KINI anak kami yang bungsu (5 tahun) kelas nol besar, tahun lalu
nol kecil. Punya pakaian seragam sekolah dua pasang: warna
kotak-kotak merah, topi merah, dasi kupu hitam (untuk Senin
Selasa). Warna batik biru, topi biru, dasi kupu biru (untuk
Jum'at Sabtu). Untuk dilekatkan pada topi, sebuah lambang segi
lima warna dasar kuning, bergambar daun dan bunga merah. Pakaian
bebas Rabu Kamis.
Siklus yang begitu rapi. Dan pilinan kombinasi yang begitu baik.
Punya selera. Kecuali itu pakai sepatu dan kaos kaki sampai ke
betis. Kaos kaki ini tidak wajib tapi ada anak yang mulai. Yang
lain tiru-tiru, lalu melembaga.
Peralatan lain berupa tas plastik dan tempat minum plastik.
Sebagai orang tua, saya melihat itu semua sebagai pemanis. Tidak
mempertanyakan untuk apa. Tidak menghubungkannya dengan
pembinaan l'esprit de corps. Beli kalau sudah waktunya,
selesai. Menurut isteri saya, kalau dihitung-hitung, pakaian
seragam malah menghemat. Anak tidak menuntut macam-macam. Terus
terang saja, bagi saya tidak soal. Anak toh bisa dibimbing
supaya kenal batas-batas.
Dibanding dengan masa kanak-kanak kami dahulu di kampung,
alangkah meningkatnya mereka. Apakah kwalitas kehidupan, the
quality of life, sudah meningkat? Saya tidak tahu. Pakaian
seragam dan berbagai alat sekolah sekarang, dulu tidak ada.
Malah kelas nol kecil nol besar tidak ada. Masuk kelas satu SD
sekitar usia 7 - 9 tahun. Beberapa orang di kelas 6 SD sudah
menginjak dewasa. Pakaian aneka ragam. Banyak anak ke sekolah
pakai celana kolor hitam. Tidak soal, asal layak panjanghya.
Baju seadanya. Tidak kenal sepatu dan kaos kaki.
Bicara tentang sepatu dan kaos kaki, sampai menyelesaikan SMP di
Medan, kami belum biasa memakai alat-alat itu. Umumnya pelajar
pakai sandal dan ada juga pakai terompah (bakiak). Tetapi
riwayat terompah ini mendadak berakhir setelah pak GB Josua
membetak seorang pelajar: "Sahabat ini bukan WC atau kamar
mandi."
Bentakan direktur yang tegap dan disiplin itu cepat tersiar.
Hardikannya sungguh menegakkan bulu roma. Bila perlu, beliau
melontarkan kalimat pedas yang khas: "Sahabat, kaki dua atau
kaki empat." Tapi sandal tetap dapat bertahan, tidak harus
bersepatu.
Pak Saridjo ternyata paling cocok, sesudah saya coba beberapa
tukang pijit. Dia buta dari kecil, umur kini kurang lebih 55.
Pijitannya boleh dikuatkan atau dilemahkan, terserah permintaan.
Dia juga pintar membawakan diri terhadap langganan, yang
disebutnya "pasen". Tahu kapan diam dan kapan ngobrol. Kalau
pasen sangat penat dan tidak selera bicara, dia diam. Maka yang
terdengar hanya pukulan-pukulan dan elusan-elusannya, di samping
suara kendaraan di jalan besar.
Tapi kalau pasen berselera bicara dia tidak lewatkan kesempatan.
Ceritanya aneka ragam: tentang kampungnya di Gunung Kidul,
pengalaman selama latihan pada RC (Rehabilitatiol Celter) dr.
Suharso di Solo, isterinya yang juga buta tapi bisa massage,
anaknya yang lima: si nakal dan si manis, soal KB, pasen yang
sedikit di musim hujan, dan lain-lain. Dia seolah-olah punya
mata kalau bicara tentang perkembangan Yogya. Dia pernah cerita
tentang Sekip dan Bulaksumur, daerah Gadjah Mada sekarang, yang
dulu kosong dan sepi. Dari dia saya dengar bahwa Sekip pernah
jadi lapangan terbang.
Suatu ketika dia risaukan uang pembeli pakaian seragam. Baru
saja pijitan dimulai, dia bertanya:
- Pak, pakaian seragam itu untuk apa. Saya ini susah. Anak saya
tiga di SD, semua perlu pakaian seragam.
Saya tersudut, tidak dapat menjawab. Tidak kena kalau saya
katakan seragam itu pemanis, apa lagi dia buta. Dia tidak akan
pernah melihat manisnya, untuk dibandingkan dengan masa
kecilnya.
- Tidak tahu saya, Pak Saridjo.
- Berat lho pak. Anak tidak mau pergi sekolah kalau belum
dibelikan pakaian seragarn. Malu.
Saya tidak menjawab lagi. Memang tidak pernah terpikir oleh saya
beban tersebut bagi golongan berpendapatan rendah. Malah pernah
saya dengar dari sumber luar negeri, fungsinya di sana
sebaliknya. Supaya mereka yang punya tidak pamer lewat pakaian
anaknya di sekolah, jadi diseragamkan. Sama rata sama rasa. Tapi
di sini, di dalam lingkungan Pak Saridjo, pakaian seragam punya
kewajiban menarik golongan miskin ke atas. Dan tarikan itu
menjerat ekonomi rumah tangga dan memusingkan kepala. Dan anak
mereka malu tanpa seragam, tanpa sepatu dan kaos kaki.
Anak-anak miskin ini tidak tahan dibungkus oleh lambang-lambang
kemiskinan.
Pak Saridjo masih lumayan dibanding keluarga Paimin, keluarga
gelandangan yang bermukim di tepi jalan di muka rumah mertua
saya. Mereka terdiri dari suami isteri dan seorang anak, Gimin,
usia 10 tahun. Sudah beberapa tahun mereka tidur di atas
helai-helai papan yang dipasang di atas parit, beratapkan
plastik yang dikuatkan dengan tepas (gedek).
Masyarakat dan intelek kita sudah terlanjur menyebut mereka
gelandangan secara keliru. Karena gelandang, menurut
Poerwodarminta, adalah berjalan hilir mudik atau ke sana ke mari
tak tentu maksudnya, berkeliaran, bertualang. Apa boleh buat,
mereka dianggap berkeliaran walaupun tidak berkeliaran dan punya
kartu penduduk. Cuma tidak marnpu mengontrak rumah atau gubuk di
kota. Sebelumnya Bu Paimin dua kali terusir dari tempatnya
jualan "wedang" akibat perluasan jalan. Pekerjaan Paimin
terakhir mengangkut tepas dari penjual, tapi sering kosong kalau
tepas tidak laku. Kini mereka hidup dari membersihkan
kotak-kotak plastik segala ukuran, hasil pungutan para
gelandangan lainnya. Dibeli satu rupiah dijual lima rupiah
setelah dibersihkan.
Sudah beberapa kali isteri saya ngobrol dengan Bu Paimin. Sekali
pembicaraan sampai kepada sekolah Gumin, anaknya yang lincah dan
manis itu. Bu Paimin menjelaskan:
- Tempo hari Gimin sekolah tapi sudah berhenti. Dia rajin
sekolah. Tapi seragam itu lho bu, kami tidak sanggup beli.
Makanya dia berhenti.
Dalam keadaan biasa, mereka mampu membeli pakaian bekas. Ada
segala macam harga, tergantung kemampuan, dan boleh menyicil.
Tapi pakaian seragam harus baru. Tidak ada bekas.
Namun demikian, Bu Paimin tidak mengeluh, tidak mengeritik.
Seolah itu semuanya seharusnya demikian. Demikian juga Gimin
selalu kelihatan riang. Apalagi kalau dia sedang berrnain dengan
kucingnya di dekat parit di tepi pagar. Dan mereka tidak
mempertanyakan: pakaian seragarn itu untuk apa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini