Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pembunuhan anak kandung

Dalam abad ini terjadi pembunuhan semu, tapi dramatis dan secara besar-besaran. korbannya adalah anak didik yakni generasi muda. kreativitas mereka dipasung, mereka sudah terkondisi mendengar & disuapi.

7 Mei 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA satu jenis pembunuhan kejam dalam abad modern ini, yang sukar dideteksi dan yang selalu berada di luar jangkauan polisi. Pembunuhan ini kejam karena korban umumnya adalah kanak-kanak yang masih terlalu muda, terutama anak kandung sendiri serta sejumlah anak yang dipercayakan kepada calon pembunuh. Ia sukar dideteksi karena peristiwa ini tidak begitu menarik media massa. Ia tidak begitu menarik karena peristiwanya tidak sedramatis pembunuhan misterius yang mayatnya digeletakkan di tepi jalan raya. Sebenarnya, jenis pembunuhan ini mungkin yang paling dramatis dalam abad ini. Ia hanya kelihatan tidak dramatis oleh karena prosesnya terjadi secara sangat perlahan-lahan. Begitu perlahan-lahan sehingga pembunuhan itu, walau dimulai terhadap calon korban sejak pada usia 2-3 tahun, akibatnya baru agak tampak pada usla remaja, dan dapat berkelanjutan sampai usia dewasa. Dalam usia remaja, anak yang terkena proses itu memperlihatkan sejenis cacat yang bisa menetap seumur hidup, cacat yang berada jauh di luar jangkauan ilmu kedokteran tercanggih sekalipun. Korban yang bertahan hidup sampai dewasa, tanpa sadar, ikut pula menjadi pembunuh dengan tradisi yang sama. Akibat selanjutnya: terjadilah serangkaian pembunuhan berkesinambungan, bergenerasi, dalam skala yang semakin besar. Selain superdramatis, pembunuhan kategori ini juga superaneh Begitu aneh, sehingga belum lagi terJawab oleh ilmu kriminologl termaju di mana pun di dunia. Bagaimana tidak aneh, kalau pelaku-pelakunya adalah orang-orang terdidik dan profesional, yang bertindak secara terbuka, terang-terangan, terlembaga, dan secara beramai-ramai. Dan tanpa rasa dosa sedikit pun. Bagaimana mereka dapat merasa menyandang dosa kalau mereka tidak pernah sadar bahwa mereka sedang membunuh. Bagaimana mereka dapat menyadarinya kalau bahkan niat untuk berbuat demikian benar-benar (alhamdulillah) "tidak pernah terbetik" dalam hati nurani mereka yang polos. Tetapi begitulah kenyataannya: pembunuhan ini telah terjadi. Sekarang pun masih tengah berlangsung dalam skala yang besar, dan besok masih juga akan terjadi dalam skala yang lebih besar lagi Apa pun namanya, bagaimanapun peristiwanya, satu hal adala pasti: ada korban. Korbannya pun pasti: anak didik. Di sini memang tidak ada darah yang muncrat. Tidak ada nyawa yang direnggut. Tidak ada mayat terbaring sepi, dan tidak ada tangis mengiris hati. Bahkan tak sepotong kelingking pun hilang. Yang hllang hanya kelincahan, orisinalitas, dan kreativitas hidup remaja yang bernasib malang itu. Yang mati hanyalah hasrat ingin bertanya, menanyakan, dan mempertanyakan. Bukan saja naluri bertanyanya yang "mati", kepercayaan mengenai kegunaan bertanya juga ikut mati. Ia sudah terkondisi mendengar, mendengar dan mendengar, sehingga mati kemampuannya berbicara. Terkondisi diberi, sehingga tak mampu mencari sendiri. Terkondisi disuap, sehingga semua potensinya (kecuali menelan) menciut. Tegasnya, ia tampak utuh, tetapi jauh dari manusia seutuhnya. Korban-korban itu, kalau masih memiliki sisa-sisa tenaga, bila mereka niat berbicara, hanya tahu berteriak. Bila ingin berbuat, mereka ternyata berontak. Bila mau bertanya, yang wujud adalah mencela. Yang nekat, berlari tanpa arah. Yang kurang kuat, hanya membolos. Yang sudah kehabisan tenaga, mencari pelarian pada instant happiness, pada kenikmatan sekejap. Lambat tetapi pasti, semua potensi yang diperoleh dari lahir akhirnya hidup kerdil, salah jadi, kemudian mati. Korban-korban itu paling tinggi hanya mempunyai daya tahan: tahan disuapi, tahan diceramahi, tahan dipasung. Tetapi mereka tidak mempunyai daya hidup, daya yang bercirikan daya tahan, daya suai, dan daya cipta. Mungkin untuk menghindari pembunuhan sejenis itu, orangtua Dr. Margaret Mead awal-awal sudah berpesan kepada putrinya, "Nak, saya ingin benar-benar kamu memperoleh pendidikan. Karena itu, saya sungguh-sungguh melarang kamu masuk sekolah." Dengan nada yang serupa, seorang otodidak berkata "Saya percaya pada pendidikan seumur hidup. Itulah yang saya alami. Satu-satu kalinya proses pendidikan saya mengalami gangguan atau interupsi ialah ketika saya masuk sekolah." Dan terlepas dari pandangan sosialnya, adalah Pujangga Rabindranath Tagore, yang pernah berkata, "Dalam diri setiap anak, ada seorang seniman yang mati muda." Contoh ini dapat ditambah ad infinitum, tetapi apalah gunanya. Mereka sudah cukup mengingatkan kita untuk menjauhkan anak didik dari pendidikan semu, bukan dari pendidikan. Atas nama pendidikan, kembali ke pokok pembicaraan, kalau semua itu bukan pembunuhan, lalu sebaiknya disebut apa? Tentulah masih banyak pendidik tulen kita yang mampu memberi jawaban. Saya termasuk rakyat biasa yang ingin kepastian bahwa semua pendapat itu mutlak salah. Sebab, kalau keterusan, salah-salah akan ada lagi sebuah episode kedua dengan judul: "Bagaimana membunuh sebuah generasi". Ngeri, kalau-kalau saya kemudian disebut lagi merujuk pendidikan dari kaca mata hitam. Kaca mata hitam 'kan kaca mata tukang pijit?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus