ORKES Simfoni Jakarta, anak kandung RRI Jakarta, memang memelas.
Masih untung tetap berusaha bernafas. Akhir-akhir ini dalam
penampilannya selalu dicoba memasukkan suntikan anti lesu
--berupa musikus tamu. Tetapi rupanya tidak banyak menolong.
Dalam pergelaran ke-103 -- 18 Januari, di Studio V -- juga sudah
dicoba melibatkan seorang pianis asal Mojokerto yang sejak 1962
berada di Amerika. Namanya Maria Tan Thesen (36 tahun), yang
memikul gelar BA untuk musik dari Universitas Hawaii. Tapi Maria
malam itu agak gugup. Kerjasamanya dengan orkes kelihatan tidak
kompak. Akibatnya banyak pengamat musik tidak puas. "Wah jelek,
jelek," kata seorang konduktor yang dijumpai TEMPO.
Sukarelawan
Musikus tamu yang tidak berhasil mengangkat penampilan OSJ bukan
hanya dia. Tahun lalu, seorang dari suatu negara di Eropa sempat
tampil sebagai dirigen. "Mutu dia tidak baik. Setahu saya dia
bukan seorang konduktor di negaranya," ujar Praharyawan Prabowo
(44 tahun), kini konduktor OSJ. Tentu saja waktu kawan dari
Eropa itu menawarkan diri lagi untuk memimpin, kontan ditolak.
"Tapi tidak tahu bagaimana caranya, dia bisa mendapat
rekomendasi untuk main di sini," tutur Prahou dengan kesal.
Musikus tamu yng menyumbang tenaga berstatus sukarela. "Baik
solis atau pianis, tidak begitu saja diterima main," kata
Prabowo. Mereka harus mendapat rekomendasi kedutaan negaranya
atau yang sejenis dengan itu. Umumnya setahun di muka, kedutaan
atau musikus itu sendiri sudah mengirimkan keterangan berikut
guntingan artikel yang dapat memberi informasi tentang dirinya.
Ada pula panitia yang diketuai Prabowo sendiri yang berhak
menolak tawaran itu.
Pun sejauh ini sukarelawan OSJ datang dengan biaya sendiri.
Mereka rata-rata kaliber menengah di kandangnya. Di samping daya
tarik, tentu saja pengalaman bersama dengan mereka sangat baik
buat anggota OSJ sendiri. Kapan OSJ akan kedatangan sukarelawan
kelas satu? "Kaliber menengah sudah mau itu sudah untung," kata
Prabowo. Masalahnya kemudian adalah, seandainya ada orang top
yang muncul, siapkah OSJ sendiri untuk melayaninya? Ini sangat
penting.
Banyak pemain OSJ sekarang tidak bisa berkonsentrasi pada
instrumennya dengan baik -- karena memikirkan perut. "OSJ ini
sampai sekarang statusnya ngambang," tutur Prabowo. "Anggotanya
tidak ada yang pegawai negeri -- semuanya bekerja atas honor."
Sementara honor itu, untuk ukuran cukup hidup di Jakarta tahun
1979, sangat kecil. Seorang pemula di OSJ hanya terima Rp 15
ribu sebulan. Padakal di Negeri Belanda misalnya, pemam yang
baru masuk sudah bisa dapat Rp 600 ribu.
"Tidak perlu seperti di Negeri Belanda. Disamakan dengan
pembayaran seperti di klab malam saja sudah lumayan," kata
Adhidarma, konduktor kawakan OSJ. Umumnya seorang pemain
--ambillah peamain terompet -- di klab malam bisa mendapat Rp
150 ribu setiap bulan. Maka tak dapat disalahkan kalau ada
pemain OSJ yang biasanya main korno -- horn Perancis -- terpaksa
malamnya meniup trombon di klab remang-remang itu. Padahal itu
jelas bisa merusak ambasiur -- daya tiup -- sekaligus kemantapan
awak OSJ sebagai kesatuan.
Selama ini nasib orang OSJ memang dapat perhatian juga dari para
donatur -- untuk tiap pergelaran. Tapi ,uang donatur itu
semuanya ditampung terlebih dahulu di Biro II DKI. Setiap bulan
dikirimkan honor -- dan kadang-kadang terlambat. Dapat dimaklumi
bila tidak ada kader baru. " Jangankan kader. Mengganti rit
fargol saja (dari bambu tipis, pada mulut tiup) tidak ada uang,"
kata Prabowo lagi.
Soal lain yang dihadapi OSJ adalah penonton. Memang, pamor musik
serius yang dipergelarkan di TIM naik -- selalu saja direbut
banyak penonton. Tapi Studio V RRI Jakarta, yang mampu menampung
61 pengunjung, masih selalu merasa kesepian. Tanggal 18 Januari
itu misalnya, hanya separuh kursi yang terisi. Padahal undangan
sebenarnya -- hmmm -- gratis. Selalu gratis.
Setiap pergelaran, penyebaran undangan dikoordinir DKI. Cara
penyebarannya: melalui pos. "Kita pernah minta karcis dijual
saja," kata Prabowo. "Tapi mereka tidak setuju. Padahal kita
main untuk ditonton orang. Nyatanya yang datang sedikit, bahkan
pernah hanya beberapa orang saja. Lalu buat apa main?" Probowo
juga mengeluh mengenai publikasi yang miskin sekali. Kalau toh
ada, ternyata hasil budi baik kedutaan sang sukarelawan.
"Sekarang ini orkes kita daya tarik satu-satunya lanya solis
asingnya saja!"
Dari Adhidarma, TEMPO mendapat kabar bahwa keinginan membuat
orkes jempolan seperti NHK dari Jepang misalnya, sebenarnya
tetap bernyala. Cuma kondisinya.
Disiplin, pemain yang berkwalitas, dan dana. Sebuah orkes yang
baik dalam waktu 5 tahun bukan tidak mungkin dihasilkan, asal
ada duit Rp 10 juta setiap bulan. "Kalau kebijaksanaan kita
tetap seperti sekarang, hidup segan mati tak hendak," kata
Adhidarma berkias -- walau mereka tetap mencoba merangkak juga.
Ada kabar selentingan OSJ yang selama ini dipeluk RRI akan
dioper ke pangkuan P & K. RRI hanya akan sibuk dengan soal-soal
siaran. Di kalangan OSJ sendiri timbul beberapa reaksi. Ada yang
menganggapnya kurang tepat -- karena pembinaan sebuah orkes
memang terutama ditujukan pada prestasi penampilan, dan RRI
tentunya lebih akrab. Namun pastilah perasaan orang OSJ sendiri
akan lega -- seandainya kebijaksanaan itu akan mendatangkan
perubahan ekonomi mereka.
Kalau orang sudah mengabdi musik bertahun-tahun, kemudian hanya
diberi komentar permainan buruk, memang bencana batin. Timbul
rasa murung, lebih-lebih bila mereka tahu bahwa kesalahan bukan
terutama terletak pada mereka. "Apakah upaya kita bertahuntahun
sekarang ini dianggap sampah?" tanya Prabowo. Dijawabnya
sendiri: "Kalau perhatian pada kita tidak ada, mana bisa orkes
akan bermutu dalam pergelaran. Saya tidak ingin dianggap orang
istimewa. Tapi juga jangan menganggap kami sebagai barang yang
lewat saja. "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini