Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 didokumentasikan dengan foto dan video.
Tidak banyak jadi inspirasi bagi seniman untuk dijadikan karya seni.
Perupa setengah hati memunculkan lukisan dengan tema tersebut karena khawatir kekuatan Orde Baru masih ada.
SETIAP peristiwa besar memiliki rekamannya, setiap gerakan besar ada yang menceritakannya. Tuturan itu sudah lama terbukti ketika Presiden Sukarno dan Sudjojono menggagas agar para pelukis Indonesia menggambarkan seluk-beluk perjuangan dalam mengusir penjajah. “Mumpung memori kita masih dekat serta atmosfer debu dan desing peluru masih lekat,” kata Sukarno dalam rapat Seniman Indonesia Muda pada 1947. Lalu para pelukis, yang sebagian besar ikut angkat senjata, ramai-ramai mencipta. Mereka umumnya memberangkatkan karyanya dari sketsa yang dibikin secara on the spot dari medan laga. Lantas lahirlah ratusan lukisan perjuangan yang kini tersimpan di berbagai ruang negara.
Zaman beralih. Sukarno turun dan digantikan Soeharto dengan Orde Baru-nya. Setelah memerintah selama 32 tahun, Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya dengan paksa oleh gerakan Reformasi. Puluhan ribu mahasiswa turun ke jalan untuk berdemonstrasi dan puluhan ribu rakyat ikut menggelorakan gerakan tersebut. Mereka berhadapan dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang garang. Senjata para tentara ini pun membunuh sejumlah mahasiswa di kampus dan jalanan.
Kerusuhan hebat terjadi di Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan beberapa kota lain. Dalam puncak kerusuhan pada 12, 13, dan 14 Mei 1998, tercatat ada 1.217 orang mati dan 189 perempuan (umumnya keturunan Tionghoa) diperkosa. Ada 32 mal, 218 toko, 155 bank, serta 165 rumah toko dijarah dan dibakar. Terdapat pula 81 kantor, 4 hotel, 21 rumah pribadi, dan 2 stasiun pengisian bahan bakar umum yang rusak. Penduduk sangat tegang. Di setiap kompleks perumahan diadakan jam malam. Mereka khawatir sewaktu-waktu ada penyerbuan oleh kelompok liar terorganisasi yang akan merampok dalam kekeruhan situasi.
Soeharto akhirnya turun takhta pada 21 Mei 1998. Keriuhan gerakan reformasi itu, karena sangat banyak menimbulkan korban, disebut tragedi Mei 1998. Peristiwa tragedi Mei 1998 terekam nyaris lengkap. Ribuan karya foto yang berisi adegan miris dan momentum kritis dibikin oleh wartawan. Kamera video berbagai stasiun televisi juga menyiarkan untuk menegaskan cerita yang ditulis dan dibacakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya Dede Eri Supriya Runtuhnya Panggung Emas. Dok. Pribadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejadian buruk besar seperti ini sesungguhnya menstimulasi para perupa untuk mengabadikannya. Tapi adakah karya-karya seni rupa yang ikut mengemas tragedi politik tersebut, setidaknya pada minggu-minggu pertama setelah peristiwa? Ternyata hampir tak ada. Sepanjang yang saya tahu, hanya Sunaryo yang menanggapi kepiluan itu dengan spontan. Kita ingat, pada Mei yang mengerikan itu, ia mendadak membungkus belasan patungnya dengan kain hitam. Tali-tali putih dijadikan ikatan. Patung pun seperti lambang kematian. “Itu simbol rasa duka saya. Mengapa Indonesia bisa sampai ke titik nadir?” Belasan patung bungkus itu ia pajang di Selasar Sunaryo di Bandung selama beberapa bulan.
Sementara itu, Djoko Pekik baru mencipta Berburu Celeng pada 77 hari setelah tragedi Mei. Itu pun berfokus kepada Soeharto sebagai pemimpin represif. Srihadi Soedarsono, yang biasanya reaktif atas sebuah peristiwa, juga baru “bersuara” pada 100 hari setelah peristiwa Mei tersebut. Yang tertampilkan bukan gambaran porak-porandanya Jakarta, melainkan jajaran sosok penari bedoyo ketawang yang bergerak pelan seperti sedang berdoa dalam kegelapan.
Pada akhir 1998 saya melacak banyak studio para perupa Indonesia. Ternyata sangat jarang perupa yang merekam peristiwa gerakan Reformasi Indonesia dan tragedi yang menyertainya. Apa pasal? Sebagian menjawab, lantaran foto-foto jurnalistik sudah merekam habis-habisan kejadian banal itu. Jadi perupa kehilangan peluang.
Adapun sebagian besar perupa lain mengaku gamang karena mereka pernah dekat atau berada di dalam lingkaran kekuasaan yang diruntuhkan itu. Contohnya Abas Alibasyah, mantan inspektur kebudayaan yang melukis Catatan Tengah Mei 1998. Lukisannya merekam bangunan yang hancur akibat dirusak massa di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Lukisan realisme apik itu mengambangkan perkara: kehancuran yang terjadi karena kekuasaan Soeharto atau karena kebrutalan massa?
Namun, meski sulit, akhirnya ditemukan juga lukisan yang menggambarkan tragedi Mei 1998 itu. Sepotong demi sepotong lukisan muncul dalam pameran berselang enam bulan setelah tragedi. Jarak waktu ini menghadirkan asumsi bahwa pada bulan-bulan sebelumnya perupa setengah hati untuk memunculkan lukisan dengan tema tersebut. Mereka khawatir kekuatan Orde Baru masih ada. Mereka menunggu agar suasana adem dulu. Mereka membaca betapa peristiwa tengah Mei sesungguhnya cenderung sebagai momentum politik dan jurnalistik. Bukan momentum artistik.
Salah satunya adalah karya Dede Eri Supria, Runtuhnya Panggung Emas. Lukisan besar ini menggambarkan runtutan peristiwa politik di Indonesia. Pada latar belakang terlihat kerumunan massa di tengah cahaya api yang merah menyala. Kerumunan itu mengguncang kursi goyang yang semula diduduki Soeharto. Panggung emas kekuasaan yang bertulisan "korupsi" dan "kolusi itu" pun runtuh. Sementara itu, pada bagian bawah terlihat kepala seorang badut yang mencoba memainkan politik pecah-belah.
Lukisan Runtuhnya Panggung Emas dikerjakan pada akhir Juni 1998 dan sengaja dinyatakan selesai ketika Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Madeleine Albright datang ke Indonesia pada awal April 1999. Simbol kedatangan Madeleine adalah gambar dua koboi menaiki kuda yang kelihatan akan terus mengawasi pergerakan politik era Reformasi Indonesia.
Dalam pameran lain juga terlihat lukisan Odjie Lirungan yang menggambarkan kerusuhan massal di Jakarta. Di kanvas tampak orang yang disate dan dibakar. Tergambar juga seorang jenderal berbentuk robot sedang memutar mesin pembunuh. Odjie—pelukis dan pegrafis aktif—sukses melukiskan ini dengan atmosfer surealisme yang seram. Namun ia segera melunakkan semua keseraman itu lewat judul jenaka, Balada Badut.
Pelukis Kukuh Nuswantoro, yang kelak menjadi juara dalam kompetisi UOB Art Award, dengan lucu melukiskan kiasan mahasiswa yang dijadikan kambing hitam dalam tragedi Mei 1998. Lukisan bersuasana humor itu merupakan bagian dari seri karya yang menceritakan “shio utama” bangsa Indonesia di mata Orde Baru. Ini adalah shio ayam (potong) untuk rakyat Indonesia, shio sapi (perah) untuk pengusaha Tionghoa di Indonesia, dan shio kambing (hitam) untuk mahasiswa Indonesia. Ada pula seni instalasi kayu F.X. Harsono, Yang Mati Terbakar. Karya metaforis ini baru ditampilkan pada November 1998.
Tapi, di samping yang samar-samar, ada satu-dua yang lugas, seperti karya Gotot Prakoso, Culik. Pelukis dan animator ini jelas mengungkap kebuasan militer Orde Baru yang meringkus para mahasiswa untuk dibui atau dicemplungkan ke laut. Pun karya Tisna Sanjaya yang merekam suasana chaos lewat seni campursari Dunia Dalam Berita.
Melihat sangat sedikitnya seni bertema tragedi Mei 1998 itu, Indofood Art Awards 2003 berusaha merangsang lagi ingatan perupa. Lalu diselenggarakanlah kompetisi seni lukis yang mengusung tema “Pancawarsa Reformasi Indonesia”. Kompetisi ini diikuti oleh 1.249 pelukis dengan sekitar 2.800 karya. Jumlah yang luar biasa banyak!
“Setelah lama sekali mempelajari makna Reformasi, para pelukis baru berani melakukan aksi,” kata psikolog Sarlito Wirawan Sarwono, yang menulis dalam buku kompetisi. Perenungan peristiwa selama lima tahun secara nyata membuahkan konten dan visual karya yang mengejutkan.
Karya Gatot Prakoso berjudul Culik. Dok. Pribadi
Pelukis Sapto Sugiyo Utomo melukis sejumlah keong yang merambat di tembok dalam karya Biar Nggremet Asal Slamet. Rambatan itu membekaskan jejak hijau lumut yang menggambarkan peta Indonesia. Lukisan itu jelas menyarankan agar Indonesia damai-damai saja dalam menata segalanya. Alon-alon seperti keong. Mulyadi W. menggambarkan puluhan anak ribut berebut layang-layang putus, meski akhirnya layang-layang itu remuk redam. Lukisan berjudul Ibarat Berebut Layangan Putus tersebut merefleksikan para politikus Indonesia pasca-Reformasi yang sungguh haus kekuasaan. Paul Hendro lewat Demo Crazy of Banana Republic menggambarkan selembar bendera Merah Putih yang kusut dan koyak akibat lemparan aneka kursi para politikus di lembaga perwakilan rakyat.
Gerakan Reformasi dan tragedi Mei 1998 oleh perupa dipahami sebagai peristiwa benturan politik dan kemanusiaan yang harus dihitung-hitung sebelum dimasukkan dalam dunia penciptaan. Setelah lama direnungkan, ternyata (justru) peristiwa pasca-Reformasi yang jauh lebih menarik divisualkan. Hal itu adalah intrik, perebutan jatah kuasa, manipulasi, nepotisme, demokrasi kebablasan, dongkel-dongkelan, dan jegal-jegalan.
Reformasi memang gerakan logis dan tragedi Mei 1998 adalah hasil dari politik bengis. Tapi kehebohan yang terjadi pada masa pasca-Reformasi tampak lebih menginspirasi perupa untuk mencipta karya. Kini, setelah 25 tahun, adakah keringat dan darah di jalan raya itu kembali dihayati dan dimasukkan ke lubuk seni rupa?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo