Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Hamlet dan penonton yang cekikikan

Pementasan rendra dengan bengkel teaternya di teater tertutup tim menampilkan karya w shakespeare yang berjudul "hamlet". dalam pementasan rendra banyak mengundang penonton untuk tertawa. (ter)

25 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMLET naskah: W. Shakespeare sutradara: Rendra produksi: Bengkel Teater *** "Batu penghalang terbesar dalam profesi kita adalah peran Hamlet" - K. Stanilavsky, 10 Agustus 1938 *** KITA mungkin akan kehilangan aktor di pentas kita, 10 tahun mendatang. Teater kita dewasa ini, terutama yang dipraktekkan oleh sutradara-sutradara muda, atas nama keyakinan ataupun atas nama kebingungan, bukanlah teater untuk seni peran. Di pentas, yang banyak kita saksikan adalah kelompok-kelompok manusia, dalam gerak, dalam komposisi, dalam paduan suara - tapi jarang sekali nampak ada seseorang yang memerankan satu tokoh dengan intensitas yang cukup. Tentu saja ini soal "teater sutradara", di mana aktor bisa muncul hanya bila perlu. Atau di mana aktor lahir hanya karena kebetulan. Memang, kita tak usah berkeberatan sama sekali dengan semua itu. Mungkin tak akan terjadi apa-apa bila aktor tak hadir lagi. Tapi toh menyegarhn juga untuk melihat di Teater Tertutup TIM 12 dan 13. Desember yang lalu Rendra mempertunjukkan sesuatu: bahwa seni peran masih bisa penting, malah masih bisa berdiri sendiri, masih bisa menggetarkan seperti sebuah puisi bagus atau novel besar atau karya seni rupa yang menyentuh hati. Rendra telah berhasil melintasi "batu penghalang terbesar" dalam profesi seorang teater--jika kita masih percaya kepada Stanilavsky. Ia memainkan Hamlet dengan mempesona. Wittenberg Hamlet Rendra jelas bukan Hamlet Laurence Olivier. Pada dasarnya Hamlet ini masih serupa dengan yang ditampilkannya dalam Teater Terbuka di TIM akhir April 1971. Hamletnya tetap lincah, cerdik, nakal dan berapi-api. Memang, Rendra nampak agak terlalu berumur untuk menjadi seorang pangeran yang baru pulang dari universitas Wittenberg, dan barangkali karena-itu Hamletnya kali ini tampak lebih matang dan arif, juga dalam sarkasmenya. Tapi pada dasarnya semangat Rendra dalam menokohkan Hamlet bukanlah semangat "orang dari Utara", untuk meminjam istilah Turgenev yang membandingkan Hamlet dengan Don Quixote. Padanya tak terasa semangat renungan dan analisa, semangat yang berat dan muram, yang tak bertopang pada harmoni serta warna cerah. Semangat Rendra mungkin lebih dekat ke "orang dari Selatan", seperti Cervantes dari Spanyol, lebih riang dan ringan - hingga kita tak bisa membayangkan Hamlet yang gemuk, seperti yang dinyatakan sang ibu dalam naskah. Dalam hal itulah adegan Hamlet dengan penggali kubur dan tengkorak Yorrick menurut versi Rendra bukanlah adegan di mana kata-kata filsafat memberati udara. Seorang aktor lain mungkin cenderung untuk mengangkat tengkorak itu dari tanah lalu tegak di atas kubur sambil mengeluarkan kata-kata yang sarat, tentang kefanaan hidup. Tapi Rendra duduk di tepi dengan enakan ia seperti bergurau bermain boneka, seraya mengucapkan kata-katanya. Ini bukan saja menyebabkan ia selaras dengan si penggali kubur yang bernyanyi dan ngomong tentang kematian. Ini juga menunjukkan bahwa Hamletnya telah selesai dengan suatu pergulatan batin, dan siap hidup dengan rasa ironi. Jongkok Rasa ironi itulah yang agaknya sering terlupakan jika kita mengingat Hamlet. Mungkin karena kita juga ikut-ikut melihat dengan sikap "orang dari Utara". Kita mungkin terbiasa membayangkan Hamlet dalam percakapan-sendiri (soliloquy) sebagai seorang pangeran perenung yang tegak bersendiri agak jauh di bagian atas kastil atau berjalan pelan-oelan di tepi pantai sementara ombak berdebur dan berbuih. Padahal Rendra menampilkan adegan itu dengan jongkok dan kemudian duduk melipatkan kaki. Hamlet di sini memang dirisaukan oleh bimbang, oleh ketakutan akan mati dan ketakutan untuk tidak berbuat apa-apa yang mesti. Tapi ia tak bergerak selaga seorang Inggeris atau Denmark, dengan postur yang bert dan stabil, manusia dalam cuaca ke uh. Barangkali ini memang Hamlet seorang Jawa--bukan saja karena kostum gerak tubuh para pemain dan iringan gamelan. Seperti juga tampak pada Arifin C. Noer ada kepekaan di sini bahwa seni peran adalah juga suatu pengucapan kebudayaan. Tapi bila pun Hamlet kali ini adalah Hamlet Jawa, yang tampil di sini aalah Jawa aristokrat, bukan Jawa "urakan" lagi Pementasan kali ini berbeda dengan pementasan 1971. Bukan saja karena waktu itu raja memakai jas hitam dan Hamlet memakai sweater, tapi karena pementasan kali ini lebih mengacuhkan suatu gaya. Ada kerapihan, warna apik dan sikap tampan - yang semuanya banyak dibantu oleh satu regu pemain yang jauh lebih baik ketimbang lima tahun yang lalu. Hamlet 1976 Rendra tetap pembandel, tapi ia bukan lagi pembandel terhadap kehalusan istana, melainkan justru terhadap kekikukannya. Atau - kalau tidak--terhadap palsunya kehalusan yang nampak. Suasana Hamlet kali ini bukanlah suasana sebuah lakon populis. Radikal Rendra karenanya tampak tak terlalu mencari efek ketawa dan teriakan setuju penonton. Ia memang masih sempat dengan hal itu: misalnya dengan menambah beberapa kalimatnya sendiri (yang menyindir keadaan sekarang) waktu ia berbicara dengan Polonius. Tapi pada umumnya, seperti sudah mulai tampak sejak ia mementaskan lakon-lakon Sophocles, ia condong kembali kepada dasar komunikasi yang lain. Yakni komunikasi "getaran" dalam keindahan, Suatu penghayatan bersama, antara sang sutradara, aktor dan penonton. Komunikasi inilah sebenarnya yang paling radikal dalam kesenian, dan juga yang tanpa pretensi. Sayang bahwa komunikasi seperti itu selama ini agak diterlantarkan. Atas nama "urakan", protes, keberanian serta kejutan kontemporer, atas nama kerakyatan, kejujuran, spontanitas (yang sebenarnya memang penting), pelbagai pementasan telah menyebabkan kita terbiasa untuk mencari ketawa saja. Dalam pementasan Hamlet kali ini pun penonton masih banyak yang cekikikan, pada adegan yang sebenarnya lebih mengharukan ketimbang lucu. Seakan-akan dari setiap pentas Rendra orang menuntut diberi banyolan, sindiran, bahkan pidato. Seakan-akan kelaparan kita kini hanya itu. Atau mungkin kita belum cukup marah dan geli berada dalam situasi seperti kini? Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus