Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Hari-hari akhir seorang wartawan

Wartawati gadis rasid meninggal dalam usia 65 th. banyak generasi muda yang tidak mengenal dia. karirnya antara lain, sebagai wartawan sinar baru, siasat dan pedoman. meninggalkan seorang putri.

7 Mei 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GADIS Rasid tidak mau disebut wartawati. Profesi wartawan, katanya, tidak mengenal diskriminasi antara lelaki dan perempuan. Sikap itu memang tampak dalam karier jurnalistiknya. Saya bertemu Gadis pertama kali di Semarang, 1940. Ia pelajar Hogere Burger School (HBS), dan saya siswa Algemene Middelbare School (AMS), Yogyakarta. Kami berjumpa ketika menonton pertandingan bola keranjang antara pelajarpelajar Batavia dan Semarang. Kesan saya tentang Gadis, waktu itu 17 tahun, tidak kaku, sportif, dan menyenangkan. Pada,zaman Fendudukan Jepang, kami sama-sama menjadi wartawan. Saya wartawan Asia Raya di Jakarta, Gadis pada koran Sinar Baru, yang dipimpin Parada Harahap dan A. Gaffar Ismail, di Semarang. Awal 1945 dia ke Jakarta. Kami bertemu lagi Februari 1946, tatkala saya menjadi wartawan Merdeka, kami sama-sama menghadiri pelantikan Mr. Icksan sebagai wali kota Republikein di Semarang. Pada 4 Januari 1947, waktu memulai penerbitan majalah politik dan kebudayaan Siasat, saya minta Gadis turut serta. Dalam redaksi ada Soedjatmoko, Sanjoto, Soedarpo Sastrosatomo, dan Abu Bakar Lubis. Semua orang itu pintar-pintar, sehingga saya sering susah memastikan kepemimpinan, walau formalnya saya pemimpin redaksi. Gadis lalu melontarkan tantangan-tantangan ke alamat saya. Karena saya melaksanakan filsafat Minang - yang di orang diiyakan, yang di ajak dilalukan pekerjaan di Siasat berjalan mulus. Dalam waktu singkat mingguan tabloid (12 halaman) ini mencapai oplah 12.000 lembar jumlah yang luar biasa buat ukuran zaman itu. Di Siasat itu saya melihat kemampuan Gadis sebagai wartawan. Dia merintis babakan baru dengan menulis apa yang dikatakan dalam buku teks: interview-features. Ia tidak tahu stenografi, dan bekerja tanpa tape recorder (yang, waktu itu memang belum ada). Ia hanya mengandaikan catatan dan kekuatan ingatan sendiri. Karena ia cerdas dan mempunyai wawasan luas - Gadis pernah menjadi mahasiswa Fakultas Sastra di Batavia - interview-features yang ditulisnya amat mengesankan. Gaya bahasanya khas, semacam staccato style, pendek-pendek, dan lugas. Tatkala pecah pemberontakan PKI di Madiun, 18 September 1948, Gadis berada di Yogyakarta. Ia meliput peristiwa itu ikut pasukan Siliwangi. Pengalamannya mengikuti operasi itu, lengkap dengan laporan tentang kekerasan dan kekejaman yang dihhatnya, dituangkannya dalam artikel seri di Siasat. Ia, katanya, sempat menemui darah membeku setebal 10 sentimeter lebih di lantai sebuah rumah desa. Darah itu adalah darah lawan-lawan politik PKI yang dibantai secara kejam oleh algojo-algojo partai itu. Dari tulisan itu tampil pula ketahanan jasmani yang dimiliki Gadis dalam melaksanakan tugas sebagai koresponden perang. Dari situ dapat dipahami mengapa dia tidak mau disebut wartawati. Ia memang wartawan dari ubun kepala hingga ujung kaki. Dengan bantuan Mr. Sumanang, harian Pedoman terbit di Jakarta. Gadis bersama saya, di koran itu, banyak menulis wartawarta politik. Waktu itu, 1949, di Den Haag tengah berlangsung Konperensi Meja Bundar (KMB) - perundingan Belanda-Indonesia. Ketika KMB berlangsung saya berada di Belanda. Setelah itu, saya berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar drama di Yale University atas biaya Yayasan Rockefeller. Selama di luar negeri sembilan bulan, Pedoman dipimpin Sanjoto. Gadis berada di Indonesia Timur. Pada waktu itulah ia berkenalan dengan Henk Rondonuwu Menteri Penerangan Negara Indonesia Timur (NIT). Mereka kemudian menikah, dan Gadis berhenti sebagai wartawan Pedoman. Tahun-tahun berlalu. Gadis dengan putri satu-satunya, Nana, kembali ke Jakarta. Ia bercerai dengan Henk. Ia lalu bekerja pada Kantor Penerangan PBB di Jakarta. Kemudian menjadi koresponden Nieuqee Rotterdamse Courant (NRC), aktif dalam organisasi Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) menulis biografi Maria Ulfah Subadio, yang berjudul Pembela Kaumnya, dan sesekali menulis karangan dalam surat kabar dan majalah Indonesia. Dia juga copy-writer pada Matari Advertising. Gadis meninggal bukan sebagai pensiunan, tetapi tetap sebagai wartawan. Dia jadi konsultan (dimulai November tahun lalu) pada majalah Liberty, Surabaya. Tiap hari bekeria dari pukul 8.00 sampai 16.30. Terkadang diteruskan di rumah - ia tinggal di rumah saudaranya, Nyonya Zakir, di Jalan Diponegoro 101 dan menulis sampai jauh malam. Toh, ia masih sempat jalan pagi atau sesekali berenang. Penderitaan yang membawa maut pada Gadis dimulai dengan sebuah luka kecil di kakinya. Pertengahan Maret lalu, ia ke Bandaneira menghadiri upacara peresmian pemugaran rumah Sutan Sjahrir - tokoh yang dikaguminya. Pada kunjungan itu, ketika melompat dari kapal ke dermaga, Gadis terjatuh. Kakinya luka, lalu demam. Gadis diterbangkan ke Surabaya, karena infeksi menjalar ke segenap tubuhnya, dan menimbulkan perdarahan. Setelah itu, menyusul pula pengapuran pada pembuluh otak. Kemudian mendadak jantungnya parah. Komplikasi itu menyebabkan dirinya tidak tertolong lagi. "Jangan menangisi kepergian saya," pesan Gadis Rasid kepada Nana, sebelum dia benar-benar pergi, di RS Katolik St. Paulo Surabaya, 28 April, pukul 06.15. Dengan mengatakan itu, Gadis tampak siap untuk pulang ke rahmatullah, dalam usia 65 tahun. Pada hari Gadis meninggal, saya sedang memberikan pelaJaran Jurnalistik kepada para calon wartawan Kantor Berita Antara. Saya bertanya, "Kenal apa nggak Gadis Rasid?" Sejurus diam saja. Akhirnya seorang menjawab, "Ya, pengarang." Tidak ada yang persis dapat menjawab, "Gadis Rasid adalah wartawan." Tidak mengherankan bila generasi muda dan calon wartawan sekarang tak mengenal Gadis. Itu nasib wartawan tua - apalagi kalau dia tidak menulis lagi. Herawati Diah tidak menulis, S.K. Trimurti tidak menulis, Gadis jarang menulis. Mereka mudah terlupakan. Seraya memandang wajah Gadis dalam peti jenazah - setelah saya ikut di belakang imam Prof. Emil Salim menyalatkan jenazahnya - sebelum dibawa ke pekuburan Karet, melintas di pikiran saya, entah kenapa, apakah Gadis menemukan kepuasan dalam kewartawanan. Gadis memilih profesi itu dalam suatu zaman, ketika ia dan orang-orang segenerasi berjuang untuk Indonesia Merdeka. Dalam revolusi fisik bersenjata, tatkala bangsa Indonesia bangkit menentang penjajahan, ada pemuda memasuki ketentaraan, ada yang bekerja di pemerintahan, ada pula yang bergerak dalam kewartawanan, seperti Gadis. Gadis, semoga arwahmu diterima di sisi Tuhan. H. Rosihan Anwar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus