Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bulan di jendela adjim

Bulan emas di jendela kakek karya adjim arijadi di pentaskan di sasana pemuda banjarmasin. ceritanya mirip the dead traph karya henry h. moenro. para pelaku kurang dapat membawakan lakon. (ter)

31 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DISEBUT sebagai produksi ke-193, Bulan Emas Di Jendela Kakek karya Adjim Arijadi nyaris identik dengan The Dead Traph milik Hendrik H. Moenro atau Munder Mistery-nya Coen Swi. Kakek sebagai sebab sekunder, dengan hartanya sebagai soal primer, mewarnai tontonan di Sasana Pemuda Banjarmasin akhir Desember itu. Tapi karena tokoh Abdullah (Rusdie) yang keluaran pesantren terlalu sok moralis, maka naskah yang di-panggung-kan itu memang terasa hasil gapaian tangan Adjim. Abdullah tentu tidak bisa dikambing-hitamkan. Sebab pemainnya telah menyelusuri instruksi yang sungguh sayang tidak dibarengi kreasi pribadi. Akibatnya, pementasan semalam sebelum tutup tahun itu hanya sebuah lakon yang tidak lebih untuk mencari bentuk. Setidaknya Sanggar Budaya yang dimotori Adjim berusaha memproklamirkan diri: "Inilah kami!". Usaha ke arah tasmiah itu juga kelihatan pada Hamlet (versi Adjim) di malam sebelumnya -- di mana adegan minum racun difokuskan sebagai titik sentral pada klimak penutup. Tapi adakah gayung bersambut? Melihat situasi malam itu, sulit mengatakan bahwa komunikasi antara Bulan Emas dan penonton berjalan rapi. Bahkan ilustrasi musik yang berbau magi sebagai usaha menciptakan iklim yang fantastis, tidak berhasil membangun lakon yang berarti. Lihatlah Badrun (Maryono) dan Rusman (Kasmi Eff) misalnya. Dialog dan gerak kedua tokoh bajingan hutan pegunungan Meratus dan bandit kota itu, terasa sangat dipaksakan. Kekakuan itu juga tampak pada Abdullah, di samping vokalnya yang gamat. Si Jonah, babu (Isda Achmad) memang sedikit agak lumayan dalam sikap, tapi tidak pada segi dialog. Satu-satunya pemain yang berhasil menemukan bentuknya hanyalah sang kakek (M. Zaini) doang. Minimal ia telah berusaha memenuhi "perintah" di balik layar. Dan hal ini tidak tampak pada 4 pemain lainnya yang dipercayai Adjim menghidupkan naskahnya. Adalah tiga orang cucu sang kakek, plus si Jonah yang babu, sama-sama melirik harta kakek. Harapan dan doa kiranya sudah dipanjatkan agar kakek segera mati. Tapi apa lacur, kakek panjang umur. Gelagat ini mengundang pemikiran jahat di benak Rusman dan Badrun untuk memilih jalan pintas membunuh kakek. Abdullah, yang bungsu, kurang setuju -- dia lebih cenderung membiarkan kakek mati ditelan usia. Minus Abdullah, niat jahat tetap akan dilangsungkan oleh Rusman dan Badrun. Tapi apa akal? Di samping mata Abdullah tidak pernah lepas, juga mulut -- bahkan kalau perlu mata dan nyawa si Jonah musti dikunci. Di sinilah jalan cerita terasa berbelit. Celakanya, sementara Badrun dan Rusman panik menyusun rencana, kakek yang pikun serta pelitnya setengah mampus diam-diam mewariskan harta kekayaannya pada si Jonah yang sama sekali tidak ada hubungan darah. Itu dilakukannya sesaat sebelum membunuh diri dengan racun. Tentu saja ulah sang kakek menambah murka Badrun yang perampok itu. Karenanya tidak hanya Kakek yang harus dibunuh tapi si Jonah juga. Lalu sulpaya Abdullah kebagian peran tambahan, dia bercintaan dengan Jonah. Meleng mata Abdullah, Badrun mengganyang Jonah: diperkosa terus dibunuh. Di bagian lain, Rusman tanpa curiga meminum susu yang ternyata sudah dicampur racun oleh si Kakek. Badrun juga belum puas. Setelah membunuh Jonah, ia menghujankan pisaunya pula ke tubuh kakek yang terbaring di ranjang (padahal sudah mati). Barangkali karena niatnya terbayar, Badrun pun mereguk susu yang beracun tanpa ia sadari. Itulah klimaks cerita yang berakhir pada kematian dan kematian, terkecuali Abdullah yang melongo. Sebetulnya materi kisah sederhana saja. Lebih sederhana karena kurangnya dukungan para pelaku, yang berarti kurangnya gapaian tangan Adjim. Hanya satu hal pantas dicatat pada kesenimanan Adjim: ia begitu berani menggantungkan perjalanan hidupnya di seputar teater. Pada kesunyian penonton drama di daerah itu. Syachran R

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus