Memasuki penyelenggaraan kali ketiga, Biennale Seni Lukis Yogyakarta mencapai tahap stabil. Pekan lalu pameran besar ketiga ini dibuka, dan dilangsungkan di Purna Budaya, Yogyakarta. Kendati pameran tersebut tak diumumkan, telah terbentuk sebuah forum dua tahunan untuk melihat perkembangan mutakhir seni lukis di Yogya. Masa pembentukan "Biennale Yogya" itu cukup panjang. Dimulai pada tahun 1986 sebagai pameran tahunan seni lukis Yogyakarta yang berulang sampai 1988. Pada tahun ini, pameran tahunan tadi menjadi "Pameran Besar" yang diselenggarakan dua tahun sekali (biennale). Maka, seni lukis Indonesia mengenal dua pameran besar, Biennale Jakarta dan Biennale Yogya. Yang di Jakarta mempunyai lingkup nasional, sedangkan yang di Yogya berukuran lokal. Siapa tahu, di kemudian hari keduanya bisa menjadi biennale internasional, seperti Biennale Venesia, Biennale Sydney, Biennale Paris, dan Biennale Sao Paolo. Namun, Biennale Yogya tampaknya masih perlu menata kurasi. Biennale III yang kini berlangsung hampir tidak mencerminkan perkembangan seni lukis Yogya. Dalam Biennale III tersebut, selain terlalu banyak disertakan nama yang tidak begitu dikenal, seniman ternama yang membuat perkembangan tidak mendapat perhatian. Misalnya Kartika Koberl. Tradisi menyusun kurasi memang masih perlu dikembangkan di Indonesia. Kurang jelasnya penataan ini terjadi tidak hanya pada Biennale Yogya. Pameran besar di mana pun umumnya disusun dengan persyaratan garis besar. Misalnya pembatasan pelukis senior dan yunior. Pada Biennale Yogya, usia peserta dibatasi, paling muda 35 tahun. Maksudnya, jelas, membatasi peserta pada kelompok pelukis senior. Namun dengan batasan ini pun sejumlah pelukis senior ternyata juga tidak muncul. Kendati kurasi menampilkan pelukis senior itu layak dihargai, pertimbangan ini menghilangkan peluang Yogya menunjukkan keunggulan perkembangan seni lukisnya. Sebenarnya, pada sepuluh tahun terakhir, pemunculan nama baru dalam seni lukis dengan skala nasional didominasi pelukis-pelukis Yogya. Beberapa nama bisa disebutkan: Ivan Sagita, Agus Kamal, Heri Dono, Eddie Hara, Nindityo Adipoernomo, Sudarisman, dan Lucia Hartini. Mereka "terpaksa" tidak tampil di Biennale III Yogya. Pembatasan pelukis yunior itu -- seperti biasanya -- melahirkan "protes" pelukis muda Yogya. Mereka kemudian menyelenggarakan pameran tandingan, "Off Biennale" yang diberi judul "Binal" -- pelesetan kata "biennale". Pameran besar-besaran ini diselenggarakan di sembilan lokasi terpencar di Yogyakarta dan bersamaan waktu dengan Biennale III. Namun, gelanggang Binal tidak secara fokus memasalahkan pelukis muda di bawah 35 tahun. Gelanggang ini lebih memperlihatkan semangat berpindah ke idiom baru seperti instalasi dan performance -- dua idiom mutakhir dalam perkembangan seni rupa. Gelanggang yang diprakarsai Dadang Christanto ini diikuti 110 peserta, termasuk mahasiswa Institut Seni Indonesia dan Universitas Gadjah Mada, juga pemusik avant-garde Yogya. Gelanggang Binal itu jadinya didominasi "karya heboh". Karya-karya ini sulit dilihat sebagai karya. Lebih merupakan instrumen untuk menyatakan reaksi. Aspek bentuk dan konsepsi karyanya tidak diutamakan. Tekanannya terlihat pada upaya memancing kehebohan dan reaksi pada suatu gejala yang -- biasanya -- dianggap mapan. Gelanggang Binal terkesan mempertentangkan idiom seni lukis, dan idiom-idiom baru tadi. Reaksi itu sebenarnya -- eksplisit -- agak "salah alamat". Biennale III Yogya memang terbatas pada kriteria "seni lukis" sesuai dengan tradisinya. Namun, implisit pandangan para penyelenggara gelanggang Binal ada benarnya. Idiom dan ekspresi baru dalam seni rupa Indonesia seperti sulit mendapat pengakuan. Di banyak pameran besar,disisihkan. Sementara itu, perkembangan seni rupa Indonesia sampai kini memang didominasi seni lukis. Padahal, dalam perkembangan seni rupa dunia, instalasi sudah bukan lagi gejala eksperimental. Di hampir semua biennale -- dan juga museum seni rupa -- instalasi selalu mendapat ruang khusus dan sedang menarik perhatian para kritikus. Karena itu, gelanggang Binal, lepas dari protesnya pada Biennale III, menghadirkan karya-karya yang sangat menarik. Instalasi Dadang Christanto, Onggokan Pasir, yang dipamerkan di Seni Sono, Yogyakarta, dengan segera menyugestikan keadaan pulau-pulau kecil di Indonesia yang sudah dibeli kelompok mahakaya. Dadang perupa muda yang tampak semakin akrab dengan idiom instalasi. Sebuah karya instalasinya kini sedang dipamerkan di Jepang dalam Pameran Seni Rupa Kontemporer ASEAN -- bagian dari Festival Seni Kontemporer ASEAN. Pematung muda Hedi Hariyanto membungkus rumah kontrakannya dengan kertas bekas. Karya lingkungan ini (environmental art) menarik karena mencerminkan masalah lingkungan dalam skala kecil. Tidak mempersoalkan ekologi tapi memasalahkan daur ulang sampah, yang di Indonesia memang unik. Ia juga tidak menyiasati "maharuang" seperti karya lingkungan yang sekarang dikenal, tapi menelusuri ruang hidupnya sendiri sehari-hari. Karya performance Heri Dono, sebuah terobosan penting yang sebenarnya bisa dilemparkan ke forum internasional (lihat Terobosan Kuda Binal). Batasan dan dasar ekspresi performance (perupa memanfaatkan pertunjukan untuk berekspresi) sampai kini masih diperdebatkan di mana-mana. Lewat karyanya, Heri Dono menawarkan jawaban bagi banyak aspek yang dipertanyakan. Ia mampu memindahkan obyek-obyek lukisan dan ekspresinya -- binatang-binatang yang dilukis dengan garis-garis ekspresif -- ke sebuah pertunjukan kuda lumping. Namun, gemuruhnya gelanggang Binal tidak lalu membuat Biennale Yogya III terkesan tidak menampilkan apa-apa. Di sini juri yang dipimpin pelukis senior Fadjar Sidik, menetapkan lukisan Wajah karya Aming Prayitno dan Tembok Berlin karya Bagong Kussudiardjo sebagai karya-karya terbaik. Aming, pelukis yang sudah lama diakui keunggulannya tapi ia tidak muncul ke permukaan karena terlampau sibuk mengajar dan tak suka publisitas. Bagong, di masa lalu dikenal sebagai koreografer dan pelukis batik. Belakangan ia memantapkan diri dengan media lukisan akrilik di atas kanvas. Biennale III juga mengesahkan kemunculan pelukis muda -- 35 tahun ke atas -- Tulus Warsito, Effendi, Titoes Libert, dan Godod Sutejo. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini