Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA adalah pahlawan: Cut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, H.O.S. Tjokroaminoto, Kapitan Pattimura, Martha Christina Tiahahu, Ki Hadjar Dewantara, dan seterusnya. Sebanyak 32 lukisan potret mereka tersusun rapi di sebuah panel putih setinggi sekitar dua meter di tengah galeri CGartspace, Plaza Indonesia, Jakarta.
Gambar-gambar grafit di atas kertas itu bagian dari pameran On Heroic Stage, yang berlangsung hingga pekan ini. Pameran ini memamerkan dua seri lukisan karya Tommy Aditama Putra serta dua seri dan satu set patung keramik karya Tisa Granicia. Keduanya perupa muda lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung.
Tommy menampilkan potret-potret pahlawan dalam seri Pahlawan Identitas. Pensil grafit yang digunakannya menghasilkan garis-garis hitam, tapi dia menambahkan warna cokelat dari kopi. Hasilnya, lukisan-lukisan potret pahlawan nasional seperti yang ada dalam buku-buku pelajaran sekolah itu seperti potret tua yang kabur dan menguning. Wajah mereka, khususnya bagian mata, belepotan hitam.
Tapi, coba perhatikan, di tengah kekaburan itu justru ada yang menyela di sana, meski tak kentara: seraut wajah mirip Tommy. Sang penggambar menempatkan dirinya di antara sosok-sosok yang jadi subyeknya. Dia lebur di sana, menyejajarkan diri di antara mereka. Dia ingin jadi pahlawan juga. ”Saya kira semua orang ingin jadi pahlawan di dunianya masing-masing,” kata pelukis 28 tahun itu. ”Dengan menampilkan potret saya di situ, saya juga bertanya-tanya, apa reaksi orang, apakah mereka dapat menerimanya.”
Bahkan Tommy menggambar beberapa potret wajahnya yang mirip pahlawan dalam beberapa gambar grafit di atas kanvas. Ada lukisan potretnya yang mirip dengan Dr Soetomo, Teuku Umar, dan Pangeran Antasari, atau bergaya seperti Pattimura. Tapi gambar-gambar itu tidak sempurna, tidak mulus. Wajah mereka seakan memar-memar, akibat efek dari sapuan grafit yang seakan mencoreng mereka. Bentuk semacam ini mengingatkan orang pada karya awal Tommy, khususnya dalam pameran tunggal pertamanya pada 2009, KICK!, yang memamerkan lukisan wajah teman-temannya yang seakan lebam-lebam kena tendang.
Namun ini bukan pertama kalinya Tommy menggali tema kepahlawanan. Sebelumnya, dia pernah membuat karya tunggal, sebuah lukisan Kitsch series; Bung Tommy, pada 2008. Lukisan dari grafit dan pastel pada kanvas itu menggambarkan Tommy sedang berdiri mengacungkan jari telunjuknya di depan mikrofon dengan latar semacam payung—sebuah gambar tipikal untuk sosok Bung Tomo, pahlawan dari Surabaya.
Bagi Tommy, pahlawan pada intinya adalah orang yang memberikan sesuatu kepada orang lain. Orang tak harus berperang untuk jadi pahlawan. Dia mungkin menjadi pahlawan bagi lingkungannya atau keluarganya. Itu sebabnya Tommy menggambar wajah teman-temannya pada pameran tahun 2009 karena menganggap mereka sebagai pahlawan dan patut ditampilkan. ”Saya ingin mereka dan saya menjadi bagian dari orang yang menorehkan sejarah,” katanya.
Sementara Tommy membentangkan konsep kepahlawanan dalam relasi dirinya dan lingkungannya, Tisa Granicia memilih dunia keluarganya. Lulusan Program Studi Seni Kriya Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB pada 2005 itu menekankan hubungan-hubungan personalnya, khususnya dia dalam keluarganya. Itu disajikannya melalui dua seri patung dada keramik, The Sisters dan The Twin Sisters. Patung-patung anonim itu sebenarnya mirip Tisa, dengan tampilan dan gaya yang berbeda. Mereka merupakan wujud dari imajinasi Tisa tentang kakak dan adiknya, yang tak pernah dimilikinya sebagai anak tunggal.
Patung-patung dada ini digarapnya di studio keramiknya, Kandura, di Jalan Ligar Kencana, Bandung. Karya keramik perempuan perupa berusia 30 tahun ini menunjukkan pengerjaan yang hati-hati dan terperinci. Patung-patung dada itu mengkilap dan diberi aksen vernis yang mengesankan retak-retak.
Tema mengenai saudari-saudari imajiner ini sebenarnya sudah diangkat Tisa sejak mengerjakan tugas akhir di kampusnya pada 2005. Terkait dengan tema kepahlawanan, Tisa memilih bentuk patung dada, karena patung jenis ini dulu hanya dibuat khusus untuk orang penting atau pejabat.
Dengan mengambil figur dirinya sendiri dan ”saudari-saudarinya” sebagai subyek, Tisa, seperti yang dilakukan Tommy, membuat kepahlawanan menjadi masalah pribadi.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo