Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Gasibu: the killing fields ?

Ffi'85 di bandung lebih terkesan hurahuranya. biaya mencuat jadi 1 milyar. diskusi film tidak berjalan sebagaimana mestinya, pihak produser tidak diundang usul biaya ffi tidak di tanggung pemda lagi.(fl)

17 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAUH sebelum Menpen Harmoko mengguncang angklung upacara tanda pembukaan FFI, Rabu pekan silam Kota Bandung sudah memperlihatkan suasana berkibar-kibar. Spanduk, baliho, dan bilIboard muncul di sana-sini. Lapangan Gasibu dipermak habis-habisan hingga areal yang semula kosong dipenuhi panggung seharga Rp 200 juta dengan dua "babancong" pada tiap sisinya. Ditambah kereta api istimewa pawai artis serta liputan televisi nan rancak, maka lengkaplah sudah gegap gempita dan hura-hura yang sudah merupakan ciri festival film Indonesia. "Seperti The Killing Fields," kata Rommel Manahan, 23, dengan spontan menjawab ketika ditanya pendapatnya tentang acara pembukaan. "Saya melihat masyarakat yang tergencet," kata mahasiswa Teknik Fisika ITB ini kepada Maman Gantra dari TEMPO. "Mereka dihadapkan pada anjing-anjing pelacak, padahal mereka secara tak langsung ikut membiayai festival." Sekalipun dihadang anjing-anjing pelacak, tak urung massa terus mendesak. Akibatnya, pagar besi sepanjang 30 meter roboh. Ricuh dan rusuh tidak berhenti sampai di situ. Selama pawai artis pengaturan lalu lintas kacau, hingga kemacetan terjadi di mana-mana dan banyak anak sekolah terlambat sampai di rumah. Pesan sponsor lewat pawai tampaknya tidak melalui seleksi ketat hingga poster pembalut wanita ikut pula terpampang d sana. Bukan apa-apa, tapi kurang indah saja. Dalam pidatonya, ketua panitia Karna Suwanda menyebut bahwa dari uang yang terkumpul Rp 200 juta disisihkan untuk membangun sebuah padepokan kesenian bagi masyarakat Bandung. Ia tidak menyebutkan berapa banyak dana terkumpul, bahkan tidak sempat menyatakan bahwa pihak produser dan importir menyumbang Rp 200 juta, Deppen Rp 50 juta. Tidak mustahil dengan berbagai suntikan dana FFI kali ini melonjak satu milyar. Wajar jika kemudian seorang mahasiswi Fakultas Ekonomi Unpad menilai pelaksanaan FFI ini "terlalu berlebihan" karena tak sepadan dengan apa yang disajikan. Dan rakyat yang bukan orang film (maaf, insan film) yang menyumbang - entah lewat STNK atau karcis bioskop - tapi belum tentu boleh berpartisipasi aktif. Bertolak dari kenyataan ini, sasaran pengadaan FFI di daerah, yang antara lain berusaha mengakrabkan film dengan masyarakat, tidak tercapai. Yang menonjol justru hura-hura itulah, suatu kenyataan yang kian lama kian mengusik hati nurani kalangan film sendiri Ada yang terus terang bilang, supaya festival dikembalikan saja pada orang-orang film, ada pula yang tidak suka melihat artis-artis dimanfaatkan. Yang pasti, kalau soal sudah hura-hura, citra orang film suka tergelincir, di luar kontrol mereka sendiri. BAGAIMANA dengan diskusi film yang dianggap merupakan kegiatan intelektual festival? Seperti biasa, minat ke sana tidak terlalu menggembirakan. Ada yang menyalahkan panitia karena kurang ketat memilih pembicara, ada yang menyesalkan mengapa pihak produser tidak diundang seakan-akan mereka orang luar. Sutradara Teguh Karya berang karena, "Pertemuan yang jarang terjadi ini tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Kita tidak bisa melihat peta bumi film Indonesia secara keseluruhan." Tukar pikiran juga tidak ditunjang oleh kondisi ruangan tempat diskusi berlangsung. Di samping itu, menurut Aktor Soultan Saladin, diskusi selalu diadakan asal saja, supaya terkesan pada orang luar bahwa "para artis tidak cuma bisa hura-hura." Satu hal yang penting ialah tercetusnya niat agar pembiayaan FFI ditangani oleh lembaga tertentu, bukan lagi oleh Pemda dan diskusi, bagaimanapun lesu, tetap akan dipertahankan sekalipun Piala Citra masih beredar dari tangan orang itu ke itu juga: Sjuman Djaja, George Kamarullah, El Manik, Slamet Raharjo, Putu Wijaya. Bahkan Idris Sardi dan Christine Hakim mencatat rekor pengumpul Piala Citra. Bagi Idris, Piala Citra kali ini adalah yang ke-6 untuk prestasinya sebagai pemusik dan bagi Christine Hakim, Piala Citra ke-5, untuk kemampuan berakting sebagai pemain wanita. Isma Sawitri Laporan Biro Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus