Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Guruh meledak

Konser musik dan tari bali diselenggarakan di teater arena tim. pimpinan konser i gusti kompyang raka, penabuh gendang guruh sukarno putra. banyak perhatian dari kaum muda.

6 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONSR Musik dan Tari Bali di Teater Arena TIM - 20 dan 21 Juli yang lalu meledak. Karcis amblas, ruangan penuh sesak. Ini kejadian yang tidak biasa. Yayasan Saraswati, yang menjadi dalang kerepotan itu, boleh bangga. Tapi sebetulnya orang yang pantas dikasih tangan adalah I Gusti Kompyang Raha, pimpinan konser dan Guruh Soekarno Putra yang malah- itu menabuh gendang dan ceng-ceng. Chopin Larung dan Ceget Gelgel - dua ciptaan Guruh yang sudah dikenal orang lewat rekaman 'Guruh Gipsy' kali ini digarap oleh Kompyang dan Wayan Diya. Hampir sebulan mereka banting tulang. Guruh sendiri ikut menyumbang tangan juga, meski tidak banyak. Bunyi listrik sudah dibersihkan, sehingga malam itu orang tidak perlu lagi mendengarkan bunyi synthesizer, gitar atau pun dram. "Digarap dengan aransmen baru, tetapi tidak mengubah warna aslinya," kata Guruh. Manuk Anguci Malam yang semarak itu juga diramaikan oleh sebuah drama-tari bernama Legong Lasem. Sehingga sebagai acara boleh dikatakan padat. "Memang, Bali tidak tertutup akan hal-hal yang bersifat pembaharuan, asal hal tersebut dapat dijangkau dengan cita masyarakat, "kata pengantar dalam folder. Kecap basi ini ditujukan pada sejumlah lagu seperti Gambang Suling atau Soto Bandung yang ikut diperdengarkan malam itu sebagai usaha memuntahkan kembali dengan akrab pengaruh musik Jawa dalam kehidupan musik tradisionil Bali. Juga sempat diperdengarkan Manuk Anguci, gending ciptaan I Wayan Tembres. yang pernah menggondol kejuaraan kreasi terbaik dalam festival gong seluruh Bali tahun 1969. Iramanya lincah, genit dan manis. merupakan potret Bali masa ini. Dalam lagu ini dipeluk berbagai unsur yang bisa disabet dari perbendaharaan musik di luar Bali. Misalnya saja. satu saat kita dibawa mendengarkan lagu Soto Bandung. Selipan yang merupakan salah satu ciri kehidupan masyarakat di sana pada masa sekarang: mencoba membuat gado-gado dari apa saja yang sempat mereka kenal. Lagu semacam itu tentu saja bisa menirnbulkan kesan terlalu banyak mainmain, terutama bagi mereka yang terlalu serius. Tapi kalau diingat misalnya ada Tari Badminton, juga ada drama gong yang penuh aksi serta ada juga sendratari yang banyak dipengaruhi film koboi, semuanya kemudian jadi jelas. Kehidupan kesenian di Bali - dalam hal ini gamelan - memang sangat terbuka setiap saat pada yang baik maupun yang buruk. Khusus untuk kedua lagu Guruh yang dimainkan malam itu, disediakan set gong kebyar dengan dukungan kelompok paduan suara: 'Indonesia Mahardhika' dan 'Pasraman Widhayaka'. Choping Larung terdengar tidak banyak beda dengan kasetnya. Tetapi Geger Gelgel tersulap jadi manis. Pada perempat dan tengah lagu, masuk dialog antara Palawakya (Wayan Diya) dengan Sisiya (Ni Luh Adri). Dialog itu amat khas Bali: ucapan sang Durga yang meninggalkan kerusakan hebat di Mayapada. Menurut Wayan Diya, dialog ini dimaksudkan untuk mendukung lirik Geger Gelgel yan mencerminkan ketidakberesan dunia. Meditasi Para pendukung paduan suara, selain bercuap-cuap, juga ikut bergerak menggambarkan suasana keributan. Suasana hingar bingar itu kemudian dikunci dengan apa yang disebut Wayan Diya sebagai 'mood meditasi.' "Dari suasana ribut beralih ke suasana meditasi. Ini khas Bali. Mungkin tidak seluruh penonton peka terhadap perubahan-perubahan ini," kata Diya. Sementara Kompyang yang terkenal sebagai pemukul kendang BaJi yang baik, bekerja sama dengan Guruh menggiring penampilan itu dengan pas. Ia, yang juga ikut andil dalam perekaman kaset Guruh, menyatakan 2 malam pertunjukan langsung itu lebih memuaskan. "Kedua lagu itu setelah ditampilkan langsung. jadi lebih enak. Saya bisa merasakan setiap bunyi instrumen. Tidak seperti di rekaman. karena di situ instrumen kadang masuk satu-satu," katanya kepada TEMPO. Malam yang ternyata banyak menggembirakan kaum muda itu, juga menggembirakan hati Guruh sendiri. Ia menyatakan tidak mustahil untuk memasukkan bunyi piano atau synthesizer, tetapi harus diingat malam itu adalah penampilan konser Bali. Jadi Balinya harus menonjol. "Biarlah mereka datang dulu untuk mengapresiasi khazanah musik daerah Bali, karena Guruh-Gipsy untuk sementara boleh dikesampingkan dulu. Saya sudah senang," katanya. Harus diingat bahwa begitu banyak kaum muda hadir malam itu. Ini merupakan titik terang bagi kehidupan musik tradisionil, atau yang bersumber dari sana. Gamelan tidak lagi hanya piaraan orang-orang tua. Orang-orang muda juga sanggup menguasainya - siapa tahu dengan cara yang lebih segar dan akrab.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus