BELAKANGAN ini kegiatan drama di Banjarmasin lumayan
menggembirakan. Bekerja sama dengan ustaz Rafie Hamdi, ulama
muda pemimpin Kursus Dakwah Praktis (KDP), beberapa waktu
berselang Adjim Arijadi dedengkot Sanggar Budaya mementaskan
dramanya Khalifah & Fatimah. Cukup memukau penonton -- yah malah
ada yang merogoh sapu tangan menyeka air mata segala. Itu ulama
muda yang juga anggota pengurus Majelis Ulama Kalsel, rupanya
juga cukup trampil berakting di pentas. Selesai pertunjukan,
sang kiai tangannya diguncang-guncang beberapa seniman di sana.
KH Gt. Abd. Muis, kakak almarhum pelukis Solihin, eks anggota
Parlemen RI tahun 50-an yang kini aktif di bidang dakwah,
menyambutnya dengan hangat dalam sebuah tulisan di mingguan
Pembaharu Banjarmasin. Adjim pun menggaet mahasiswi IAIN
Banjarmasin untuk naik ke pentas.
Dalam rangka sewindu usia Sanggar Budaya, Adjim juga mementaskan
dua naskah drama. Di penghujung bulan Desember kemarin, gedung
Sasana Penuda Banjarmasin kecipratan drama klasik Hamlet
Shakespeare. Pun Adjim tak lupa menyelipkan karyanya sendiri
Bulan Mas Di Jendela Kakek (lihat box). Khusus untuk Hamlet,
produksi ke-192 Sanggar Budaya, menurut Adjim persiapan telah
dimulai sejak 1973 dan tiga bulan masa latihan. "Karena ini
drama berat dan beragam karakter yang harus dijawab anak-anak
sanggar kami", capnya kepada pembantu TEMPO Rahmat Marlim. Adjim
malam itu sekaligus berperan sebagai Hamlet di babak kedua dan
seterusnya.
Koran Banjarmasin Post, lima hari sebelum pementasan, menulis
artikel khusus "Drama Hamlet & kalangan elite di Banjarmasin".
Koran itu menyangsikan kemampuan Adjim: "atas keberanian sang
sutradara menaruhkan wajah-wajah baru Sanggar Budaya dalam
peranan-peranan berat di samping adanya harapan pada
aktor-aktris senior Sanggar Budaya-nya". Koran ini pun
menyangsikan penonton "khususnya bagi kalangan intelektuil". Hal
ini disebabkan "masyarakat kotamadya. (Banjarmasin) yang pada
umumnya lebih cendrung pada hiburan-hiburan ringan sejenis pop
dan yang statis tradisionil". Alhasil koran itu menyimpulkan,
pementasan Hamlet merupakan kompetisi antara yang ditonton dan
yang menonton.
Abah, abah!
Masuk ke ruangan Sasana Pemuda, malam Senin yang untung tidak
diguyur hujan, kelihatannya tak tampak hidung babe-babe dan
mami-mami penggede. Ada terlihat sebiji dua pengusaha dan dosen
seperti Toyib dari Deltomed dan drs. Lambut. Dari Dewan Kesenian
Daerah Kalsel sendiri tak ada yang hadir, kecuali Dehand Rajun
ketua seksi kesenian tradisionil. Horman Helena ketua seksi seni
drama, entah di mana malam itu. "Padahal mereka kita kirimi
kartu undangan VIP", keluh Adjim. Untungnya akhirnya kursi-kursi
penuh uga oleh penonton yang pukul rata ngin menyaksikan
Hamlet --kebanyakan pemuda, pelajar dan mahasiswa. Tapi juga
ibu-ibu yang rajin membawa bayinya sampai merengek dan tiduran
di paha papi atau mami. Adjim agaknya banyak juga mengedarkan
kartu undangan gratis, sehingga tertolong juga langkanya
penonton. Tidak seperti pementasan malam kedua waktu Bulan Mas
yang tanpa bulan, sedang langit marah memberondong hujan.
Pukul 2.15 jam, sang raja dan ratu Demnark diiringi para inang
dan pejabat istana menuju kursi singgasana dengan anggun.
Applaus penonton bersipongang. Pertunjukan berakhir jam 1.20
lewat tengah malam, setelah adegan duel seru Hamlet dan Laeres
dengan pedang anggarnya. Begitu seru adegan ini tampaknya,
sehingga seorang bocah yang berteriak giris: "Abah, abah!"
(ayah, ayah!). Ada terasa bagian-bagian yang dipersingkat
dialognya dan ada yang dipotong, karena malam nyaris larut.
Ophelia, yang diperankan oleh Helda ES si mahasiswi IAIN
Antasari, selesai pertunjukan turun panggung. Tergesa menjabat
puas anggota familinya yang menontonnya di bawah. Adjim banyak
juga menerima jabat tangan selamat. "Menurut buku yang saya
baca, Hamlet mestinya mati di kursi, bukan di lantai", ujar
seseorang sehabis menjabat tangan Adjim. Jawab Adjim: Terima
kasih".
Yang belum berakhir adalah sisa sewa gedung Sasana Pemuda, yang
menurut Adjim "cuma Rp 12.500 dari sewa Rp 35.000 dua malam.
"Untuk ongkos cetak kartu undangan, Sanggar menggaet iklan rumah
makan Padang Ko Bana dan percetakan Panpe yang melengket di
kartu undangan. Adjim pun mengeluh tentang seretnya keluar izin
pertunjukan dari perut Balaikota. 'Mungkin mereka mengira
pertunjukan kita komersiil. Padahal tidak lebih dari mencari
kepuasan semata, idealisme cuma. Tanpa idealisme, Sanggar sudah
lama buyar". Bagus, Djim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini