Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Hamlet, untung tak hujan

Sanggar budaya, banjarmasin, yang dipimpin oleh adjim arijadi berturut-turut mementaskan hamlet dan bulan mas di jendela kakek. pementasan hamlet dinilai cukup berhasil. (ter)

31 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELAKANGAN ini kegiatan drama di Banjarmasin lumayan menggembirakan. Bekerja sama dengan ustaz Rafie Hamdi, ulama muda pemimpin Kursus Dakwah Praktis (KDP), beberapa waktu berselang Adjim Arijadi dedengkot Sanggar Budaya mementaskan dramanya Khalifah & Fatimah. Cukup memukau penonton -- yah malah ada yang merogoh sapu tangan menyeka air mata segala. Itu ulama muda yang juga anggota pengurus Majelis Ulama Kalsel, rupanya juga cukup trampil berakting di pentas. Selesai pertunjukan, sang kiai tangannya diguncang-guncang beberapa seniman di sana. KH Gt. Abd. Muis, kakak almarhum pelukis Solihin, eks anggota Parlemen RI tahun 50-an yang kini aktif di bidang dakwah, menyambutnya dengan hangat dalam sebuah tulisan di mingguan Pembaharu Banjarmasin. Adjim pun menggaet mahasiswi IAIN Banjarmasin untuk naik ke pentas. Dalam rangka sewindu usia Sanggar Budaya, Adjim juga mementaskan dua naskah drama. Di penghujung bulan Desember kemarin, gedung Sasana Penuda Banjarmasin kecipratan drama klasik Hamlet Shakespeare. Pun Adjim tak lupa menyelipkan karyanya sendiri Bulan Mas Di Jendela Kakek (lihat box). Khusus untuk Hamlet, produksi ke-192 Sanggar Budaya, menurut Adjim persiapan telah dimulai sejak 1973 dan tiga bulan masa latihan. "Karena ini drama berat dan beragam karakter yang harus dijawab anak-anak sanggar kami", capnya kepada pembantu TEMPO Rahmat Marlim. Adjim malam itu sekaligus berperan sebagai Hamlet di babak kedua dan seterusnya. Koran Banjarmasin Post, lima hari sebelum pementasan, menulis artikel khusus "Drama Hamlet & kalangan elite di Banjarmasin". Koran itu menyangsikan kemampuan Adjim: "atas keberanian sang sutradara menaruhkan wajah-wajah baru Sanggar Budaya dalam peranan-peranan berat di samping adanya harapan pada aktor-aktris senior Sanggar Budaya-nya". Koran ini pun menyangsikan penonton "khususnya bagi kalangan intelektuil". Hal ini disebabkan "masyarakat kotamadya. (Banjarmasin) yang pada umumnya lebih cendrung pada hiburan-hiburan ringan sejenis pop dan yang statis tradisionil". Alhasil koran itu menyimpulkan, pementasan Hamlet merupakan kompetisi antara yang ditonton dan yang menonton. Abah, abah! Masuk ke ruangan Sasana Pemuda, malam Senin yang untung tidak diguyur hujan, kelihatannya tak tampak hidung babe-babe dan mami-mami penggede. Ada terlihat sebiji dua pengusaha dan dosen seperti Toyib dari Deltomed dan drs. Lambut. Dari Dewan Kesenian Daerah Kalsel sendiri tak ada yang hadir, kecuali Dehand Rajun ketua seksi kesenian tradisionil. Horman Helena ketua seksi seni drama, entah di mana malam itu. "Padahal mereka kita kirimi kartu undangan VIP", keluh Adjim. Untungnya akhirnya kursi-kursi penuh uga oleh penonton yang pukul rata ngin menyaksikan Hamlet --kebanyakan pemuda, pelajar dan mahasiswa. Tapi juga ibu-ibu yang rajin membawa bayinya sampai merengek dan tiduran di paha papi atau mami. Adjim agaknya banyak juga mengedarkan kartu undangan gratis, sehingga tertolong juga langkanya penonton. Tidak seperti pementasan malam kedua waktu Bulan Mas yang tanpa bulan, sedang langit marah memberondong hujan. Pukul 2.15 jam, sang raja dan ratu Demnark diiringi para inang dan pejabat istana menuju kursi singgasana dengan anggun. Applaus penonton bersipongang. Pertunjukan berakhir jam 1.20 lewat tengah malam, setelah adegan duel seru Hamlet dan Laeres dengan pedang anggarnya. Begitu seru adegan ini tampaknya, sehingga seorang bocah yang berteriak giris: "Abah, abah!" (ayah, ayah!). Ada terasa bagian-bagian yang dipersingkat dialognya dan ada yang dipotong, karena malam nyaris larut. Ophelia, yang diperankan oleh Helda ES si mahasiswi IAIN Antasari, selesai pertunjukan turun panggung. Tergesa menjabat puas anggota familinya yang menontonnya di bawah. Adjim banyak juga menerima jabat tangan selamat. "Menurut buku yang saya baca, Hamlet mestinya mati di kursi, bukan di lantai", ujar seseorang sehabis menjabat tangan Adjim. Jawab Adjim: Terima kasih". Yang belum berakhir adalah sisa sewa gedung Sasana Pemuda, yang menurut Adjim "cuma Rp 12.500 dari sewa Rp 35.000 dua malam. "Untuk ongkos cetak kartu undangan, Sanggar menggaet iklan rumah makan Padang Ko Bana dan percetakan Panpe yang melengket di kartu undangan. Adjim pun mengeluh tentang seretnya keluar izin pertunjukan dari perut Balaikota. 'Mungkin mereka mengira pertunjukan kita komersiil. Padahal tidak lebih dari mencari kepuasan semata, idealisme cuma. Tanpa idealisme, Sanggar sudah lama buyar". Bagus, Djim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus