Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengeja Kidung Gendari (Togog, Bilung Mbedah Tumpeng Duryudana | ||||||||||||||
Teater Utan Kayu, Jakarta, 12-13 Februari 1999Produksi | : | Komunitas Wayang Nggremeng Solo | Dalang | : | Slamet Gundono | Sinden | : | Muriah Budiarti | Pemain | : | Jliteng Suparman, Darno, Dwi Jaya, Joko Priyono, Martha Widyawati, dan lain-lain | |
Di Negeri Astina, Bilung sedang keranjingan bicara. Mengenakan seragam Korpri, ia berceloteh mengomentari semua peristiwa dengan suara yang tinggi-meninggi. Dosa para atasannya, yang menyebabkan kebangkrutan negara, didaftarkan satu per satu. Ia begitu bersemangat karena telah sekian puluh tahun mulutnya terbungkam. Maklum, sebagai pegawai negeri lapis bawah, apalah daya seorang Bilung. Namun kegairahan Bilung ini membuat sang kakak, Togog, tak senang, apalagi ia berprofesi sama. "Dulu, kamu makan dari mana? Dulu, pantat saja kamu jilat," kata Togog. Ganti Bilung yang tidak terima atas sikap Togog, yang dianggapnya sok bijak. Tak ayal, keduanya berkelahi seru.
Sementara itu, di Padang Kurusetra, menjelang perang Baratayudha usai, Raja Astina, Duryudana, menyesali peruntungannya. "Aku sangat kaya dan berkuasa. Namun, mengapa tak ada yang mencintaiku?"
Lakon Mengeja Kidung Gendari (Togog, Bilung Mbedah Tumpeng Duryudana) oleh Komunitas Wayang Nggremeng Solo memang sarat dengan potret sosial mutakhir. Nggremeng, berasal dari bahasa Jawa, lebih berarti menggumam atau membicarakan sesuatu dengan samar-samar, campuran antara menggerutu dan bisik-bisik mendamba. Bila potret sosial lekat, itu tak lain karena kesenian ini memang lahir dari kegelisahan para seniman atas kemalangan beruntun yang diderita negeri ini. Bagi Slamet dan kawan-kawannya yang tinggal di Solo, kerusuhan Mei 1998 yang membuat Kota Solo dimakan api adalah puncaknya. Para seniman menjadi gagap: mengapa massa tiba-tiba bisa begitu brutal? "Jangan-jangan, kesenian tradisional yang ada selama ini, termasuk wayang kulit, terpisah dari realitas masyarakat," kata Slamet Gundono, dalang lakon ini.
Maka Slamet beserta rekannya bersepakat manggung agar denyut kehidupan di Solo berputar. Pilihannya adalah pertunjukan yang sederhana tapi tidak berjarak dengan persoalan publik. "Kembalinya wayang sebagai media kritik itu sesuatu yang mutlak, karena wayang kulit selama Orde Baru betul-betul ditelikung," ujar Slamet, yang beberapa kali mengalami pelarangan pementasan karena tak sudi mengikuti program "kuningisasi" para dalang.
Kesederhanaan dalam wayang nggremeng diwujudkan dengan absennya peran gamelan dan kelir. Sebagai gantinya, para niyaga berolah mulut menirukan bunyi gamelan. Sekalipun terlihat asal bunyi, perlu "dicurigai" bahwa musik ini ditata cermat karena hasilnya sungguh asyik. Pemilihan bahasa Jawa dialek Tegal juga membuat bunyi yang terdengar makin berwarna. Kontribusi dialek ini tidak berhenti pada bunyi saja. Sebab, kelompok itu bisa membawakan dialek ini dalam bahasa sastra.
Cerita mengalir lewat penuturan dalang dan para pemain. Di beberapa bagian, pemain juga berperan sebagai dalang sehingga terkadang mereka seolah menggunakan teknik bercerita berbingkai. Di sini, aksi panggung Jliteng Suparman, yang memerankan Bilung, patut dipuji. Di panggung, mereka menghadirkan tiga realitas. Pertama, realitas wayang yang berkaitan dengan cerita dalam wayang purwa, seperti saat-saat akhir Duryudana. Kedua, realitas kontekstual seperti persoalan sosial politik terkini. Realitas kedua inilah yang dimanfaatkan pertunjukan wayang nggremeng itu untuk menggulirkan pendidikan bagi publik menjelang pemilihan umum. Inti pesan yang digagas bersama Yayasan Lontar adalah jangan ragu menentukan pilihan. Selain itu, perbedaan pendapat tidak perlu dihadapi dengan rasa permusuhan. Realitas ketiga adalah realitas makanan karena persoalan sehari-hari tak lepas dari urusan isi perut. Hasilnya unik, makanan berupa jajan pasar hadir sebagai media pentingdisantap, dilemparkan ke pemain lain, sekaligus menjadi materi obrolan yang seru.
Tafsir atas sosok Duryudana juga menarik. Menurut Slamet, tak ada seorang pun yang terlahir menjadi jahat. Lingkunganlah yang membuatnya demikian. Sayangnya, dengan menyebut masa kekuasaan Duryudana yang 32 tahun, kelompok ini tergelincir untuk menggiring asosiasi penonton bahwa raja lalim itu adalah Soeharto, bekas presiden Indonesia. Klise, karena beberapa pertunjukan lain telah melakukannya.
Yusi A. Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo