PAGI hari tanggal 20 Pebruari, kelompok Bina Vokalia (BV) asuhan
Pranajaya tampil di Teater Arena TIM. Mengenakan pakaian khas
Betawi, 10 none dengan kebaya dan kerudung merah jambu,
didampingi pasangan masing-masing, membuka acara dengan lagu
Jali-Jali. Lagu yang sudah jadi separuh wajah ibukota, yang juga
sering diputar di kereta api malam manakala merapat ke Jakarta.
Tidak Ngecap
Kemudian langkah melompat ke Aceh, dengan lagu Tarik Pukat yang
meriah. Anak-anak BV kelas V itu tampak segar. Mereka
menciptakan suasana yang sedap, berbeda dengan kalau kita
menyaksikan paduan suara kelompok RRI atau Pusat Olah Vokal
(POV) Yogya. Apalagi tatkala kemudian mereka mulai berjoget
menyanyikan lagu Selayang Pandang. Banyak variasi, tanpa
mengganggu usaha untuk tetap menyuguhkan bunyi yang merdu. Lagu
Tuhan juga berhasil ditampilkan dengan kompak dan meyakinkan.
Nyaris hasil sebuah grup profesional, memang.
Desember yang lalu, kelompok ini pernah menggetarkan udara Ipoh,
Penang dan Kualalumpur, tatkala mereka tetirah ke Malaysia.
Publik menyambut dengan girang. Koran-koran lokal banyak
menurunkan tulisan pujian. Sampai-sampai menteri besar kerajaan
setempat perlu turun memberi kata sambutan, sambil menganjurkan
agar putera-puteri setempat meniru hal-hal yang bagus dari Bina
Vokalia. Seberapa jauh penilaian yang sebenarnya, tentunya
sedikit tertutup oleh basa-basi persahabatan antara dua negara
yang bertetangga. Tetapi, menyaksikan penampilan Minggu pagi di
TIM itu, agaknya pujian tersebut tidak terlalu ngecap.
Dalam acara yang mirip kesibukan sebuah keluarga besar, publik
juga sempat menyaksikan kelompok BV III B. Mereka membawakan
lagu-lagu Ampar-ampar Pisang dari Kalimantan dan Helalela
Roane yang Ambon. Kemudian lebih 80 orang anak menyanyikan
berturut-turut 5 buah lagu: Bergembira, Kole-kole, Bunda Piara,
Kelasku Yang Baru, Hujan Bukan Halangan. Lirik dan aransemennya
terasa agak sederhana maklum mereka aari kelompok BV kelas II B.
Pengelompokan dan kelas-kelas ini khas Bina Vokalia. Anak-anak
baru, ditampung dalam kelas "persemaian". Kemudian setiap tahun
ada program kenaikan kelas. Adapun predikat B -- yang ada di
tiap kelas - disediakan bagi mereka yang agak lambat menerima
pelajaran.
"Untuk menumbuhkan spontanitas anak-anak, nyanyian harus
disertai gerak, beda dengan konser paduan suara RRI misalnya",
kata Pranajaya kepada TEMPO. Ia menunjukkan lagu Tank Pukat yang
menyebabkan anak-anak harus diajar dahulu bagaimana gerak
nelayan merentang jala. "Mereka kalau diajari sebuah lagu dengan
gaya, cepat menerima. Bahkan ada rasa kecewa kalau membawakan
sebuah lagu tanpa gerak", kata pengasuh berusia 47 tahun itu.
Dan dengan cara seperti itu Bina Vokalia kini mengembangkan
sayapnya ke Surabaya, Madiun, Kediri, Gresik, Bogor, Semarang
dan Palembang. Untuk mengelola semuanya, Pranajaya - yang
mempunyai 6 orang pembantu di Jakarta-membentuk Yayasan Bina
Vokalia. Guru-guru yang ada di daerah, pada waktu-waktu tertentu
ditatar di ibukota. Mereka kembali ke tempat asal dengan
dibekali pedoman-pedoman.
Toh sejauh itu, "saya tidak ingin menciptakan pemusik", ujar
Pranajaya. "Saya tidak bermaksud menjadikan anak didik saya
penyanyi terkenal. Saya ingin menciptakan generasi pencinta
musik". Ini terutama diucapkannya untuk mereka yang menyatakan,
bahwa karena didaktik yang dipakai Pranajaya salah, tidak semua
anak didiknya benarbenar bisa menyanyi. Hasilnya sama dengan
kemampuan anak SD, "malahan banyak anak SD yang lebih baik".
Bagi Pranajaya, pendidikan musik di luar sekolah masih tetap
lebih efektif. "Selama di sekolah kita belum ada pendidikan
musik yang efektif, pendidikan musik seperti Bina Vokalia terasa
dibutuhkan", kata guru yang pernah mengunyah pelajaran musik di
Sekolah Tinggi Kesenian Tokyo itu (1960 - 1966). Ia berpendapat
pendidikan musik di Indonesia sebaiknya bersifat massal, seperti
halnya di Jepang sejak 1968. Toh, di samping penyebaran
apresiasi, kalau ada permintaan orang tua anak didik, Pranajaya
berniat membuka kelas VI. Dia sudah mengajak Binsar Sitompul dan
Ronald Pohan untuk memikirkan program tingkat yang lebih tinggi
tersebut.
Memang susah. Di samping hasil yang bagus seperti pergelaran di
TIM itu, pandangan-pandangan soal sistim pendidikan musik dan
menyanyi memang cukup beragam, sementara kelihatan belum
semuanya sempat "diuji". Misalnya layakkah bila anak-anak hanya
dididik teknik menyanyi seperti di Bina Vokalia itu -- dan bukan
juga misalnya kejujuran ekspresi. Tapi yang lebih selamat
tentunya adalah ucapan N. Simanungkalit yang juga dikenal
sebagai guru paduan suara: "Acara paduan suara di TVRI, tidak
seharusnya hanya dimonopoli Bina Vokalia". Setidak-tidaknya itu
merupakan pembukaan kesempatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini