Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Seragam untuk apa

Dahulu anak sekolah tidak memakai pakaian seragam dan peralatan lainnya, seperti anak-anak sekarang. untuk apa seragam, kalau hanya menyulitkan orang-orang miskin yang anaknya tdk sekolah gara-gara tidak punya seragam.

6 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KINI anak kami yang bungsu (5 tahun) kelas nol besar, tahun lalu nol kecil. Punya pakaian seragam sekolah dua pasang: warna kotak-kotak merah, topi merah, dasi kupu hitam (untuk Senin Selasa). Warna batik biru, topi biru, dasi kupu biru (untuk Jum'at Sabtu). Untuk dilekatkan pada topi, sebuah lambang segi lima warna dasar kuning, bergambar daun dan bunga merah. Pakaian bebas Rabu Kamis. Siklus yang begitu rapi. Dan pilinan kombinasi yang begitu baik. Punya selera. Kecuali itu pakai sepatu dan kaos kaki sampai ke betis. Kaos kaki ini tidak wajib tapi ada anak yang mulai. Yang lain tiru-tiru, lalu melembaga. Peralatan lain berupa tas plastik dan tempat minum plastik. Sebagai orang tua, saya melihat itu semua sebagai pemanis. Tidak mempertanyakan untuk apa. Tidak menghubungkannya dengan pembinaan l'esprit de corps. Beli kalau sudah waktunya, selesai. Menurut isteri saya, kalau dihitung-hitung, pakaian seragam malah menghemat. Anak tidak menuntut macam-macam. Terus terang saja, bagi saya tidak soal. Anak toh bisa dibimbing supaya kenal batas-batas. Dibanding dengan masa kanak-kanak kami dahulu di kampung, alangkah meningkatnya mereka. Apakah kwalitas kehidupan, the quality of life, sudah meningkat? Saya tidak tahu. Pakaian seragam dan berbagai alat sekolah sekarang, dulu tidak ada. Malah kelas nol kecil nol besar tidak ada. Masuk kelas satu SD sekitar usia 7 - 9 tahun. Beberapa orang di kelas 6 SD sudah menginjak dewasa. Pakaian aneka ragam. Banyak anak ke sekolah pakai celana kolor hitam. Tidak soal, asal layak panjanghya. Baju seadanya. Tidak kenal sepatu dan kaos kaki. Bicara tentang sepatu dan kaos kaki, sampai menyelesaikan SMP di Medan, kami belum biasa memakai alat-alat itu. Umumnya pelajar pakai sandal dan ada juga pakai terompah (bakiak). Tetapi riwayat terompah ini mendadak berakhir setelah pak GB Josua membetak seorang pelajar: "Sahabat ini bukan WC atau kamar mandi." Bentakan direktur yang tegap dan disiplin itu cepat tersiar. Hardikannya sungguh menegakkan bulu roma. Bila perlu, beliau melontarkan kalimat pedas yang khas: "Sahabat, kaki dua atau kaki empat." Tapi sandal tetap dapat bertahan, tidak harus bersepatu. Pak Saridjo ternyata paling cocok, sesudah saya coba beberapa tukang pijit. Dia buta dari kecil, umur kini kurang lebih 55. Pijitannya boleh dikuatkan atau dilemahkan, terserah permintaan. Dia juga pintar membawakan diri terhadap langganan, yang disebutnya "pasen". Tahu kapan diam dan kapan ngobrol. Kalau pasen sangat penat dan tidak selera bicara, dia diam. Maka yang terdengar hanya pukulan-pukulan dan elusan-elusannya, di samping suara kendaraan di jalan besar. Tapi kalau pasen berselera bicara dia tidak lewatkan kesempatan. Ceritanya aneka ragam: tentang kampungnya di Gunung Kidul, pengalaman selama latihan pada RC (Rehabilitatiol Celter) dr. Suharso di Solo, isterinya yang juga buta tapi bisa massage, anaknya yang lima: si nakal dan si manis, soal KB, pasen yang sedikit di musim hujan, dan lain-lain. Dia seolah-olah punya mata kalau bicara tentang perkembangan Yogya. Dia pernah cerita tentang Sekip dan Bulaksumur, daerah Gadjah Mada sekarang, yang dulu kosong dan sepi. Dari dia saya dengar bahwa Sekip pernah jadi lapangan terbang. Suatu ketika dia risaukan uang pembeli pakaian seragam. Baru saja pijitan dimulai, dia bertanya: - Pak, pakaian seragam itu untuk apa. Saya ini susah. Anak saya tiga di SD, semua perlu pakaian seragam. Saya tersudut, tidak dapat menjawab. Tidak kena kalau saya katakan seragam itu pemanis, apa lagi dia buta. Dia tidak akan pernah melihat manisnya, untuk dibandingkan dengan masa kecilnya. - Tidak tahu saya, Pak Saridjo. - Berat lho pak. Anak tidak mau pergi sekolah kalau belum dibelikan pakaian seragarn. Malu. Saya tidak menjawab lagi. Memang tidak pernah terpikir oleh saya beban tersebut bagi golongan berpendapatan rendah. Malah pernah saya dengar dari sumber luar negeri, fungsinya di sana sebaliknya. Supaya mereka yang punya tidak pamer lewat pakaian anaknya di sekolah, jadi diseragamkan. Sama rata sama rasa. Tapi di sini, di dalam lingkungan Pak Saridjo, pakaian seragam punya kewajiban menarik golongan miskin ke atas. Dan tarikan itu menjerat ekonomi rumah tangga dan memusingkan kepala. Dan anak mereka malu tanpa seragam, tanpa sepatu dan kaos kaki. Anak-anak miskin ini tidak tahan dibungkus oleh lambang-lambang kemiskinan. Pak Saridjo masih lumayan dibanding keluarga Paimin, keluarga gelandangan yang bermukim di tepi jalan di muka rumah mertua saya. Mereka terdiri dari suami isteri dan seorang anak, Gimin, usia 10 tahun. Sudah beberapa tahun mereka tidur di atas helai-helai papan yang dipasang di atas parit, beratapkan plastik yang dikuatkan dengan tepas (gedek). Masyarakat dan intelek kita sudah terlanjur menyebut mereka gelandangan secara keliru. Karena gelandang, menurut Poerwodarminta, adalah berjalan hilir mudik atau ke sana ke mari tak tentu maksudnya, berkeliaran, bertualang. Apa boleh buat, mereka dianggap berkeliaran walaupun tidak berkeliaran dan punya kartu penduduk. Cuma tidak marnpu mengontrak rumah atau gubuk di kota. Sebelumnya Bu Paimin dua kali terusir dari tempatnya jualan "wedang" akibat perluasan jalan. Pekerjaan Paimin terakhir mengangkut tepas dari penjual, tapi sering kosong kalau tepas tidak laku. Kini mereka hidup dari membersihkan kotak-kotak plastik segala ukuran, hasil pungutan para gelandangan lainnya. Dibeli satu rupiah dijual lima rupiah setelah dibersihkan. Sudah beberapa kali isteri saya ngobrol dengan Bu Paimin. Sekali pembicaraan sampai kepada sekolah Gumin, anaknya yang lincah dan manis itu. Bu Paimin menjelaskan: - Tempo hari Gimin sekolah tapi sudah berhenti. Dia rajin sekolah. Tapi seragam itu lho bu, kami tidak sanggup beli. Makanya dia berhenti. Dalam keadaan biasa, mereka mampu membeli pakaian bekas. Ada segala macam harga, tergantung kemampuan, dan boleh menyicil. Tapi pakaian seragam harus baru. Tidak ada bekas. Namun demikian, Bu Paimin tidak mengeluh, tidak mengeritik. Seolah itu semuanya seharusnya demikian. Demikian juga Gimin selalu kelihatan riang. Apalagi kalau dia sedang berrnain dengan kucingnya di dekat parit di tepi pagar. Dan mereka tidak mempertanyakan: pakaian seragarn itu untuk apa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus