Api dalam tungku di pusat arena, berkobar. Tiba-tiba suara gendang mengentak telinga penonton, diikuti suara gong yang ditingkahi tiupan lima terompet. Sepuluh penunggang kuda lumping lalu menghambur ke arena berukuran 10 X 10 meter itu. Inilah awal pertunjukan "Kuda Binal", sebuah karya performance pelukis Heri Dono yang digelar Rabu malam, 29 Juli 1992, di pojok timur laut Alun-Alun Utara Yogya. Pertunjukan yang menggaet sekitar 500 penonton ini, salah satu acara gelanggang Binal. Pertunjukan di tempat terbuka itu muncul dadakan. Penontonnya, yang tidak dihimpun khusus, kebanyakan orang lewat turis, tukang becak, sampai pegawai keraton yang tinggal di sekitar arena pertunjukan. Namun, tema "Kuda Binal" tidak sembarangan. Lewat pertunjukannya, Heri mencoba mengangkat masalah manusia merusak lingkungan. Yang terutama menjadi korban, satwa dan berbagai makhluk lain, sedangkan manusia digambarkan sebagai makhluk pemusnah. Idiom seni tradisi dan simbol masyarakat modern dalam performance itu dijungkir balikkan. Seluruhnya lalu mencerminkan kebinalan sekaligus kelucuan. Kepala sepuluh kuda lumping tadi tak semuanya berwujud kepala kuda. Ada yang berwujud kepala manusia, ada yang mirip binatang, bahkan ada yang menggambarkan entah makhluk apa. Sementara itu, sepuluh pemain yang berpakaian seperti tentara zaman dulu menggunakan masker gas, perangkat manusia modern. Mereka menari sembari menyemprotkan minyak tanah ke obor, satu-satunya jenis penerangan dalam pertunjukan itu. "Kita biarkan saja ide berkembang secara liar dan binal," kata Heri, pelukis muda 32 tahun itu. Ia yakin, konseplah yang harus mengikuti ide, bukan ide yang mengikuti konsep. Inilah pula sikap Heri dalam melukis. Menurut Heri, pertunjukannya bukan bagian dari seni yang terkotak-kotak. Kendati mirip teater, karyanya sebuah ungkapan yang berupaya memanfaatkan semua kemungkinan ekspresi seni. Baik yang modern, kontemporer, maupun yang tradisional. Pertunjukan kuda lumping -- jathilan -- Heri menggabungkan paling tidak idiom gerak (tari), musik (digarap Joseph Praba), ekspresi teateral, dan tentunya ekspresi rupa. Dalam pertunjukan lima babak yang berlangsung dua jam nonstop itu, Heri Dono bak melukis dengan media campur baur. Lihat saja binatang-binatang dari karton, yang dalam pertunjukan digotong-gotong dan menggambarkan korban nafsu manusia. Wujudnya persis sama dengan obyek yang selalu muncul dalam lukisannya. Bentuk barong, naga, berbagai makhluk lain, dan kostum 60 pemain dengan cepat pula menunjukkan karakter dan warna-warna lukisan Heri Dono. Dalam bentuk performance ekspresi binal dan garang, lalu terasa sangat intensif. R. Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini