Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Meteor dari sala

Waljinah tampil di tim bersama orkes keroncong bintang surakarta. parade keroncong dengan tema keroncong masa'77. diikuti orkes senang hati, irama segar penyanyi ida jamain. atik pramono, eko sumiati.

6 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HERAN juga dia masih cemerlang. Bekas Ratu Kembang Kacang yang dipuja banyak orang karena menyanyikan Walangkekek itu, belum kehilangan pamor. Ia muncul 2 malam di Teater Terbuka TIM -- 23 dan 24 Juli -bersama Orkes Keroncong Bintang Surakarta. Malam penampilan yang sukses dan panjang, karena penonton baru meninggalkan bangku pukul setengah dua belas. Siapa lagi kalau bukan Waljinah. Pembawa acara merangkap biduan, Kris Biantoro memberinya julukan: 'meteor dari Sala.' Tidak berlebih-lebihan, karena mbakyu ini sama sekali tidak mengecewakan. Lagu pertama yang dilemparkannya bernama Tingalan Pure -- ciptaan Gesang yang paling baru. Langgam Jawa yang bernafas Bali ini mantap dan meyakinkan. Dilempari Batu Mengenakan kebaya merah jambu, pipinya kelihatan montok segar. Tapi biduanita dengan suara penuh gairat itu ternyata menyanyi dengan sederhana saja. Bahkan lagu Goyang-goyang tidak membuat ia jadi binal. "Ah, saya malu kalau pakai goyang-goyang segala. Itu kan saru," ujarnya kepada TEMPO. Saru itu kurang senonoh. "Saya sudah tua. Kalau pakai goyang-goyang, wah bisa dilempari batu penonton." Malam itu juga ia tidak lupa mengoper Walangkekek, sehingga membuat banyak orang manggut-manggut. Hadirin yang datang memang dari kelas yang sudah cukup umur. Sedikit sekali para muda. Tapi banyak di antaranya membenarkan, bahwa biduanita itu masih tetap semerbak. Tentu saja bagi yang doyan langgam Jawa. Waljinah lahir di Sala, 7 Nopember 1943, sebagai anak bungsu keluarga sederhana Wiryorahardjo. Namanya diambil dari kata wal-- bulan Sawal, dan jinah - sejinah - yang artinya sepuluh. Sejak kelas IV SD ia sudah juara pertama 'macapat' - membaca syair Jawa di Karesidenan Surakarta. Karena kehidupan keluarga sulit, ia hanya sempat mencapai kelas I SMP. Ayahnya dapat isteri baru dan kemudian berhasil menggenapkan anaknya menjadi 18 orang. Wanita ini mulai main keroncong didorong oleh Munadi, kakaknya sendiri yang menyanyi di Srimulat. Pada usia 15 tahun, Waljinah masuk Orkes Keroncong 'Irama Muda' pimpinan Suharto Wimbo. Waktu itu ia mengembara dari satu rumah ke rumah lainnya, menghibur orang-orang yang menyelenggarakan hajat. Sampai bulan Mei 1958, tatkala Perfini yang bekerja sama dengan RRI Surakarta menobatkannya sebagai 'Ratu Kembang Kacang'. Disusul kemenangannya sebagai juara dua bintang radio jenis keroncong, tahun itu iuga. Dua tahun berikutnya, berturut-turut ia mencatat kemenangan sebagai pemenang harapan Bintang Radio se-Indonesia jenis keroncong. Tahun 1959, bersama Gesang dan almarhum Samsidi, ia turun di studio Lokananta merekam Kembang Kacang Kata orang ia telah melancarkan semacam revolusi keroncong secara resmi. Mengangkat apa yang biasanya ngubek dalam suara gamelan ke dalam kancah keroncong. "Kalau di gending, penyanyi Kembang Kacang harus mengikuti betul aturan. Rasanya kaku. Bcda bila di keroncong. Penyanyinya bisa menggarapnya dengan luwes, cengkoknya pun bisa mapan," kata Mbak Waljinah. Ia kawin dengan Sulismulyo Budi, guru SMP Xaverius, tahun 1960. Dengan suaminya ini ia mendirikan 'Bintang Surakarta.' Lewat orkes inilah melejit lagulagu seperti: Yen Ing Tawang Ono Lintang, Entit, Onde-onde (semuanya karangan Anjar Ani), Jangkrik Genggong, Jula-Juli Surabaya dan sebagainya. Kalau dihitung sudah ratusan judul sampai sekarang. Tidak kurang dari 50 buah kaset dan 15 piringan hitam sempat digarap. Ia memang melambung - terlontar sampai ke Suriname pada tahun 1972. "Bahkan saya bersama mas Budi sempat melatih orang sana yang umumnya masih suka keroncong, sampai 10 hari." Seperti diketahui, banyak orang Suriname yang masih ingat Bahasa Jawa meski tidak ngerti Bahasa Indonesia. Gesang, Masnun Satoto, bintang radio kawakan itu, ikut mendampingi Waljinah selama penampilan di TIM. Juga orkes juara pertama festival keroncong Jakarta, 'Senang Hati' - sempat unjuk kebolehan diikuti oleh 'Irama Segara' yang juara III itu. Penyanyi-penyanyi Ida Jamain, Atik Pramono, juga masuk sebagai pendukung. Parade keroncong yang mengambil tema 'Keroncong Masa 77' itu jadi meriah dan berlarut-larut. Waljinah gembira melihat penyanyi-penyanyi muda suka turun ke dunia keroncong. "Bolehlah," katanya. mendengar suara Atiek dan Ida yang sebenarnya agak ngepop. Yang meledak malam itu adalah munculnya Eko Sumiati, ibu yang berusia 28 tahun. Anaknya sudah 3, tapi itu tidak menghalangi dia membawa langgam Sapu Tangan dengan pinggul yang sangat repot. "Wah kalau saya ngegolngegol begitu, rasanya jadi mantap dan enak. lenyanyinya terasa mapan," katanya dengan santai. Sementara Sugiono dan kawan-kawannya sempat menyuguhkan beberapa potongan lagu pop' dalam instrumental. Waljinah yang kini berbobot 56 Kg, tinggi 1.60 Cm, rupa-rupanya lebih menyukai keroncong tanpa alat-alat listrik. Ia mengatakan kepada TEMPO akan bertahan terus. Apalagi kehidupan keroncong di Sala cukup stabil. Ia masih sering ditanggap orang di Jawa Tengah sampai ke Jawa Timur. "Lagu pop sekarang ini kebanyakan tiru-tiru Barat," tuduhnya. "Lagu Barat diterjemahkan kemudian direkam. Tapi saya suka Koes Plus, yang mempopkan lagu Jawa dengan menggali khazanah lagu-lagu dolanan. Mungkin karena kena pengaruh keroncong langgam Jawa." Perkara penampilan, ia memang sudah memilih sikap yang tenang-tenang saja. Dandanannya pun semampunya saja, sebagaimana diakuinya sendiri. "Pendeknya yang saya pentingkan adalah lagunya," katanya dengan sederhana. "Saya tahu ada juga orang yang tidak menyenangi lagunya, tapi penyanyinya. Lagu itu ternyata relatii ya? Bagi saya, lagu itu sendiri sudah mencerminkan pribadi penyanyinya." Gesang sendiri memberi komentar: "Waljinah mempunyai suara yang mantap. Ketimbang Enny Kusrini, ataupun Subekti pendahulunya. Cengkoknya memang istimewa."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus