HERAN juga dia masih cemerlang. Bekas Ratu Kembang Kacang yang
dipuja banyak orang karena menyanyikan Walangkekek itu, belum
kehilangan pamor. Ia muncul 2 malam di Teater Terbuka TIM -- 23
dan 24 Juli -bersama Orkes Keroncong Bintang Surakarta. Malam
penampilan yang sukses dan panjang, karena penonton baru
meninggalkan bangku pukul setengah dua belas.
Siapa lagi kalau bukan Waljinah. Pembawa acara merangkap biduan,
Kris Biantoro memberinya julukan: 'meteor dari Sala.' Tidak
berlebih-lebihan, karena mbakyu ini sama sekali tidak
mengecewakan. Lagu pertama yang dilemparkannya bernama Tingalan
Pure -- ciptaan Gesang yang paling baru. Langgam Jawa yang
bernafas Bali ini mantap dan meyakinkan.
Dilempari Batu
Mengenakan kebaya merah jambu, pipinya kelihatan montok segar.
Tapi biduanita dengan suara penuh gairat itu ternyata menyanyi
dengan sederhana saja. Bahkan lagu Goyang-goyang tidak membuat
ia jadi binal. "Ah, saya malu kalau pakai goyang-goyang segala.
Itu kan saru," ujarnya kepada TEMPO. Saru itu kurang senonoh.
"Saya sudah tua. Kalau pakai goyang-goyang, wah bisa dilempari
batu penonton." Malam itu juga ia tidak lupa mengoper
Walangkekek, sehingga membuat banyak orang manggut-manggut.
Hadirin yang datang memang dari kelas yang sudah cukup umur.
Sedikit sekali para muda. Tapi banyak di antaranya membenarkan,
bahwa biduanita itu masih tetap semerbak. Tentu saja bagi yang
doyan langgam Jawa.
Waljinah lahir di Sala, 7 Nopember 1943, sebagai anak bungsu
keluarga sederhana Wiryorahardjo. Namanya diambil dari kata
wal-- bulan Sawal, dan jinah - sejinah - yang artinya sepuluh.
Sejak kelas IV SD ia sudah juara pertama 'macapat' - membaca
syair Jawa di Karesidenan Surakarta. Karena kehidupan keluarga
sulit, ia hanya sempat mencapai kelas I SMP. Ayahnya dapat
isteri baru dan kemudian berhasil menggenapkan anaknya menjadi
18 orang.
Wanita ini mulai main keroncong didorong oleh Munadi, kakaknya
sendiri yang menyanyi di Srimulat. Pada usia 15 tahun, Waljinah
masuk Orkes Keroncong 'Irama Muda' pimpinan Suharto Wimbo. Waktu
itu ia mengembara dari satu rumah ke rumah lainnya, menghibur
orang-orang yang menyelenggarakan hajat. Sampai bulan Mei 1958,
tatkala Perfini yang bekerja sama dengan RRI Surakarta
menobatkannya sebagai 'Ratu Kembang Kacang'. Disusul
kemenangannya sebagai juara dua bintang radio jenis keroncong,
tahun itu iuga. Dua tahun berikutnya, berturut-turut ia mencatat
kemenangan sebagai pemenang harapan Bintang Radio se-Indonesia
jenis keroncong.
Tahun 1959, bersama Gesang dan almarhum Samsidi, ia turun di
studio Lokananta merekam Kembang Kacang Kata orang ia telah
melancarkan semacam revolusi keroncong secara resmi. Mengangkat
apa yang biasanya ngubek dalam suara gamelan ke dalam kancah
keroncong. "Kalau di gending, penyanyi Kembang Kacang harus
mengikuti betul aturan. Rasanya kaku. Bcda bila di keroncong.
Penyanyinya bisa menggarapnya dengan luwes, cengkoknya pun bisa
mapan," kata Mbak Waljinah.
Ia kawin dengan Sulismulyo Budi, guru SMP Xaverius, tahun
1960. Dengan suaminya ini ia mendirikan 'Bintang Surakarta.'
Lewat orkes inilah melejit lagulagu seperti: Yen Ing Tawang Ono
Lintang, Entit, Onde-onde (semuanya karangan Anjar Ani),
Jangkrik Genggong, Jula-Juli Surabaya dan sebagainya. Kalau
dihitung sudah ratusan judul sampai sekarang. Tidak kurang dari
50 buah kaset dan 15 piringan hitam sempat digarap.
Ia memang melambung - terlontar sampai ke Suriname pada tahun
1972. "Bahkan saya bersama mas Budi sempat melatih orang sana
yang umumnya masih suka keroncong, sampai 10 hari." Seperti
diketahui, banyak orang Suriname yang masih ingat Bahasa Jawa
meski tidak ngerti Bahasa Indonesia.
Gesang, Masnun Satoto, bintang radio kawakan itu, ikut
mendampingi Waljinah selama penampilan di TIM. Juga orkes juara
pertama festival keroncong Jakarta, 'Senang Hati' - sempat unjuk
kebolehan diikuti oleh 'Irama Segara' yang juara III itu.
Penyanyi-penyanyi Ida Jamain, Atik Pramono, juga masuk sebagai
pendukung. Parade keroncong yang mengambil tema 'Keroncong Masa
77' itu jadi meriah dan berlarut-larut. Waljinah gembira melihat
penyanyi-penyanyi muda suka turun ke dunia keroncong.
"Bolehlah," katanya. mendengar suara Atiek dan Ida yang
sebenarnya agak ngepop.
Yang meledak malam itu adalah munculnya Eko Sumiati, ibu yang
berusia 28 tahun. Anaknya sudah 3, tapi itu tidak menghalangi
dia membawa langgam Sapu Tangan dengan pinggul yang sangat
repot. "Wah kalau saya ngegolngegol begitu, rasanya jadi mantap
dan enak. lenyanyinya terasa mapan," katanya dengan santai.
Sementara Sugiono dan kawan-kawannya sempat menyuguhkan beberapa
potongan lagu pop' dalam instrumental.
Waljinah yang kini berbobot 56 Kg, tinggi 1.60 Cm, rupa-rupanya
lebih menyukai keroncong tanpa alat-alat listrik. Ia mengatakan
kepada TEMPO akan bertahan terus. Apalagi kehidupan keroncong di
Sala cukup stabil. Ia masih sering ditanggap orang di Jawa
Tengah sampai ke Jawa Timur. "Lagu pop sekarang ini kebanyakan
tiru-tiru Barat," tuduhnya. "Lagu Barat diterjemahkan kemudian
direkam. Tapi saya suka Koes Plus, yang mempopkan lagu Jawa
dengan menggali khazanah lagu-lagu dolanan. Mungkin karena kena
pengaruh keroncong langgam Jawa."
Perkara penampilan, ia memang sudah memilih sikap yang
tenang-tenang saja. Dandanannya pun semampunya saja, sebagaimana
diakuinya sendiri. "Pendeknya yang saya pentingkan adalah
lagunya," katanya dengan sederhana. "Saya tahu ada juga orang
yang tidak menyenangi lagunya, tapi penyanyinya. Lagu itu
ternyata relatii ya? Bagi saya, lagu itu sendiri sudah
mencerminkan pribadi penyanyinya." Gesang sendiri memberi
komentar: "Waljinah mempunyai suara yang mantap. Ketimbang Enny
Kusrini, ataupun Subekti pendahulunya. Cengkoknya memang
istimewa."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini