KEPULAN asap hitam pekat menyambut para wartawan yang baru turun
dari pesawat Skyvan Pelita di airstrip Bontang. Apa pula itu?
Kan gas alam selalu didengngungkan sebagai bahan bakar yanb
bersih dan bebas polusi?
Ternyata memang bukan gas alam yang terbakar. Tapi produk
sampingannva: larutan hidrokarbon yang hitam seperti minyak bumi
mentah. Semenjak unit produksi pertama train A) mulai
herproduksi 5 Juli lalu, setiap hari sekitar 2000 barrel
kondensat ikut tersembur dari pipa pengeluarannya. Untuk
sementara, hanya sebagian kecil dari kondensat itu dimanfaatkan
sebagai bahan bakar kendaraan proyek, setelah dicampur dengan
bensin. Sedang sebagian besar dibakar begitu saja, hingga
menimbulkan gumpalan asap hitam yang terus mengepul ke udara.
Sebenarnya, kondensat itu terlalu manal harganya untuk dibakar
begitu saja. Lebih mahal dari harga minyak bumi mentah.
"Harganya antara 14 sampai 16 dollar AS satu barrel," ujar ir.
Siregar, wakil manajer proyek LNG Pertamina yang mendampingi
para wartawan dari Jakarta. Nantinya kalau proyek LNG Bontang
itu sudah berjalan dengan mantap, kondensat itu akan disalurkan
ke terminal minyak Union Oil di Tanjung Santan dan disuntikkan
ke dalam minyak mentah yang akan diekspor. Diharapkannya hal itu
bisa terlaksana dua minggu lagi sehingga kondensat itu hanya
sebulan lamanya terbuang percuma. Sebab kerugian Pertamina
dengan membakar kondensat itu selama sebulan, sudah sekitar $AS
1 juta. Sekaligus menghindari pengotoran udara.
Perubahan Drastis
Meski gas alamnya sendiri hampir tak mencemari lingkungan,
kehadiran pabrik pencairan gas alam di Bontang itu sendiri
merubah lingkungan aslinya secara drastis. Bayangkan saja:
seluruh proyek itu bakal menelan tempat seluas 700 hektar. Kedua
unit produksinya saja sudah menelan 120 Ha. Tambah fasilitas
pendukungnya - seperti dua PLTU, jaringan air (asin) pendingin,
jaringan air (tawar) untuk PLTU dan air minum, gudang, kantor,
pelabuhan, dan lain-lain - total menghabiskan 300 Ha. Sementara
itu, 400 Ha sudah dicadangan untuk perumahan 500 karyawan tetap
yang akan menjalankan pabrik LNG itu setelah 100% rampung
September mendatang.
Hampir seluruh areal 700 Ha yang disita untuk proyek raksasa itu
sudah ditebangi pepohonannya, digusur orang utannya (daerah itu
sebenarnya suaka orang utan), dikeruk dan diuruk agar medannya
lebih rata, sehingga dengan demikian pembangunan prasarana lebih
mudah. Dan murah. Nantinya, pohon dan semak akan ditanam kembali
agar daerah itu tak semakin tandus, berdebu di hari panas dan
becek di hari hujan. Tapi sementara ini, baru dilakukan
penanaman rumput di sana-sini untuk mencegah longsornya
lereng-lereng yang rawan.
Khusus untuk pelabuhan pemuatan LNG ke kapal tanki, laut yang
tadinya hanya 9 meter dalamnya telah dikeruk sampai 14 meter.
Karang yang tergali dari dasar laut ditimbun menjadi tanggul
pemisah daerah perairan pelabuhan khusus itu dengan daerah
perairan rakyat. Dalam radius 1 Km dari dermaga khusus pemuatan
LNG, perahu-perahu nelayan yang tadinya bebas lalu-lalang dengan
pelita minyak-tanahnya di malam hari, kini digusur pula untuk
mencegah malapetaka kebakaran atau ledakan gas alam. Maklumlah,
gas alam jauh lebih mudah terbakar dari pada minyak bumi, karena
kandungan gas dapur (CH4) alias methane-nya hampir 100%.
Tragedi di New York
Malah gas alam cair yang luarbiasa dinginnya (minus 160ø C) di
bawah tekanan 6 atmosfir, sekali bocor dari pipa atau tanki
langsung akan mengambang di atas air laut dalam bentuk kabut,
bercampur dengan oksigen (O2) dalam udara dan bisa meledak tanpa
ada sumber api (flame-less vapour explotion). Ledakan uap tanpa
api itu, sudah dibuktikan secara eksperimentil oleh David S.
Burgess dari US Bureau of Mines, 1970. Memang, kekuatan
ledakannya tak seberapa (hanya 100 pounds per inci persegi).
Tapi kalau bersentuhan dengan api, bisa terulang tragedi
terbakarnya tanki LNG di Staten Island, New York 1973. Di situ
nyawa 40 pekerja kontan melayang. Jauh lebih dahsyat dan cepat
dari pada kebakaran besar di perairan Tanjung Priok karena pipa
minyak Pertamina bocor, 5 tahun berselang.
Untuk mendinginkan seluruh pabrik, lima pompa pengisap menyedot
325 gallon air laut tiap menit keliling instalasi. Air asin
bertemperatur normal itu keluarnya bersuhu 45ø C. Air laut yang
panasnya suam-suam kuku itu kemudian dialirkan lewat sungai dan
kanal buatan sepanjang 2 Km sebelum dilepas kembali ke laut,
jauh dari dermaga.
Apakah pembuangan air panas ke laut secara non-stop dalam jumlah
begitu banyak tak merusak populasi ikan di perairan Selat
Makassar itu? Ir (kimia) Siregar menggeleng ketika disodori
pertanyaan itu. Sahut dia: "Penelitian justru menunjukkan, bahwa
ada ikan tertentu berkembang-biak lebih cepat dalam temperatur
itu." Namun ikan apa yang lebih subur kalau diguyur air hangat
terus menerus, dan ikan apa yang justru lemas atau mati, dia tak
tahu.
Selain air laut sebagai pendingin instalasi, proyek itu juga
menyedot air tanah dari empat sumur bor untuk konsumsi
PLTU, plus kebutuhan air minum warga proyek. Keempat sumur itu
menghasilkan 4 x 800 gallon per menit, atau 1,15 juga gallon
sehari. Untunglah ketika PLTU yang total menghasilkan 37,5 Mega
Watt listrik tak rakus air, sebab uap yang sudah dipakai
didinginkan lagi dan disalurkan kembali ke dalam ketel (boiler).
Kerugian hanya 5-10%. Sedang konsumsi air minum, cuci dan mandi
bagi para warga proyek diperhitungkan hanya 0,5 gallon per orang
sehari.
Jadi 3000 pekerja lepas dan tetap di proyek itu hanya
menghabiskan 1500 gallon sehari. Jurnlah itu akan ciut menjadi
250 gallon sehari, setelah tahap konstruksi selesai seluruhnya.
Maka bahaya kehabisan air tawar tak begitu besar, meskipun di
dekat Bontang tak ada sungai atau danau yang bisa disadap
airnya. Juga bahaya amblesnya tanah karena penyedotan air tanah
secara besarbesaran - seperti yang banyak ditemui di kota-kota
metropolitan - tak mengganggu benak para perencana proyek.
Sosial: Tak Terasa
Ditinjau dari sudut sosial, manfaat kehadiran proyek raksasa itu
tak begitu terasa oleh penduduk sekitarnya. Kecuali oleh
segelintir pramuria dari Jawa Timur dan Manado di kampung
terdekat Brebes, serta majikannya dan pengusaha hiburan dan
jasajasa lain di Bontang.
Pasir urukan diimpor dari Donggala, Sulteng dan pulau Karimun,
Riau. Seluruh bahan makanan didatangkan oleh kontraktor catering
PT Harapan Insani dari Jawa dan Banjarmasin.
Gaji para pekerja kasar yang sangat rendah - sekitar Rp 35 ribu
sebulan - juga tak merupakan sumber daya beli yang kuat untuk
menarik para pengusaha barang kelontong. Dan sementara para
nelayan Bugis-Makasar yang sudah 2-3 generasi menetap di sana
digerogoti daerah operasinya oleh tanker LNG dan wabah air panas
mereka toh juga tak bisa ikut menikmati air minum listrik atau
bahan bakar bersih yang dihasilkan proyek itu. Di sanalah mereka
berdiri: menonton satu proyek raksasa, yang begitu vital artinya
bagi konsumen listrik, gas, dan baja di Jepang - sebuah negeri
yang hanya berjarak 3 hari pelayaran dengan tanker LNG dari
Bontang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini