Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dobrakan harimau hitam filipina

Wanita filipina elena lim selama 2 th berjuang keras di jepang untuk mensejajarkan citra udang tambak. para distributor menyadari udang hitam sebagai komoditi yang menguntungkan. orang as menyukai juga.

26 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ELENA Lim, seorang wanita Filipina yang lemah lembut, ternyata punya otot yang cukup kuat untuk mendobrak pintu pasar Jepang. Suatu hari Elena bertemu dengan seorang direktur perusahaan Jepang, Sony, yang berkata begini, "Filipina adalah negara yang dikitari laut. Pastilah banyak udangnya. Kenapa Nona tidak menangkapi udang itu dan menjualnya ke Jepang? Kami bangsa yang sangat gemar udang." Elena tak berpikir panjang. Keluarganya mempunyai uang cukup untuk membiayai operasi penangkapan udang di perairan Filipina. Memasarkan udang laut ke pasaran Jepang pun ternyata tak seberapa sulit. Bangsa yang gemar tempura, sushi, dan sashimi itu memang menghabiskan ratusan ribu ton udang setiap tahunnya. Makin tahun, berbareng dengan naiknya tingkat kesejahteraan bangsa Jepang, konsumsi udang pun terus membubung. Dagangan Elena pun makin laris. Lantas terlintas dalam benaknya. Mengapa hanya menjala udang di laut? Mengapa tidak membudidayakannya? Kekayaan keluarganya -- sekali lagi -- menentukan langkah berikutnya. Keluarga itu memiliki sebidang tanah luas di dekat pantai. Tanah itu lalu diubah menjadi tambak. Tetapi udang tambak tentu berbeda dengan udang laut. Udang laut biasanya berwarna putih atau merah jambu. Sedangkan udang tambak berwarna hitam. Dan, Anda tahu, warna punya arti besar dalam produk makanan. Apalagi untuk orang Jepang yang terkenal punya citarasa tinggi dalam penyajian makanan. Udang hitam itu tampak tak menarik bila dijejer dengan udang putih atau udang merah jambu. Keok, deh. "Kalau tentang orang, sih, kita masih bisa bilang black is beautiful," kata Elena. "Tapi, untuk produk makanan, warna hitam punya konotasi kotor." Tak heran bila Elena harus memakai otak dan ototnya untuk memasarkan udang hitam yang kini punya nama komersial black tiger. Distributor dan agen di Jepang tak mau membeli black tiger. Apalagi toko-toko pengecer yang enggan memajang udang hitam, yang dikhawatirkan malah akan mengotori rak pajangannya. Mereka menertawakan jenis udang ini dengan sebutan cacing hitam besar -- the big black worm. Elena lalu membawa udang hitamnya ke restoran-restoran dan hotel-hotel mewah. Mengapa ke tempat-tempat itu? "Karena udang hitam itu 'kan hanya tampak hitam ketika ia mentah," kata Elena. "Begitu dimasak, ia berubah warna menjadi merah yang menarik dan menerbitkan nafsu makan." Tetapi, tentu saja, Elena tak puas dengan volume yang terjual di sektor hotel dan restoran yang berpangsa tipis itu. "Dan satu-satunya cara untuk menembus konsumen adalah dengan pembuktian bahwa udang hitam itu -- tanpa sihir -- dapat berubah menjadi merah setelah dimasak," kata Elena. Ia lalu mengirim tim-tim demonstrasi membawa kompor ke pasar-pasar yang becek. Orang-orang yang belanja lalu tercengang. Kok bisa, ya, udang hitam berubah jadi merah? Bahkan warnanya jadi lebih bagus ketika tersaji di meja makan bila dibanding udang putih dan udang merah jambu. Untuk merebut hati konsumen, Elena bahkan mengobral udang hitamnya setengah harga udang putih. Upaya memasarkan udang hitam di Jepang itu memerlukan waktu dua tahun sebelum kemudian para distributor di sana menyadari potensi black ttger sebagai komoditi menguntungkan. Cerita keperintisan yang dilakukan Elena itu memang baru terjadi 12 tahun yang lalu, pada 1975. Setelah 1977, titik balik telah terjadi. Mendadak sontak black tiger menjadi salah satu primadona dalam jajaran produk hasil laut. Di sektor udang, harganya paling tinggi. Untuk ukuran paling besar, harganya mencapai lebih dari US$ 21 per kilo -- lebih mahal dari harga satu barel minyak. Pertumbuhan angka penjualan yang sungguh astronomis. Tak heran bila banyak negara yang lantas berlomba-lomba memanfaatkan kesempatan ini. Taiwan, yang kini menjadi salah satu pemain penting dalam bisnis ini, sepuluh tahun yang lalu belum tahu banyak tentang black tiger. Taiwan bahkan masih harus menyelundupkan induk udang untuk pembenuran. Padahal, waktu itu biang udang mencapai harga di atas US$ 2 per ekor. Tetapi Taiwan belum at all cost membiayai sektor bisnis yang telah diramal mereka akan cerah. Ketika pertama kali mengekspor ke Jepang, Taiwan hanya bisa mengirim 40 kilogram. Kini, produksi black tiger Taiwan mencapai 46.000 ton per tahun 60% diekspor ke Jepang. Bukan hanya orang Jepang yang doyan blak tiger. Orang Amerika Serikat pun kini mulai gandrung udang yang berprotein tinggi, tetapi kadar lemak dan kalorinya rendah. "Tinggal orang Eropa saja yang masih harus kita didik untuk menggemari udang," kata Elena. Seorang wanita charming yang dengan determinasi dan daya inovasinya telah menembus pasar Jepang yang sulit itu dengan sebuah komoditi baru. Komoditi yang juga telah menjadi penghasil penting devisa bagi Indonesia. Salamat ko, Elena. Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus