah.
“Yang dimaksud dengan rimpang kan itu, ia mengakar, jadi batang, menyebar. Punya fungsi juga,” tuturnya. “Kalau di bawah tanah mungkin tidak terlalu terdeteksi. Jadi kita mencoba lebih peka melihat hal-hal halus, tak kasatmata, sebagai perubahan besar.”
Album terbaru band Efek Rumah Kaca 'Rimpang' di Kios Ojo Keos, Cilandak, Jakarta Selatan, 15 Mei 2023/Tempo/Febri Angga Palguna
Kadang, Cholil menjelaskan, kita luput menilai hal sederhana, subtil, dan kecil yang sebenarnya berharga. Padahal, dia melanjutkan, dari hal itu ada sebuah capaian. “Kita mencoba menghargai upaya yang mungkin sia-sia. Tapi saya merasa dengan Rimpang itu enggak ada yang sia-sia,” ucapnya.
Menurut Cholil, sebagai tembang, "Rimpang" adalah cara melihat apakah menulis sebuah lagu bertema politik bisa menggerakkan orang untuk berubah, turun ke jalan jika diperlukan, untuk menyuarakan aspirasi rakyat. “Kita enggak bisa jawab juga,” ujarnya.
Namun, Cholil mencontohkan, dalam beberapa fakta aksi di jalan, tampak ada coretan, gambar, atau logo musikus. Hal tersebut menunjukkan, meski musikus itu tidak hadir, pendengar musiknya hadir di arena aksi. Karena itu, Cholil menyimpulkan, lagu bisa menggerakkan orang untuk menyampaikan pendapat.
Maka dalam album Rimpang tersaji lagu “Sondang” yang liris dan puitis. Lagu ini memotret kisah Sondang Hutagalung, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, Jakarta, yang berdemonstrasi seorang diri dengan cara membakar diri di depan Istana Presiden pada 7 Desember 2011.
Nuansa suram yang terdengar dalam lagu “Sondang” mengingatkan pada tembang “Di Udara” dari album Efek Rumah Kaca (2007). Lagu ini mengisahkan kegigihan Munir Said Thalib, aktivis hak asasi manusia yang tewas diracun di pesawat dalam penerbangan dari Jakarta menuju ke Belanda.
Lantas apakah ada kebaruan dalam Rimpang dibanding album mereka sebelumnya? Cholil menyebutkan ERK selalu melakukan pembaruan. “Terutama buat diri kita sendiri. Kita enggak ingin memainkan musik yang begitu-begitu saja,” katanya.
Cholil menjelaskan, perkembangan estetika musik ERK yang mengusung genre pop indie terus bergerak dari tiga album sebelumnya hingga Rimpang. “Di luar itu, dari segi liriknya, menurut saya Rimpang sangat progresif,” Reza Ryan menambahkan.
•••
TERBENTUK pada 2001, awalnya band ini beranggotakan lima personel, yakni Cholil Mahmud, Adrian Yunan Faisal, Hendra, Sita, dan Akbar Sudibyo. Dua tahun kemudian, Hendra dan Sita keluar.
Grup ini pun pernah berganti nama tiga kali. Saat lahir, namanya adalah Hush, lalu berganti menjadi Rivermaya, kemudian Superego. Nama Efek Rumah Kaca mereka temukan saat ada tawaran manggung dalam sebuah acara. Nama itu mereka ambil dari satu judul lagu, “Efek Rumah Kaca”.
Mereka baru merilis album perdana bertajuk Efek Rumah Kaca atau self-titled pada 2007. Lalu menyusul album Kamar Gelap (2008), Sinestesia (2015), dan yang terbaru Rimpang (2023).
Sejak berdiri, ERK dikenal sebagai band yang menyuguhkan lirik-lirik tajam. Lagu-lagu mereka kritis dengan diksi yang solid berbicara tentang isu sosial, politik, dan kemanusiaan yang terjadi di Tanah Air. Inilah yang kemudian menjadi kekuatan mereka hingga kini.
Cholil tersenyum ketika mengingat awal terbentuknya Efek Rumah Kaca sekitar 22 tahun lalu. Dia tidak membayangkan estetika ERK dalam bermusik akan konsisten membicarakan isu sosial, politik, dan kemanusiaan.
Bagi Cholil, membayangkan arah perjalanan sebuah band ke tahun-tahun berikutnya akan membatasi imajinasi dalam penciptaan karya. “Kami tidak membayangkan 20 tahun kemudian mengerjakan ini (Rimpang). Bagi kami, yang penting bagaimana menuliskannya,” tuturnya.
Ada anggapan umum lagu-lagu ERK membawa spirit perlawanan. Teks mereka menjadi semacam medium percakapan untuk menyampaikan isu tertentu, tentang penculikan, pembunuhan, sampai penguasa yang lalim.
Menurut Cholil, karya ERK mencatat perlawanan-perlawanan yang lebih dulu dilakukan orang lain. Mereka mengemas perlawanan itu ke dalam lagu dan diperluas daya jangkaunya ke telinga pendengar. Cholil menuturkan, bermusik seperti melakukan percakapan yang membawa pesan kepada para pendengar.
Efek Rumah Kaca dalam Soundsfest 2022 di Parking Ground Summarecon Mall Bekasi, 5 November 2022/Tempo/Magang/Martin Yogi Pardamean
“Jadi kami hanya meminjam kisah, lalu kami kabarkan, kami lakukan percakapan, ubah format jadi musik,” ucap Cholil. Dia menambahkan, merawat rasa heran menjadi penting agar, “Kita punya kewarasan terus-menerus mempertanyakan sesuatu.”
Namun Cholil tidak mempunyai jawaban pasti apakah lagu-lagu ERK seperti memantik api perlawanan di telinga para pendengar. Bisa jadi seluruh kemarahan yang ditumpahkan dalam lagu itu yang terpendam.
Dalam keyakinan Cholil dan personel ERK lain, kemarahan tidak secara spontan terwujud menjadi satu gerakan besar. Dalam hal lain, misalnya, mungkin bukan tugas sebuah lagu untuk memicu perlawanan terhadap penguasa.
Cholil percaya ada peran dan situasi tertentu yang bisa membangkitkan semangat semacam itu. “Tapi bisa jadi karena situasi atau rasa dijejalkan melalui lagu itu membuat ada kemarahan yang terpendam,” ujarnya.
Cholil dan ERK berharap keresahan diri mereka sebagai manusia terus ada. Keresahan itu memantik mereka untuk terus mencipta karya. Dia berharap masih memiliki energi untuk mengejar hal lain yang selama ini belum diketahui. “Karena hal-hal yang kita tahu itu lebih aman kalau kita tidak tahu. Setidaknya lebih menarik untuk kami,” kata Cholil.
Kini, lewat album terbaru Rimpang, mereka menyuguhkan musik dengan suara khas Cholil. Ia menyanyikan lirik yang puitis dan kritik pedas tanpa sinisme. Dengan “kepala penuh kemarahan”, hanya itu cara yang mereka tempuh untuk melawan.
Perlawanan itu, menurut Cholil, seperti yang dilakukan James C. Scott, ilmuwan politik dan ahli wilayah Asia Tenggara, yang menulis tentang perlawanan petani di Kamboja. “Dia melawan tidak dengan protes, tidak dengan peperangan, tapi dengan sikap yang tumbuh karena kemarahan terhadap situasi yang menekan."
•••
SEBAGIAN besar personel Efek Rumah Kaca—Akbar Sudibyo, Poppie Airil, dan Reza Ryan—terjun sepenuhnya di dunia musik. Adapun Cholil Mahmud, selain bermusik, dikenal sebagai aktivis. Sejak ia kecil, musik telah menjadi bagian hidup pria yang lahir di Jakarta pada 28 April 1976 ini. Saat masih duduk di sekolah dasar, dia belajar bermain gitar kepada seorang tetangga rumahnya di Jakarta. Menginjak remaja, Cholil mulai serius bermain musik. Dia kerap membawakan lagu-lagu rock dari grup Metallica, Skid Row, dan Anthrax.
Dunia aktivis mulai ia rambah pada 2000-an. Selama 2001-2013, Cholil menjadi anggota Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan. Menurut Cholil, lembaga itu sangat membantu mengasah kepeduliannya terhadap isu-isu politik. “Ya, kerjanya riset,” ucapnya.
Cholil juga menjadi anggota Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta. Selain itu, bersama musikus Indra Lesmana, Endah Widiastuti, hingga Once Mekel, dia tergabung dalam Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia. Melalui organisasi ini, mereka menginisiasi sebuah gerakan revolusi industri musik dengan tanda pagar #dimulaidariroyalti.
Personil band Efek Rumah Kaca Choili Mahmud di Kios Ojo Keos, Cilandak, Jakarta Selatan, 15 Mei 2023/Tempo/Febri Angga Palguna
Gerakan tersebut, tutur Cholil, berangkat dari terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/Musik serta Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 20 Tahun 2021 yang merupakan aturan pelaksanaannya. Lewat aturan ini, pemerintah mencanangkan sebuah pusat data lagu dan musik dalam Sistem Informasi Musik dan Lagu. Alih-alih membantu tata kelola industri musik Indonesia menjadi lebih baik, aturan tersebut dinilai merugikan para musikus.
Cholil berpendapat, banyak orang belum tahu tentang royalti, yang meliputi hak orang-orang di industri musik, seperti hak moral dan hak ekonomi. Berbeda dengan di Indonesia, di luar negeri, dia menjelaskan, royalti sudah diatur dalam saluran masing-masing. “Bahkan dalam satu waktu, orang engineering bisa dapat (bayaran) karena diakui punya kemampuan bikin musik,” tuturnya.
Sejak 2012, Cholil juga aktif di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras. Ia juga menjadi bagian dari Badan Pengurus Perkumpulan Kontras periode 2020-2023. “Ya, rapat-rapat membahas perkumpulan,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Yosea Arga Pramudita berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Konsisten Menyuarakan Keresahan Zaman"