Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Banjir, Merendam Siapa Saja

Hujan lebat berkepanjangan mengakibatkan jakarta banjir. Daerah-daerah yang biasanya tidak banjir, sekarang tergenang air. Keluhan beberapa orang yang rumahnya kebanjiran. (sd)

3 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR 1978, penduduk Jakarta mengeluarkan simpanan payung. Ada juga yang hanya mampu menyiapkan plastik. Tetapi hujan rupanya tak begitu deras. Orangpun memandang ke langit, sambil bertanya, mengapa langit sulit ditebak. Ramalan cuaca di TVRI juga sering dikibulin. Akhir tahun menurut pelajaran di bangku SMP maupun di SMA, seharusnya musim hujan. Tak terduga pada 18 Januari lalu, jatuh Kamis Pon, tengah malam hujan ngamuk menghantam ibukota. Duilah lebatnya. Tidak hanya rakyat jelata yang kena bocor. Sampai-sampai rumah bintang film Nani Wijaya yang ada di bilangan elit jalan Dr. Semeru (Grogol) dikejar air. "Ihh, tidak tangung-tanggung, sampai dada," kata Nani kepada Karni Ilyas dari TEMPO. "Saya terpaksa mengungsi ke rumah mertua," kata Nani lebih lanjut menuturkan nasibnya. Ini adalah kejadian pertama kali melanda rumahnya. Pada hari Jum'at sejak pagi hari air sudah meluap sebatas mata kaki. "Naiknya cepat," kata Nani yang barusan menggondol piala pemeran pembantu terbaik di FFI Ujung Pandang. Tak ayal lagi Nani cepat melarikan ke 5 puteranya ke rumah mertuanya di Rawamangun. Maklumlah kelimanya masih kecil-kecil. yang paling tua baru berusia 9 tahun. Roda-roda Gila Nani, isteri pengarang Misbach Jusa Biran, hari itu terus ke tempat shooting film Roda-roda Gila Sore hari ia baru bisa pulang, niatnya untuk ganti pakaian. "Eh, sampai di depan Trisakti air telah setinggi dada," ujarnya mengenangkan. Ia gemetar, panik, teringat perabotan rumah tangganya. Sopirnya mencegah Nani ke jalan Semeru. "Tapi mana tenang kalau tidak lihat sendiri," kata Nani. Akhirnya ia pergi juga ke sana naik beca. "Tidak bisa duduk di jok beca, terpaksa di stang abang beca," kata Nani sambil tertawa. Beca menyerah sampai di Gelangang Remaja Grogol. Nani ambil perahu karet "Satgas" keamanan untuk mencapai rumahnya. Air telah tinggi. Untungnya rumahnya berlantai dua, jadi barang-barang cepat dinaikkan ke lantai dua. Untungnya lagi ada pembantu dan sopir, sehingga tidak kesulitan tenaga. Sayangnya yang berat-berat seperti kulkas, kompor terpaksa dikorbankan. "Anehnya kami tidak dibantu oleh pihak Satgas Banjir, padahal kami juga kebanjiran seperti rakat lainnya," kata Nani mengeluh. Malamnya Nani bersama suaminya terpaksa tinggal di Rawamangun. Besoknya ia berniat pulang, waduh banjir belum surut. Menurut Nani, yang sempat membintangi 9 buah film tahun yang lalu, meskipun daerahnya dikategorikan daerah orang mampu, ternyata ada jatah beras. Herannya jatah korban banjir itu tidak sampai. "Harusnya jatah itu diberikan walau orang kaya, kan ada haknya," ujar Nani. Ia juga mengeritik pihak yang bertugas menanggulangi banjir karena tidak memberitahukan akan datangnya banjir terlebih dahulu. Akibatnya banjir hampir saja merenggut dua orang anak tetangganya. Tetangganya itu tinggal di tempat rendah. Hari Jum'at air sudah menjamah rumahnya. Tapi seisi rumah -- kebetulan kepala rumah tangga masih di luar kota -- terus tidur lelap. RT sudah ikut sibuk membangunkan tapi tak ada tanggapan dari dalam. Airpun meninggi. Begitu pintu akhirnya terbuka, air menggebrak masuk. Si empunya rumah kalang kabut. Ia hanya sempat menyelamatkan kedua anaknya. Harta benda terpaksa direlakan, termasuk surat-surat penting seperti ijazah dan surat nikah. 12 Macam Kotoran Tak kecil juga kemalangan yang diderita Nyonya Ade Bambang Irawan. Ia juga tinggal di bilangan Grogol di Jalan Dr. Muwardi Raya. "Keluarga saya pecah dua," ujarnya. "Saya dengan suami ke Slipi dan anak-anak mengungsi ke Pasar Baru." Menurut Ade sejak tahun 1963 kawasan Jalan Muwardi tak tersentuh banjir lagi. Kali ini rupanya luar biasa juga. Ade menceritakan bagaimana air menghampiri rumahnya malam Jum'at yang lalu. "Saya terbangun dan melihat air telah menggenangi rumah," ujarnya. Ia kaget, reflek pertamanya adalah mencari anaknya. Di kamar tidur salah seorang puteranya seperti mengapung karena air sudah mencapai kasur. Malam itu juga barang-barang dikemasi. Malanglah, rumahnya kebetulan tak bertingkat, jadi banyak yang harus direlakan. Air mencapai pinggiran tempat tidur. "Baru kali itulah mas Bambang kencing ditempat tidur," kata sang nyonya. Pagi harinya Nyonya Ade mengungsi ke Slipi. Siangnya ia mencoba pulang, ternyata air sudah memotong pinggang. Nyonya Ade terpaksa jalan kaki di air, tak ada kendaraan yang bisa masuk. "Tiga kali saya kencing di celana selama berendam," katanya mengenang dengan cekikikan karena geli. Meskipun waktu itu sebenarnya ia ketar-ketir karena sesungguhnya tidak bisa berenang. Ia terus maju dalam air. Entah kenapa ia sempat juga kentut dengan bunyi yang agak aneh, sehingga sopir yang mendampinginya mengerling. "Apa yang kamu lihat, "kata Nyonya Ade dengan kesal. Sopir tak menjawab. Mungkin sampai sekarang tak tahu bunyi apa itu. Jadi tak urung Nyonya Ade yang berada, tapi jugu dan penuh humor inipun sengsara oleh banjir. Perabotannya habis disemir lumpur dan "dua belas macam" kotoran. "Sudah pasti sebulan masih tetap bau," ujarnya. Disambung oleh Nyonya Nani: "Tahun-tahun datang jangan banjir lagi, ah," ujarnya. Banjir tidak hanya doyan rumah bintang film, wakil-wakil rakyatpun dijewernya. Lantai rumah Sayuti Melik dari fraksi Karya Pembangunan di Matraman Dalam, bobol. Juga rumah Sugiharto ketua fraksi Karya Pembangunan, di Bungur Besar tidak luput. "Ah, setiap tahun juga rumah saya terkena," kata Sugiharto. Dua tahun yang lalu ia bahkan terpaksa mengungsi, karena air melanda sampai pinggang. Ke mana? Anu, yah, tidak jauh, masih di Jakarta. "Ke hotel Sahid Jaya," kata pemimpin itu. Sugiharto ketua Fraksi Karya Pembangunan yang belakangan ini sering bersuara keras, mengaku tak punya rumah lain. Ada tanahnya di Cilandak, tapi belum dibangun. Karena itu sebetulnya ia sudah menyiapkan diri menghadapi banjir kali ini. "Saya bikin tanggul di belakang rumah dan air tak lagi masuk dari belakang," ujarnya. Tetapi ternyata air masih bisa menjamah dari depan sehingga tetap juga kebagian. 'Sampai mata kaki," ujarnya. Dan tidak perlu lagi ke Hotel Sahid Jaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus