Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Gairah Murni Flamenco

Seorang penari flamenco muda yang kerap meraih penghargaan pada festival di Spanyol berpentas di Gedung Kesenian Jakarta. Bakat alamnya mengagumkan.

29 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Usianya masih 22 tahun. Federasi Organisasi Flamenco Kota Seville menyebutnya ”Young Flamencos of Andalucia”. Penampilannya dalam Chicago Flamenco Festival 2006—sebuah ajang khusus untuk ”diaspora” para penari flamenco—dipuji oleh kritikus. Sebuah resensi menulis: anak muda ini mempunyai bakat alamiah flamenco yang mengagumkan. Sebuah flamenco murni.

Kini anak muda itu mengentak-entakkan sepatunya di lantai Gedung Kesenian Jakarta, dengan gitar Jose David Acedo sebagai pemandu ritme. Seorang diri ia mampu memanaskan panggung. Itulah David Perez. Tiga nomor solo disajikan dan penonton Jakarta merasakan bagaimana hangat—dan agresifnya—tubuhnya.

Di atas panggung, dua penyanyi perempuan duduk di samping gitaris. Acedo memetik dan mengocok gitarnya, sangat perkusif. Awalnya, Perez menyajikan tari pasangan bersama rekannya, Rosario Villar Amador. Sebuah duet percintaan yang tidak terlalu mendebarkan. Namun nomor pertama itu membangkitkan gairah.

Pada nomor-nomor sololah Perez lebih terasa kuat menumpahkan bakat alamiahnya. Sebuah ”inner flamenco”. Ia menggunakan setelan kemeja merah dan celana hitam ketat. Ia menari, tenggelam dalam keasyikan sendiri, seakan tak peduli dilihat orang. Seolah flamenco bertolak dari sesuatu yang individual dan intim. Tariannya menebar pesona. Ada unsur maskulinitas di situ, erotisme di situ, cinta tapi juga kepedihan.

Sejarah flamenco, kita tahu, bertolak dari blender kebudayaan gipsi, kaum Moor—atau muslim Spanyol dan Yahudi di Spanyol Selatan. Lantunan nyanyian yang mengiringi gerak Perez kita tak tahu artinya. Syahdan, nyanyian-nyanyian flamenco kerap merintihkan bagaimana pada 1492 kaum gipsi, Yahudi, dan Moor dibantai dengan kejam dan diusir dari tanah Andalusia oleh penguasa Katolik Ferdinand dan Isabel (raja zaman Columbus). Mereka keluar, meratap, mengenang kesedihan, serta mengembalikan stamina, daya tahan, dengan flamenco.

Di Gedung Kesenian Jakarta, beberapa tahun lalu, pernah datang kelompok musik dari Sisilia bernama Tarantula Hypertext. Mereka menyanyikan lagu-lagu kuno dari Yahudi Sephardi, etnis Yahudi dari Spanyol Selatan yang diusir itu. Lagunya rata-rata muram, menggelayut—tapi unsur-unsur demikianlah yang masih terasa terselip di antara kegirangan flamenco.

Di sela-sela tubuh ekstrover Perez yang menampilkan gerakan-gerakan yang riang, jantan, flamboyan, kita dapat menemukan gerak-gerak yang seolah menyelami nuansa-nuansa kesedihan. Nuansa-nuansa kekosongan. Tarian Perez bisa dipertontonkan di jalanan, di antara meja-meja kafe, di pesta-pesta kebun, di antara dentingan seloki-seloki anggur, di tengah orang-orang mabuk. Tapi juga di suatu malam yang sepi.

Lihatlah nomor berjudul Solea Por Bulerias. Perez mengenakan jas lengkap, seolah ia hendak pergi mencari hawa segar di luar. Tepi jas dipegangnya. Kaki kanannya mengetuk-ngetuk lantai, membentuk lingkaran kecil. Ia lalu berjalan langkah biasa. Ketika kocokan gitar meraung, tubuhnya bergetar. Ia beradu kecepatan dengan gitar. Tap—ketukan kakinya—tak kehilangan akurasi atau meleset. Di tengah gerakan yang dinamik itu mendadak sesekali tubuhnya menampilkan tablo—gerakan membeku. Ia merapikan jasnya, keringat bercucuran, jasnya setengah terlepas, seolah jas itu kain matador.

Flamenco kini menjadi bagian dari musik global. Paco de Lucia, maestro gitaris flamenco Spanyol pada 1970-an, membawa flamenco ke dalam kancah jazz dunia. Ia menyadarkan virtuositas gitar flamenco, mampu membuat gitar menjadi pertunjukan tersendiri, lepas dari tarian. Tapi yang ditampilkan malam itu sebuah pertunjukan tradisional. Gitar dan ratapan berbagi rata bersama tubuh. Anak muda itu memilih mengolah tradisi, bukan sebuah koreografi kontemporer.

Ia melakukan penjelajahan atas kaki dan tubuhnya mengeksplorasi hal-hal lama dengan gairah. Di sana-sini kadang ekspresinya menjadi gerak bebas, tapi kemudian dengan cepat ia menarik kembali ke idiom-idiom murni flamenco. Anak muda itu ingin menjadi sisa-sisa Andalusia.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus