Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagar setinggi sekitar 9 meter itu dihiasi berbagai pelat aluminium berbentuk makhluk ganjil dan berbagai ornamen. Beberapa bagian dibubuhi balon percakapan seperti komik. Di situ tercantum pernyataan seperti âSeni, yo, seni, tapi jangan menindasâ, âWhy do you like to kill the other artâ, âSeni agawe rukunâ, dan âWhy should we fight with head if we could fight with hand?â.
Makhluk ganjil yang ada di sana serupa manusia, tapi bagian-bagiannya menyimpang. Ada figur manusia raksasa hitam yang terbaring miring, figur bertanduk, dan kepala besar dengan lidah menjulur seperti gurita. Ada pula sepasang lelaki dan perempuan yang merapat dengan tangan sang perempuan terulur ke belakang sang pria. Tangan itu dipasangi semacam alat yang membuatnya dapat lurus dan menekuk dengan poros pada siku. Tangan itu menggenggam belati, sehingga gerakannya membuat seolah-olah dia menikam leher belakang sang pria.
Kekerasan dan keganjilan di pagar yang membentang sepanjang muka Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, itu seakan mempersiapkan para pengunjung untuk menyelami dunia gelap yang dipampangkan Entang Wiharso dalam pameran tunggal ke-24 yang bertajuk Love Me or Die di dalamnya. Pameran kerja sama Galeri Nasional dan Galeri Canna itu berlangsung selama 21-31 Oktober.
Instalasi pagar berjudul Fence Chronicles itu, menurut Jim Supangkat, kurator pameran ini, merupakan metafora perangkap yang mengurung manusia. Keterperangkapan yang bermuara pada kekerasan, ketidaktoleransian, ketamakan, kekuasaan.
Isu yang bertebaran itu kemudian dibingkai dengan tema besar Love Me or Die. Ini suatu ungkapan yang bermasalah. Di satu sisi dia menawarkan harapan, impian, dan cinta, tapi di sisi lain mengandung ancaman, kekerasan, kematian. âDi situ ada pilihan dan tidak ada pilihan sekaligus. Saya mempertanyakan ini dan mencoba menggalinya,â kata perupa lulusan Jurusan Seni Lukis Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu.
Entang menampilkan hasil penjelajahannya itu di lebih dari 40 karya, yang terdiri atas instalasi, lukisan, patung, dan video, yang dihasilkannya dalam tiga tahun terakhir. Seniman kelahiran Tegal, Jawa Tengah, pada 1967 itu juga menyertakan sejumlah sketsa kecil, yang kadang cuma coretan di atas kertas bekas makalah, yang menunjukkan asal-usul gagasan untuk lukisan dan instalasi besarnya.
Entang memanfaatkan bahan aluminium untuk banyak instalasi dinding, yang berbentuk sosok ganjil dengan berbagai ornamen yang dipasang di tembok. Pilihan bahan aluminium ini ditemukan secara tak sengaja ketika dia menyiapkan pameran tunggalnya di Ark Gallery, Jakarta, pada 2008. Saat itu ia hendak membuat karya grafis dengan teknik monoprint, yang menghasilkan bentuk lekukan negatif di atas kertas.
Untuk itu, ia dibantu istrinya, Christine Cocca, seniman Amerika Serikat yang menguasai teknik cetak ini, membuat pelat-pelat klisenya. Namun Entang melihat bahwa pelat klise sisa itu ternyata menarik. âKalau dibuang kan sayang juga,â katanya sambil tertawa.
Pelat itu membentuk pola seperti siluet, seperti wayang kulit. Entang lantas mengembangkannya sebagai karya sendiri yang kemudian ditata dalam sebuah instalasi dinding. Instalasi ini kadang dilengkapi latar berupa lukisan, seperti dalam Love Me or Die yang membentang seluas 250 x 500 sentimeter.
Latarnya berupa lukisan bukit hitam dan pohon-pohon. Di depannya terdapat beberapa figur ganjil. Ada yang berbentuk manusia bersayap. Ada yang berupa sosok makhluk berkostum seperti Batman tapi bertangan capit besi dan lidahnya menjilat perut makhluk kecil bertopi tentara Romawi, yang justru menusukkan belatinya ke jidat si superhero. Di belakang si superhero seorang perempuan berdiri menyamping. Ada pula lelaki bertanduk sedang mencumbu seorang perempuan dan di sampingnya ada sosok tanpa kepala sedang berjongkok. Perbuatan mereka disaksikan sesosok lelaki tua berjanggut memegang golok dengan seekor ular nangkring di lengannya dan makhluk semacam Batman kecil bergayut di punggungnya.
Instalasi ini mengingatkan kita pada jagat pakeliran wayang kulit, dengan mempertahankan formatnya tapi mengganti materinya. Pengunjung juga dapat âmenontonâ sebuah lakon yang sedang dimainkan dalang Entang. Bedanya dengan wayang kulit, di sini penonton harus menulis sendiri lakonnya, karena sang dalang hanya memberikan fragmen-fragmen dari sebuah cerita yang belum selesai. âSaya ini ingin seperti dalang, yang menghidupkan artefak-artefak yang mati ini menjadi kisah dengan alegori,â kata Entang.
Karya Entang memadukan balon percakapan dan superhero dari tradisi komik dan pelat aluminium dari model wayang kulit dan relief Candi Prambanan, yang terletak tak jauh dari studionya. Pelat yang rata dan tipis itu jelas tak bisa menghasilkan efek timbul seperti pada relief candi, tapi dia menempatkan pelat itu berjarak dari latarnya sehingga menghasilkan bayangan yang memberi efek tiga dimensi.
Efek dari ketiadaan subyek juga muncul di sini. Pada instalasi Bus Chronicles, dia menata kursi, ban, setir, televisi, dan balon percakapan berisi keluhan umum orang di bus kota, untuk membangun imajinasi sebuah bus, tanpa menempatkan satu sosok manusia pun.
Entang juga bermain-main dengan berbagai alegori. Pada instalasi Feast Table seluas 175 x 400 sentimeter, dia menempatkan dua sosok manusia dari aluminium dengan tubuh penuh bercak merah, yang menghadapi seekor ikan raksasa di atas sebuah meja kayu keras bergaya kolonial. Mata-mata kail menancap di tubuh ikan aluminium bebercak merah itu, seakan inilah âikan kakapâ yang diperebutkan banyak orang. Perjamuan itu juga penuh ketegangan, karena satu sosok manusia berdiri dengan tangan kanan terjulur seakan menolak sesuatu dan sosok yang lain menyembunyikan belati di belakang punggungnya.
Perjamuan makan menjadi salah satu subtema yang juga dibahas Entang. Perupa yang masuk 10 Pelukis Terbaik Philip Morris Indonesian Art Awards pada 1996 itu memamerkan tiga seri lukisan Before and After, yang menggambarkan adegan dua orang di meja makan dalam suasana tegang. Tiap lukisan berisi dua orang menghadapi sebuah meja yang di tengahnya menyala sebuah api unggun. Namun orang-orang itu memegang belati, kapak, dan mata panah, seakan sesuatu sedang mengancam.
Salah satu instalasi yang menarik adalah Lost and Found, yang menggambarkan suasana perjamuan makan yang porak-poranda. Dua belas orang jatuh berhumbalangan di sekitar meja bundar. Meja ini adalah meja yang sama yang digunakan Entang saat melakukan seni pertunjukan (performance art) pada malam pembukaan Artpreneurship di Ciputra World Marketing Gallery, Jakarta, 25 April lalu. Pertunjukan itu dimulai dengan adegan Ciputra, kolektor Oei Hong Djien, dan tamu lain makan malam, lalu sebuah mesin penggilas jalan datang mengobrak-abriknya.
Bentuk lain dari aksi ini ia tampilkan dalam seni pertunjukan Desire-Eating Identity di Primo Marella Gallery, Milan, Italia, pada 2009. Di situ dia tidur dan berdiri di atas meja makan, yang dikelilingi beberapa orang yang justru sedang makan.
Aksi di perjamuan ini dapat saja dianggap sedang membahas keserakahan, kelaparan, rasa malu, dan berbagi. Entang, yang dulu menolong ibunya mengurus warung tegal di Jakarta, punya kenangan pahit masa kecil di meja makan. âSaat itu, setiap makan, saya selalu memikirkan adik-adik saya. Saya harus berhenti makan meski masih lapar,â kata anak kelima dari sembilan bersaudara ini.
Karya Entang memang merupakan racikan dari pengalaman pribadi, keluarga, dan lingkungannya, serta pengamatannya atas realitas dunia di Indonesia maupun di Amerika Serikat, tempat dia bermukim cukup lama. Dia membentangkan ceruk-ceruk gelap hati manusia, yang menolak si lain, yang mengejar kekuasaan dan mengandalkan kekerasan.
Entang adalah salah satu dari seniman Indonesia yang sudah mendunia dan sering berpameran tunggal maupun kelompok di Asia Tenggara, Eropa, Afrika, dan Amerika Serikat. Salah satu yang mengejutkan adalah ketika namanya jadi judul pameran A Transversal Collection: From Duchamp to Nino Calos, From Cattelan to Entang Wiharso di Arte Contemporanea Arte Lavoro Territorio, Bergamo, Italia, pada 2008. Pameran yang dikurasi Fabio Cavvalucci itu menampilkan karya-karya yang tidak tipikal, yang tidak mengikuti tren pada zamannya.
Menurut Jim, From Duchamp to Nino Calos menunjuk karya seni rupa modern yang tidak bisa dianalisis melalui kanon sejarah seni rupa, dan From Cattelan to Entang Wiharso menunjuk pada karya dalam perkembangan seni rupa kontemporer yang tidak biasa. Karya Entang memang tidak biasa, tapi merujuk pada sumber yang jelas dan dekat dalam keseharian. Pameran ini menunjukkan konsistensi Entang dalam berkarya, suatu pergumulan intens sang seniman atas tema sisi gelap manusia.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo