DISEBUT sebagai produksi ke-193, Bulan Emas Di Jendela Kakek
karya Adjim Arijadi nyaris identik dengan The Dead Traph milik
Hendrik H. Moenro atau Munder Mistery-nya Coen Swi. Kakek
sebagai sebab sekunder, dengan hartanya sebagai soal primer,
mewarnai tontonan di Sasana Pemuda Banjarmasin akhir Desember
itu. Tapi karena tokoh Abdullah (Rusdie) yang keluaran pesantren
terlalu sok moralis, maka naskah yang di-panggung-kan itu memang
terasa hasil gapaian tangan Adjim. Abdullah tentu tidak bisa
dikambing-hitamkan. Sebab pemainnya telah menyelusuri instruksi
yang sungguh sayang tidak dibarengi kreasi pribadi. Akibatnya,
pementasan semalam sebelum tutup tahun itu hanya sebuah lakon
yang tidak lebih untuk mencari bentuk. Setidaknya Sanggar Budaya
yang dimotori Adjim berusaha memproklamirkan diri: "Inilah
kami!".
Usaha ke arah tasmiah itu juga kelihatan pada Hamlet (versi
Adjim) di malam sebelumnya -- di mana adegan minum racun
difokuskan sebagai titik sentral pada klimak penutup. Tapi
adakah gayung bersambut? Melihat situasi malam itu, sulit
mengatakan bahwa komunikasi antara Bulan Emas dan penonton
berjalan rapi. Bahkan ilustrasi musik yang berbau magi sebagai
usaha menciptakan iklim yang fantastis, tidak berhasil
membangun lakon yang berarti.
Lihatlah Badrun (Maryono) dan Rusman (Kasmi Eff) misalnya.
Dialog dan gerak kedua tokoh bajingan hutan pegunungan Meratus
dan bandit kota itu, terasa sangat dipaksakan. Kekakuan itu juga
tampak pada Abdullah, di samping vokalnya yang gamat. Si Jonah,
babu (Isda Achmad) memang sedikit agak lumayan dalam sikap, tapi
tidak pada segi dialog. Satu-satunya pemain yang berhasil
menemukan bentuknya hanyalah sang kakek (M. Zaini) doang.
Minimal ia telah berusaha memenuhi "perintah" di balik layar.
Dan hal ini tidak tampak pada 4 pemain lainnya yang dipercayai
Adjim menghidupkan naskahnya.
Adalah tiga orang cucu sang kakek, plus si Jonah yang babu,
sama-sama melirik harta kakek. Harapan dan doa kiranya sudah
dipanjatkan agar kakek segera mati. Tapi apa lacur, kakek
panjang umur. Gelagat ini mengundang pemikiran jahat di benak
Rusman dan Badrun untuk memilih jalan pintas membunuh kakek.
Abdullah, yang bungsu, kurang setuju -- dia lebih cenderung
membiarkan kakek mati ditelan usia. Minus Abdullah, niat jahat
tetap akan dilangsungkan oleh Rusman dan Badrun. Tapi apa akal?
Di samping mata Abdullah tidak pernah lepas, juga mulut --
bahkan kalau perlu mata dan nyawa si Jonah musti dikunci. Di
sinilah jalan cerita terasa berbelit.
Celakanya, sementara Badrun dan Rusman panik menyusun rencana,
kakek yang pikun serta pelitnya setengah mampus diam-diam
mewariskan harta kekayaannya pada si Jonah yang sama sekali
tidak ada hubungan darah. Itu dilakukannya sesaat sebelum
membunuh diri dengan racun. Tentu saja ulah sang kakek menambah
murka Badrun yang perampok itu. Karenanya tidak hanya Kakek
yang harus dibunuh tapi si Jonah juga. Lalu sulpaya Abdullah
kebagian peran tambahan, dia bercintaan dengan Jonah. Meleng
mata Abdullah, Badrun mengganyang Jonah: diperkosa terus
dibunuh.
Di bagian lain, Rusman tanpa curiga meminum susu yang ternyata
sudah dicampur racun oleh si Kakek. Badrun juga belum puas.
Setelah membunuh Jonah, ia menghujankan pisaunya pula ke tubuh
kakek yang terbaring di ranjang (padahal sudah mati). Barangkali
karena niatnya terbayar, Badrun pun mereguk susu yang beracun
tanpa ia sadari. Itulah klimaks cerita yang berakhir pada
kematian dan kematian, terkecuali Abdullah yang melongo.
Sebetulnya materi kisah sederhana saja. Lebih sederhana karena
kurangnya dukungan para pelaku, yang berarti kurangnya gapaian
tangan Adjim. Hanya satu hal pantas dicatat pada kesenimanan
Adjim: ia begitu berani menggantungkan perjalanan hidupnya di
seputar teater. Pada kesunyian penonton drama di daerah itu.
Syachran R
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini