Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Hidup segan, toh merangkak juga

Kesulitan yang dihadapi orkes simfoni jakarta, anak kandung rri jakarta adalah disiplin, pemain yang berkualitas dan dana. kalau kebijaksanaan tetap seperti sekarang, maka osj akan tetap merangkak. (ms)

3 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORKES Simfoni Jakarta, anak kandung RRI Jakarta, memang memelas. Masih untung tetap berusaha bernafas. Akhir-akhir ini dalam penampilannya selalu dicoba memasukkan suntikan anti lesu --berupa musikus tamu. Tetapi rupanya tidak banyak menolong. Dalam pergelaran ke-103 -- 18 Januari, di Studio V -- juga sudah dicoba melibatkan seorang pianis asal Mojokerto yang sejak 1962 berada di Amerika. Namanya Maria Tan Thesen (36 tahun), yang memikul gelar BA untuk musik dari Universitas Hawaii. Tapi Maria malam itu agak gugup. Kerjasamanya dengan orkes kelihatan tidak kompak. Akibatnya banyak pengamat musik tidak puas. "Wah jelek, jelek," kata seorang konduktor yang dijumpai TEMPO. Sukarelawan Musikus tamu yang tidak berhasil mengangkat penampilan OSJ bukan hanya dia. Tahun lalu, seorang dari suatu negara di Eropa sempat tampil sebagai dirigen. "Mutu dia tidak baik. Setahu saya dia bukan seorang konduktor di negaranya," ujar Praharyawan Prabowo (44 tahun), kini konduktor OSJ. Tentu saja waktu kawan dari Eropa itu menawarkan diri lagi untuk memimpin, kontan ditolak. "Tapi tidak tahu bagaimana caranya, dia bisa mendapat rekomendasi untuk main di sini," tutur Prahou dengan kesal. Musikus tamu yng menyumbang tenaga berstatus sukarela. "Baik solis atau pianis, tidak begitu saja diterima main," kata Prabowo. Mereka harus mendapat rekomendasi kedutaan negaranya atau yang sejenis dengan itu. Umumnya setahun di muka, kedutaan atau musikus itu sendiri sudah mengirimkan keterangan berikut guntingan artikel yang dapat memberi informasi tentang dirinya. Ada pula panitia yang diketuai Prabowo sendiri yang berhak menolak tawaran itu. Pun sejauh ini sukarelawan OSJ datang dengan biaya sendiri. Mereka rata-rata kaliber menengah di kandangnya. Di samping daya tarik, tentu saja pengalaman bersama dengan mereka sangat baik buat anggota OSJ sendiri. Kapan OSJ akan kedatangan sukarelawan kelas satu? "Kaliber menengah sudah mau itu sudah untung," kata Prabowo. Masalahnya kemudian adalah, seandainya ada orang top yang muncul, siapkah OSJ sendiri untuk melayaninya? Ini sangat penting. Banyak pemain OSJ sekarang tidak bisa berkonsentrasi pada instrumennya dengan baik -- karena memikirkan perut. "OSJ ini sampai sekarang statusnya ngambang," tutur Prabowo. "Anggotanya tidak ada yang pegawai negeri -- semuanya bekerja atas honor." Sementara honor itu, untuk ukuran cukup hidup di Jakarta tahun 1979, sangat kecil. Seorang pemula di OSJ hanya terima Rp 15 ribu sebulan. Padakal di Negeri Belanda misalnya, pemam yang baru masuk sudah bisa dapat Rp 600 ribu. "Tidak perlu seperti di Negeri Belanda. Disamakan dengan pembayaran seperti di klab malam saja sudah lumayan," kata Adhidarma, konduktor kawakan OSJ. Umumnya seorang pemain --ambillah peamain terompet -- di klab malam bisa mendapat Rp 150 ribu setiap bulan. Maka tak dapat disalahkan kalau ada pemain OSJ yang biasanya main korno -- horn Perancis -- terpaksa malamnya meniup trombon di klab remang-remang itu. Padahal itu jelas bisa merusak ambasiur -- daya tiup -- sekaligus kemantapan awak OSJ sebagai kesatuan. Selama ini nasib orang OSJ memang dapat perhatian juga dari para donatur -- untuk tiap pergelaran. Tapi ,uang donatur itu semuanya ditampung terlebih dahulu di Biro II DKI. Setiap bulan dikirimkan honor -- dan kadang-kadang terlambat. Dapat dimaklumi bila tidak ada kader baru. " Jangankan kader. Mengganti rit fargol saja (dari bambu tipis, pada mulut tiup) tidak ada uang," kata Prabowo lagi. Soal lain yang dihadapi OSJ adalah penonton. Memang, pamor musik serius yang dipergelarkan di TIM naik -- selalu saja direbut banyak penonton. Tapi Studio V RRI Jakarta, yang mampu menampung 61 pengunjung, masih selalu merasa kesepian. Tanggal 18 Januari itu misalnya, hanya separuh kursi yang terisi. Padahal undangan sebenarnya -- hmmm -- gratis. Selalu gratis. Setiap pergelaran, penyebaran undangan dikoordinir DKI. Cara penyebarannya: melalui pos. "Kita pernah minta karcis dijual saja," kata Prabowo. "Tapi mereka tidak setuju. Padahal kita main untuk ditonton orang. Nyatanya yang datang sedikit, bahkan pernah hanya beberapa orang saja. Lalu buat apa main?" Probowo juga mengeluh mengenai publikasi yang miskin sekali. Kalau toh ada, ternyata hasil budi baik kedutaan sang sukarelawan. "Sekarang ini orkes kita daya tarik satu-satunya lanya solis asingnya saja!" Dari Adhidarma, TEMPO mendapat kabar bahwa keinginan membuat orkes jempolan seperti NHK dari Jepang misalnya, sebenarnya tetap bernyala. Cuma kondisinya. Disiplin, pemain yang berkwalitas, dan dana. Sebuah orkes yang baik dalam waktu 5 tahun bukan tidak mungkin dihasilkan, asal ada duit Rp 10 juta setiap bulan. "Kalau kebijaksanaan kita tetap seperti sekarang, hidup segan mati tak hendak," kata Adhidarma berkias -- walau mereka tetap mencoba merangkak juga. Ada kabar selentingan OSJ yang selama ini dipeluk RRI akan dioper ke pangkuan P & K. RRI hanya akan sibuk dengan soal-soal siaran. Di kalangan OSJ sendiri timbul beberapa reaksi. Ada yang menganggapnya kurang tepat -- karena pembinaan sebuah orkes memang terutama ditujukan pada prestasi penampilan, dan RRI tentunya lebih akrab. Namun pastilah perasaan orang OSJ sendiri akan lega -- seandainya kebijaksanaan itu akan mendatangkan perubahan ekonomi mereka. Kalau orang sudah mengabdi musik bertahun-tahun, kemudian hanya diberi komentar permainan buruk, memang bencana batin. Timbul rasa murung, lebih-lebih bila mereka tahu bahwa kesalahan bukan terutama terletak pada mereka. "Apakah upaya kita bertahuntahun sekarang ini dianggap sampah?" tanya Prabowo. Dijawabnya sendiri: "Kalau perhatian pada kita tidak ada, mana bisa orkes akan bermutu dalam pergelaran. Saya tidak ingin dianggap orang istimewa. Tapi juga jangan menganggap kami sebagai barang yang lewat saja. "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus