Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMEGAHAN ballroom sebesar lapangan bola itu seolah hilang. Tiada sinar terlihat. Tapi, dalam gelap, 3.000 orang terus saja bersorak. Keriuhan ruangan Hotel Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta, Rabu malam pekan lalu itu makin nyata saat Love Theme from St Elmo’s Fire diputar. Empat layar jumbo menampilkan visual satu tangan yang menorehkan not di lembaran partitur. Lalu deretan artis, seperti Whitney Houston, Michael Jackson, Tony Braxton, dan grup All 4 One, muncul di layar dengan lagu andalan masing-masing. Penonton tahu siapa komposer dan arranger lagu-lagu itu: David Foster.
Disorot lampu terang, David muncul di tengah penonton. Penonton berdiri menyaksikan kehadiran musisi asal Kanada itu. Sebagian besar menjerit, ada juga yang sampai nangis. Bersetelan jas abu-abu, pianis 61 tahun itu naik ke panggung. Menyapa penonton dengan ”apa kabar”, ia langsung duduk di depan piano Yamaha hitam. Jemarinya yang terlihat keriput kemudian menekan tuts, memainkan St Elmo’s Fire yang sesungguhnya.
Meledaklah ruangan itu oleh sorakan dan tepuk tangan yang lebih keras. Konser bertajuk Hit Man—a Special Evening with David Foster and Friends pun dimulai dengan ”haru biru” penonton. David lalu memilih mengguncang penonton dengan lagu yang lebih energetik, Winter Games. Kehebohan benar-benar melanda ruangan.
Sesuai dengan tajuknya, David tak tampil sendiri malam itu. Setelah 18 tahun berlalu, David Foster kembali ke negeri ini bukan berperan sebagai solois. Hanya dua komposisi instrumentalia dimainkannya. Sisanya tampil bareng dengan musisi lain.
The Canadian Tenors menjadi yang pertama. Grup yang beranggota Remigio Pereira, Victor Micallef, Fraser Walters, dan Clifton Murray ini begitu kompak. Tak terdengar kesumbangan sedikit pun saat menyanyikan Because We Believe. Penonton masih memberikan sambutan meriah. Sayang, Hallelujah tak terlalu ditanggapi. Mendengar judulnya saja pun hanya sedikit penonton yang memberikan sambutan. Mungkin mereka lupa, kristiani hanya minoritas di sini.
Tapi The Prayer mendapat sambutan lebih hangat. Mungkin penonton Indonesia lebih menyukai musik agama yang lebih umum dan tak identik dengan agama tertentu. Toh, Canadian Tenors memang tampil memikat dalam lagu yang biasa dibawakan George Groban dan Charlotte Church ini. Empat pria membuktikan lagu ini bisa ditampilkan dengan lebih keren tanpa penyanyi sopran.
Berikutnya, Natalie Cole tampil dengan lagu Fever dan Miss You Like Crazy. Penonton begitu antusias mengiringi penyanyi 60 tahun ini. David lalu bermain trio dengan Natalie dan Nat King Cole dalam Unforgettable. Ya, inilah terobosan David, menghadirkan orang yang sudah meninggal—Nat King Cole meninggal 45 tahun lalu—melalui layar proyeksi. Pada masanya, Unforgettable mencengangkan dunia.
Memang, David memiliki talenta luar biasa. Bukan hanya sebagai komposer dan pianis, melainkan juga sebagai arranger. Kita tentu masih ingat, bagaimana sentuhannya dalam lagu Goodbye (Air Supply), You’ll See (Madonna), Through the Fire (Chaka Khan), atau Because You Love Me (Celine Dion).
Begitu sering ia berkolaborasi dan memproduseri album banyak musisi dengan berbagai gaya bermusik, seperti Kenny Rogers, Bee Gees, Julio Iglesias, Rod Stewart, Al Jarreau, Bryan Adams, ’N Sync, Il Divo, hingga Michael Bublé. ”Lagu David bisa diterima semua kalangan,” kata Tommy Junito, karyawan bank swasta yang membawa istri dan tiga anaknya.
Dalam duetnya dengan Peter Cetera, pendiri grup Chicago, terlihat sekali kolaborasi yang apik. Tembang Hard to Say I’m Sorry, Baby Please Don’t Go, dan Glory of Love dilantunkan dengan penjiwaan yang pas dan tak berlebihan. Meski gitar Peter sempat tak bunyi, suara Peter masih sangat memukau penonton.
David juga mampu melihat potensi mereka yang lahir untuk bernyanyi. Celine Dion, Josh Groban, dan Michael Bublé adalah artis yang diorbitkannya. Bukan dengan lagu-lagu yang ribet, melainkan dengan kesederhanaan rangkaian nada yang mampu menggugah penonton. Bukan lagu pop yang cemen, melainkan penuh kualitas. ”People love good music,” kata David.
Mantan personel grup pop Skylark ini, misalnya, memilih membawa juara American Idol pertama, Ruben Studdard, yang pamornya kalah oleh juara kedua, Clay Aiken. Tak salah, memang. Ruben mampu membawakan lagu I Swear (All 4 One), Home (Michael Bublé), dan When I Fall in Love (duet dengan Natalie) dengan ciamik—meskipun suaranya terdengar sedikit cempreng.
David juga menantang Ruben spontan menyanyikan lagu yang bertolak dari kata-kata yang dilontarkan penonton. David turun ke penonton, membawa mikrofon, lalu menyorongkan ke sembarang penonton. Seorang penonton mengatakan: ”Who eat my fish.” Dengan mimik yang dibuat cengeng, Ruben lalu spontan bernyanyi dengan lirik yang memuat kalimat itu.
Sungguh, memang David juga entertainer sejati. Bukan hanya soal lagu, ia mampu melawak dengan polah dan kata-katanya. Ia, misalnya, menyapa penonton yang membayar mahal (harga termahal mencapai Rp 25 juta) dengan sebutan ”rich people” atau ”gold people”. Ia juga mengajak anak kecil berumur 9 tahun, Rio, bernyanyi bersama Peter Cetera. Tak salah pilihan David karena Rio membuat semua penonton tergelak dengan gaya panggungnya yang mempersilakan Peter bernyanyi lebih dulu.
Tapi sentuhan paling hebat dari David adalah menghadirkan Charmaine Clarice Relucio Pempengco atau Charice, penyanyi 18 tahun asal Filipina yang ngetop melalui situs YouTube. Charice, yang disimpan sebagai gong pertunjukan, terbukti menjawab kepercayaan David. Dengan suaranya yang menggelegar, lagu Power of Love, I’ve Got Nothing, dan All by Myself dinyanyikannya dengan sangat baik.
Ia juga memadahkan I Will Always Love You lebih baik ketimbang penyanyi aslinya. Andai Charice mengenakan gaun dan tak memakai kostum ABG, tentu sambutan penonton akan lebih meriah. Charice sendiri mengakui peran David dalam karier menyanyinya. ”David completely change my life,” katanya.
Malam itu Berlian Entertainment sukses menampilkan sosok Foster sebagai sang Midas. Penyanyi mana pun yang disentuh David Foster selalu jadi emas. Dino Hamid, Direktur Berlian Entertainment, habis-habisan membantah peran keluarga Istana dalam mendatangkannya. Sebelumnya memang beredar kabar keluarga Istana melakukan pendekatan ke manajemen David Foster supaya mau tampil di Jakarta.
Menurut Dino, Berlian Entertainment berkompetisi fair dengan 13 promotor lain yang sudah top. Meski baru berdiri tiga tahun, Berlian akhirnya mampu mendatangkan David. ”Tak ada politik di Berlian,” katanya. Bantahan juga disampaikan Marcel, Direktur Proyek Berlian. Ia mengaku datang langsung beberapa kali ke manajemen David supaya kedatangan sang bintang ke Jakarta bisa melalui perusahaannya.
Tapi Dino dan Marcel tak membantah kedekatannya dengan Edhie Baskoro Yudhoyono, putra Presiden. Dino mengaku menjadi konsultan politik Edhie saat kampanye Pemilihan Umum 2009. Adapun Marcel teman kuliah Edhie di Australia.
Sudahlah. Mau ada peran Istana atau tidak, David Foster telah tampil di Jakarta. Dan Berlian mampu menunjukkan mereka tak salah mendatangkan musisi berkualitas. Paling tidak, suasana duka atas berbagai bencana yang terjadi pekan lalu, saat Mbah Maridjan ditemukan meninggal, tak terlihat dalam konser. David Foster sesaat mampu menghapus semua duka itu.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo