Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Asap, ikan dan manusia di bontang

Laporan george y adicondro pada kunjungannya ke pabrik pencairan gas do bontang. proyek itu seluas 700 ha. empat sumur bor memenuhi kebutuhan air. manfaat sosial bagi penduduk tak terasa.

6 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Asap, ikan dan manusia di bontang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KEPULAN asap hitam pekat menyambut para wartawan yang baru turun dari pesawat Skyvan Pelita di airstrip Bontang. Apa pula itu? Kan gas alam selalu didengngungkan sebagai bahan bakar yanb bersih dan bebas polusi? Ternyata memang bukan gas alam yang terbakar. Tapi produk sampingannva: larutan hidrokarbon yang hitam seperti minyak bumi mentah. Semenjak unit produksi pertama train A) mulai herproduksi 5 Juli lalu, setiap hari sekitar 2000 barrel kondensat ikut tersembur dari pipa pengeluarannya. Untuk sementara, hanya sebagian kecil dari kondensat itu dimanfaatkan sebagai bahan bakar kendaraan proyek, setelah dicampur dengan bensin. Sedang sebagian besar dibakar begitu saja, hingga menimbulkan gumpalan asap hitam yang terus mengepul ke udara. Sebenarnya, kondensat itu terlalu manal harganya untuk dibakar begitu saja. Lebih mahal dari harga minyak bumi mentah. "Harganya antara 14 sampai 16 dollar AS satu barrel," ujar ir. Siregar, wakil manajer proyek LNG Pertamina yang mendampingi para wartawan dari Jakarta. Nantinya kalau proyek LNG Bontang itu sudah berjalan dengan mantap, kondensat itu akan disalurkan ke terminal minyak Union Oil di Tanjung Santan dan disuntikkan ke dalam minyak mentah yang akan diekspor. Diharapkannya hal itu bisa terlaksana dua minggu lagi sehingga kondensat itu hanya sebulan lamanya terbuang percuma. Sebab kerugian Pertamina dengan membakar kondensat itu selama sebulan, sudah sekitar $AS 1 juta. Sekaligus menghindari pengotoran udara. Perubahan Drastis Meski gas alamnya sendiri hampir tak mencemari lingkungan, kehadiran pabrik pencairan gas alam di Bontang itu sendiri merubah lingkungan aslinya secara drastis. Bayangkan saja: seluruh proyek itu bakal menelan tempat seluas 700 hektar. Kedua unit produksinya saja sudah menelan 120 Ha. Tambah fasilitas pendukungnya - seperti dua PLTU, jaringan air (asin) pendingin, jaringan air (tawar) untuk PLTU dan air minum, gudang, kantor, pelabuhan, dan lain-lain - total menghabiskan 300 Ha. Sementara itu, 400 Ha sudah dicadangan untuk perumahan 500 karyawan tetap yang akan menjalankan pabrik LNG itu setelah 100% rampung September mendatang. Hampir seluruh areal 700 Ha yang disita untuk proyek raksasa itu sudah ditebangi pepohonannya, digusur orang utannya (daerah itu sebenarnya suaka orang utan), dikeruk dan diuruk agar medannya lebih rata, sehingga dengan demikian pembangunan prasarana lebih mudah. Dan murah. Nantinya, pohon dan semak akan ditanam kembali agar daerah itu tak semakin tandus, berdebu di hari panas dan becek di hari hujan. Tapi sementara ini, baru dilakukan penanaman rumput di sana-sini untuk mencegah longsornya lereng-lereng yang rawan. Khusus untuk pelabuhan pemuatan LNG ke kapal tanki, laut yang tadinya hanya 9 meter dalamnya telah dikeruk sampai 14 meter. Karang yang tergali dari dasar laut ditimbun menjadi tanggul pemisah daerah perairan pelabuhan khusus itu dengan daerah perairan rakyat. Dalam radius 1 Km dari dermaga khusus pemuatan LNG, perahu-perahu nelayan yang tadinya bebas lalu-lalang dengan pelita minyak-tanahnya di malam hari, kini digusur pula untuk mencegah malapetaka kebakaran atau ledakan gas alam. Maklumlah, gas alam jauh lebih mudah terbakar dari pada minyak bumi, karena kandungan gas dapur (CH4) alias methane-nya hampir 100%. Tragedi di New York Malah gas alam cair yang luarbiasa dinginnya (minus 160ø C) di bawah tekanan 6 atmosfir, sekali bocor dari pipa atau tanki langsung akan mengambang di atas air laut dalam bentuk kabut, bercampur dengan oksigen (O2) dalam udara dan bisa meledak tanpa ada sumber api (flame-less vapour explotion). Ledakan uap tanpa api itu, sudah dibuktikan secara eksperimentil oleh David S. Burgess dari US Bureau of Mines, 1970. Memang, kekuatan ledakannya tak seberapa (hanya 100 pounds per inci persegi). Tapi kalau bersentuhan dengan api, bisa terulang tragedi terbakarnya tanki LNG di Staten Island, New York 1973. Di situ nyawa 40 pekerja kontan melayang. Jauh lebih dahsyat dan cepat dari pada kebakaran besar di perairan Tanjung Priok karena pipa minyak Pertamina bocor, 5 tahun berselang. Untuk mendinginkan seluruh pabrik, lima pompa pengisap menyedot 325 gallon air laut tiap menit keliling instalasi. Air asin bertemperatur normal itu keluarnya bersuhu 45ø C. Air laut yang panasnya suam-suam kuku itu kemudian dialirkan lewat sungai dan kanal buatan sepanjang 2 Km sebelum dilepas kembali ke laut, jauh dari dermaga. Apakah pembuangan air panas ke laut secara non-stop dalam jumlah begitu banyak tak merusak populasi ikan di perairan Selat Makassar itu? Ir (kimia) Siregar menggeleng ketika disodori pertanyaan itu. Sahut dia: "Penelitian justru menunjukkan, bahwa ada ikan tertentu berkembang-biak lebih cepat dalam temperatur itu." Namun ikan apa yang lebih subur kalau diguyur air hangat terus menerus, dan ikan apa yang justru lemas atau mati, dia tak tahu. Selain air laut sebagai pendingin instalasi, proyek itu juga menyedot air tanah dari empat sumur bor untuk konsumsi PLTU, plus kebutuhan air minum warga proyek. Keempat sumur itu menghasilkan 4 x 800 gallon per menit, atau 1,15 juga gallon sehari. Untunglah ketika PLTU yang total menghasilkan 37,5 Mega Watt listrik tak rakus air, sebab uap yang sudah dipakai didinginkan lagi dan disalurkan kembali ke dalam ketel (boiler). Kerugian hanya 5-10%. Sedang konsumsi air minum, cuci dan mandi bagi para warga proyek diperhitungkan hanya 0,5 gallon per orang sehari. Jadi 3000 pekerja lepas dan tetap di proyek itu hanya menghabiskan 1500 gallon sehari. Jurnlah itu akan ciut menjadi 250 gallon sehari, setelah tahap konstruksi selesai seluruhnya. Maka bahaya kehabisan air tawar tak begitu besar, meskipun di dekat Bontang tak ada sungai atau danau yang bisa disadap airnya. Juga bahaya amblesnya tanah karena penyedotan air tanah secara besarbesaran - seperti yang banyak ditemui di kota-kota metropolitan - tak mengganggu benak para perencana proyek. Sosial: Tak Terasa Ditinjau dari sudut sosial, manfaat kehadiran proyek raksasa itu tak begitu terasa oleh penduduk sekitarnya. Kecuali oleh segelintir pramuria dari Jawa Timur dan Manado di kampung terdekat Brebes, serta majikannya dan pengusaha hiburan dan jasajasa lain di Bontang. Pasir urukan diimpor dari Donggala, Sulteng dan pulau Karimun, Riau. Seluruh bahan makanan didatangkan oleh kontraktor catering PT Harapan Insani dari Jawa dan Banjarmasin. Gaji para pekerja kasar yang sangat rendah - sekitar Rp 35 ribu sebulan - juga tak merupakan sumber daya beli yang kuat untuk menarik para pengusaha barang kelontong. Dan sementara para nelayan Bugis-Makasar yang sudah 2-3 generasi menetap di sana digerogoti daerah operasinya oleh tanker LNG dan wabah air panas mereka toh juga tak bisa ikut menikmati air minum listrik atau bahan bakar bersih yang dihasilkan proyek itu. Di sanalah mereka berdiri: menonton satu proyek raksasa, yang begitu vital artinya bagi konsumen listrik, gas, dan baja di Jepang - sebuah negeri yang hanya berjarak 3 hari pelayaran dengan tanker LNG dari Bontang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus