AKHIR 1978, penduduk Jakarta mengeluarkan simpanan payung. Ada
juga yang hanya mampu menyiapkan plastik. Tetapi hujan rupanya
tak begitu deras. Orangpun memandang ke langit, sambil bertanya,
mengapa langit sulit ditebak. Ramalan cuaca di TVRI juga sering
dikibulin. Akhir tahun menurut pelajaran di bangku SMP maupun di
SMA, seharusnya musim hujan.
Tak terduga pada 18 Januari lalu, jatuh Kamis Pon, tengah malam
hujan ngamuk menghantam ibukota. Duilah lebatnya. Tidak hanya
rakyat jelata yang kena bocor. Sampai-sampai rumah bintang film
Nani Wijaya yang ada di bilangan elit jalan Dr. Semeru (Grogol)
dikejar air. "Ihh, tidak tangung-tanggung, sampai dada," kata
Nani kepada Karni Ilyas dari TEMPO.
"Saya terpaksa mengungsi ke rumah mertua," kata Nani lebih
lanjut menuturkan nasibnya. Ini adalah kejadian pertama kali
melanda rumahnya. Pada hari Jum'at sejak pagi hari air sudah
meluap sebatas mata kaki. "Naiknya cepat," kata Nani yang
barusan menggondol piala pemeran pembantu terbaik di FFI Ujung
Pandang. Tak ayal lagi Nani cepat melarikan ke 5 puteranya ke
rumah mertuanya di Rawamangun. Maklumlah kelimanya masih
kecil-kecil. yang paling tua baru berusia 9 tahun.
Roda-roda Gila
Nani, isteri pengarang Misbach Jusa Biran, hari itu terus ke
tempat shooting film Roda-roda Gila Sore hari ia baru bisa
pulang, niatnya untuk ganti pakaian. "Eh, sampai di depan
Trisakti air telah setinggi dada," ujarnya mengenangkan. Ia
gemetar, panik, teringat perabotan rumah tangganya. Sopirnya
mencegah Nani ke jalan Semeru. "Tapi mana tenang kalau tidak
lihat sendiri," kata Nani. Akhirnya ia pergi juga ke sana naik
beca. "Tidak bisa duduk di jok beca, terpaksa di stang abang
beca," kata Nani sambil tertawa.
Beca menyerah sampai di Gelangang Remaja Grogol. Nani ambil
perahu karet "Satgas" keamanan untuk mencapai rumahnya. Air
telah tinggi. Untungnya rumahnya berlantai dua, jadi
barang-barang cepat dinaikkan ke lantai dua. Untungnya lagi ada
pembantu dan sopir, sehingga tidak kesulitan tenaga. Sayangnya
yang berat-berat seperti kulkas, kompor terpaksa dikorbankan.
"Anehnya kami tidak dibantu oleh pihak Satgas Banjir, padahal
kami juga kebanjiran seperti rakat lainnya," kata Nani mengeluh.
Malamnya Nani bersama suaminya terpaksa tinggal di Rawamangun.
Besoknya ia berniat pulang, waduh banjir belum surut.
Menurut Nani, yang sempat membintangi 9 buah film tahun yang
lalu, meskipun daerahnya dikategorikan daerah orang mampu,
ternyata ada jatah beras. Herannya jatah korban banjir itu tidak
sampai. "Harusnya jatah itu diberikan walau orang kaya, kan ada
haknya," ujar Nani. Ia juga mengeritik pihak yang bertugas
menanggulangi banjir karena tidak memberitahukan akan
datangnya banjir terlebih dahulu. Akibatnya banjir hampir saja
merenggut dua orang anak tetangganya.
Tetangganya itu tinggal di tempat rendah. Hari Jum'at air
sudah menjamah rumahnya. Tapi seisi rumah -- kebetulan kepala
rumah tangga masih di luar kota -- terus tidur lelap. RT sudah
ikut sibuk membangunkan tapi tak ada tanggapan dari dalam.
Airpun meninggi. Begitu pintu akhirnya terbuka, air menggebrak
masuk. Si empunya rumah kalang kabut. Ia hanya sempat
menyelamatkan kedua anaknya. Harta benda terpaksa direlakan,
termasuk surat-surat penting seperti ijazah dan surat nikah.
12 Macam Kotoran
Tak kecil juga kemalangan yang diderita Nyonya Ade Bambang
Irawan. Ia juga tinggal di bilangan Grogol di Jalan Dr. Muwardi
Raya. "Keluarga saya pecah dua," ujarnya. "Saya dengan suami ke
Slipi dan anak-anak mengungsi ke Pasar Baru." Menurut Ade sejak
tahun 1963 kawasan Jalan Muwardi tak tersentuh banjir lagi. Kali
ini rupanya luar biasa juga.
Ade menceritakan bagaimana air menghampiri rumahnya malam Jum'at
yang lalu. "Saya terbangun dan melihat air telah menggenangi
rumah," ujarnya. Ia kaget, reflek pertamanya adalah mencari
anaknya. Di kamar tidur salah seorang puteranya seperti
mengapung karena air sudah mencapai kasur. Malam itu juga
barang-barang dikemasi. Malanglah, rumahnya kebetulan tak
bertingkat, jadi banyak yang harus direlakan. Air mencapai
pinggiran tempat tidur. "Baru kali itulah mas Bambang kencing
ditempat tidur," kata sang nyonya.
Pagi harinya Nyonya Ade mengungsi ke Slipi. Siangnya ia mencoba
pulang, ternyata air sudah memotong pinggang. Nyonya Ade
terpaksa jalan kaki di air, tak ada kendaraan yang bisa masuk.
"Tiga kali saya kencing di celana selama berendam," katanya
mengenang dengan cekikikan karena geli. Meskipun waktu itu
sebenarnya ia ketar-ketir karena sesungguhnya tidak bisa
berenang. Ia terus maju dalam air. Entah kenapa ia sempat juga
kentut dengan bunyi yang agak aneh, sehingga sopir yang
mendampinginya mengerling. "Apa yang kamu lihat, "kata Nyonya
Ade dengan kesal. Sopir tak menjawab. Mungkin sampai sekarang
tak tahu bunyi apa itu.
Jadi tak urung Nyonya Ade yang berada, tapi jugu dan penuh humor
inipun sengsara oleh banjir. Perabotannya habis disemir lumpur
dan "dua belas macam" kotoran. "Sudah pasti sebulan masih tetap
bau," ujarnya. Disambung oleh Nyonya Nani: "Tahun-tahun datang
jangan banjir lagi, ah," ujarnya.
Banjir tidak hanya doyan rumah bintang film, wakil-wakil
rakyatpun dijewernya. Lantai rumah Sayuti Melik dari fraksi
Karya Pembangunan di Matraman Dalam, bobol. Juga rumah Sugiharto
ketua fraksi Karya Pembangunan, di Bungur Besar tidak luput.
"Ah, setiap tahun juga rumah saya terkena," kata Sugiharto. Dua
tahun yang lalu ia bahkan terpaksa mengungsi, karena air melanda
sampai pinggang. Ke mana? Anu, yah, tidak jauh, masih di
Jakarta. "Ke hotel Sahid Jaya," kata pemimpin itu.
Sugiharto ketua Fraksi Karya Pembangunan yang belakangan ini
sering bersuara keras, mengaku tak punya rumah lain. Ada
tanahnya di Cilandak, tapi belum dibangun. Karena itu sebetulnya
ia sudah menyiapkan diri menghadapi banjir kali ini. "Saya bikin
tanggul di belakang rumah dan air tak lagi masuk dari belakang,"
ujarnya. Tetapi ternyata air masih bisa menjamah dari depan
sehingga tetap juga kebagian. 'Sampai mata kaki," ujarnya. Dan
tidak perlu lagi ke Hotel Sahid Jaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini