HAMLET
naskah: W. Shakespeare
sutradara: Rendra
produksi: Bengkel Teater
***
"Batu penghalang terbesar dalam profesi kita adalah peran
Hamlet"
- K. Stanilavsky, 10 Agustus 1938
***
KITA mungkin akan kehilangan aktor di pentas kita, 10 tahun
mendatang. Teater kita dewasa ini, terutama yang dipraktekkan
oleh sutradara-sutradara muda, atas nama keyakinan ataupun atas
nama kebingungan, bukanlah teater untuk seni peran. Di pentas,
yang banyak kita saksikan adalah kelompok-kelompok manusia,
dalam gerak, dalam komposisi, dalam paduan suara - tapi jarang
sekali nampak ada seseorang yang memerankan satu tokoh dengan
intensitas yang cukup. Tentu saja ini soal "teater sutradara",
di mana aktor bisa muncul hanya bila perlu. Atau di mana aktor
lahir hanya karena kebetulan.
Memang, kita tak usah berkeberatan sama sekali dengan semua itu.
Mungkin tak akan terjadi apa-apa bila aktor tak hadir lagi. Tapi
toh menyegarhn juga untuk melihat di Teater Tertutup TIM 12 dan
13. Desember yang lalu Rendra mempertunjukkan sesuatu: bahwa
seni peran masih bisa penting, malah masih bisa berdiri sendiri,
masih bisa menggetarkan seperti sebuah puisi bagus atau novel
besar atau karya seni rupa yang menyentuh hati. Rendra telah
berhasil melintasi "batu penghalang terbesar" dalam profesi
seorang teater--jika kita masih percaya kepada Stanilavsky. Ia
memainkan Hamlet dengan mempesona.
Wittenberg
Hamlet Rendra jelas bukan Hamlet Laurence Olivier. Pada dasarnya
Hamlet ini masih serupa dengan yang ditampilkannya dalam Teater
Terbuka di TIM akhir April 1971. Hamletnya tetap lincah,
cerdik, nakal dan berapi-api.
Memang, Rendra nampak agak terlalu berumur untuk menjadi seorang
pangeran yang baru pulang dari universitas Wittenberg, dan
barangkali karena-itu Hamletnya kali ini tampak lebih matang dan
arif, juga dalam sarkasmenya.
Tapi pada dasarnya semangat Rendra dalam menokohkan Hamlet
bukanlah semangat "orang dari Utara", untuk meminjam istilah
Turgenev yang membandingkan Hamlet dengan Don Quixote. Padanya
tak terasa semangat renungan dan analisa, semangat yang berat
dan muram, yang tak bertopang pada harmoni serta warna cerah.
Semangat Rendra mungkin lebih dekat ke "orang dari Selatan",
seperti Cervantes dari Spanyol, lebih riang dan ringan - hingga
kita tak bisa membayangkan Hamlet yang gemuk, seperti yang
dinyatakan sang ibu dalam naskah.
Dalam hal itulah adegan Hamlet dengan penggali kubur dan
tengkorak Yorrick menurut versi Rendra bukanlah adegan di mana
kata-kata filsafat memberati udara. Seorang aktor lain mungkin
cenderung untuk mengangkat tengkorak itu dari tanah lalu tegak
di atas kubur sambil mengeluarkan kata-kata yang sarat, tentang
kefanaan hidup. Tapi Rendra duduk di tepi dengan enakan ia
seperti bergurau bermain boneka, seraya mengucapkan
kata-katanya. Ini bukan saja menyebabkan ia selaras dengan si
penggali kubur yang bernyanyi dan ngomong tentang kematian. Ini
juga menunjukkan bahwa Hamletnya telah selesai dengan suatu
pergulatan batin, dan siap hidup dengan rasa ironi.
Jongkok
Rasa ironi itulah yang agaknya sering terlupakan jika kita
mengingat Hamlet. Mungkin karena kita juga ikut-ikut melihat
dengan sikap "orang dari Utara". Kita mungkin terbiasa
membayangkan Hamlet dalam percakapan-sendiri (soliloquy) sebagai
seorang pangeran perenung yang tegak bersendiri agak jauh di
bagian atas kastil atau berjalan pelan-oelan di tepi pantai
sementara ombak berdebur dan berbuih. Padahal Rendra menampilkan
adegan itu dengan jongkok dan kemudian duduk melipatkan kaki.
Hamlet di sini memang dirisaukan oleh bimbang, oleh ketakutan
akan mati dan ketakutan untuk tidak berbuat apa-apa yang mesti.
Tapi ia tak bergerak selaga seorang Inggeris atau Denmark,
dengan postur yang bert dan stabil, manusia dalam cuaca ke uh.
Barangkali ini memang Hamlet seorang Jawa--bukan saja karena
kostum gerak tubuh para pemain dan iringan gamelan. Seperti juga
tampak pada Arifin C. Noer ada kepekaan di sini bahwa seni peran
adalah juga suatu pengucapan kebudayaan.
Tapi bila pun Hamlet kali ini adalah Hamlet Jawa, yang tampil di
sini aalah Jawa aristokrat, bukan Jawa "urakan" lagi Pementasan
kali ini berbeda dengan pementasan 1971. Bukan saja karena waktu
itu raja memakai jas hitam dan Hamlet memakai sweater, tapi
karena pementasan kali ini lebih mengacuhkan suatu gaya. Ada
kerapihan, warna apik dan sikap tampan - yang semuanya banyak
dibantu oleh satu regu pemain yang jauh lebih baik ketimbang
lima tahun yang lalu. Hamlet 1976 Rendra tetap pembandel, tapi
ia bukan lagi pembandel terhadap kehalusan istana, melainkan
justru terhadap kekikukannya. Atau - kalau tidak--terhadap
palsunya kehalusan yang nampak. Suasana Hamlet kali ini bukanlah
suasana sebuah lakon populis.
Radikal
Rendra karenanya tampak tak terlalu mencari efek ketawa dan
teriakan setuju penonton. Ia memang masih sempat dengan hal itu:
misalnya dengan menambah beberapa kalimatnya sendiri (yang
menyindir keadaan sekarang) waktu ia berbicara dengan Polonius.
Tapi pada umumnya, seperti sudah mulai tampak sejak ia
mementaskan lakon-lakon Sophocles, ia condong kembali kepada
dasar komunikasi yang lain. Yakni komunikasi "getaran" dalam
keindahan, Suatu penghayatan bersama, antara sang sutradara,
aktor dan penonton. Komunikasi inilah sebenarnya yang paling
radikal dalam kesenian, dan juga yang tanpa pretensi.
Sayang bahwa komunikasi seperti itu selama ini agak
diterlantarkan. Atas nama "urakan", protes, keberanian serta
kejutan kontemporer, atas nama kerakyatan, kejujuran,
spontanitas (yang sebenarnya memang penting), pelbagai
pementasan telah menyebabkan kita terbiasa untuk mencari ketawa
saja. Dalam pementasan Hamlet kali ini pun penonton masih banyak
yang cekikikan, pada adegan yang sebenarnya lebih mengharukan
ketimbang lucu. Seakan-akan dari setiap pentas Rendra orang
menuntut diberi banyolan, sindiran, bahkan pidato. Seakan-akan
kelaparan kita kini hanya itu.
Atau mungkin kita belum cukup marah dan geli berada dalam
situasi seperti kini?
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini