Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CAHAYA perlahan menyorot ke tengah panggung. Kege-lap-an pun sirna. Seorang lelaki berbaju khas Melayu berwarna merah ditemani dua orang berpakaian biru memukul jidur. Lelaki berpakaian merah itu adalah sang juru cerita (Riduan Zalani) yang merajut kisah kerajaan khayali Sritanmira. Alkisah, Raja Menntika (Norisham Osman) dan permaisuri Dewi Thia (Tutut Tuty) dirun-dung kemurungan karena tak kunjung dikaruniai putra, ahli waris takhta. Per-min-taan mereka akhirnya dikabulkan Dewi Bulan dan lahirlah seorang pangeran: Fatih.
Kisah Fatih: The Prince and The Drum dengan sutradara Garin Nugroho yang digelar di Esplanade, Singapura, pada 29 Juni lalu itu merupakan salah satu rangkaian Pesta Raya (Pesta Seni Melayu) ke-18 selama tiga hari (27-30 Juni). Acara itu menampilkan NADI Singapura yang dibentuk pada 2011 dan beranggotakan seniman paruh waktu dengan latar pe-kerjaan beragam: guru, perawat, pelayan kedai kopi, penjaga gudang, dan lain-lain. Tak aneh jika anggota NADI Singapura per-lu berlatih selama enam bulan sepulang kerja atau pada akhir pekan. Jamaluddin Latif, yang bertindak sebagai asisten sutradara, menggembleng mereka lewat metode Tadashi Suzuki, yang dipelajarinya saat mengikuti pentas karya Suzuki: Dionysus.
Dengan penulis lakon Zulfadli Rashid, pentas Fatih: The Prince and The Drum melibatkan sekitar 40 pemain yang me-rupakan buah kolaborasi lintas kelompok seni di Asia Tenggara. Komunitas Nan Jombang dari Padang (Sumatera Barat) pimpinan Ery Mefri menyuguhkan tari yang kental diwarnai pencak silat. Kostum yang dramatis serta atraktif digarap duo Saksit Pisalasupongs dan Pisit Jonarangsin dari Tube Gallery (Thailand). Adapun proyeksi image bak buku cerita kanak-kanak ke layar panggung merupakan besutan Wulang Sunu. Maka pentas Fatih: The Prince and The Drum adalah adonan hiburan yang nyaris lengkap: tarian, nyanyian, pencak silat, pantun, dan teater.
Meski begitu, permainan perkusi atau genderang menjadi menu utama per-tunjukan. Menurut Garin Nugroho, “Perkusi memiliki akar dalam budaya Melayu, bahkan Asia. Ini bisa dilihat dari keberagaman bentuknya, seperti kom-pang, gendang, rebana, jidur, tambur, bedug, dan seterusnya. Perkusi juga ter-bilang alat musik yang tua.” Karena itu, bagi Garin, pentas ini bisa dianggap sebagai ikhtiar merevitalisasi kultur Melayu yang kian redup, terutama di kalangan anak muda, seperti seni pantun. Dalam konteks yang lebih luas, agaknya pentas ini juga diniatkan untuk memperkukuh jejaring Melayu di Nusantara lewat laku kesenian.
Kisah Fatih: The Prince and The Drum tak ubahnya hikayat Melayu yang menuturkan kisah pencarian diri Pangeran Fatih (Nizar Fauzie) yang bertualang sebelum mene-ruskan takhta ayahandanya. Angker (Rizman Putra), panglima yang haus pe-rang, membujuk baginda Sritanmira agar meluaskan wilayah kekuasaannya. Alih-alih setuju, Raja Menntika justru mengusir Angker dari istana. Disesaki dendam dan rasa sakit hati, Angker memimpin gerom-bolan lanun berjulukan Tohmah yang akhir-nya membunuh Raja Menntika, mengu-rung Dewi Thia, dan menguasai Kerajaan Sritanmira. Pertempuran antara Angker yang membelot dan Panglima Adani yang setia kepada raja mengingatkan pada kisah klasik Melayu ihwal perseteruan antara Hang Jebat dan Hang Tuah.
Dalam kisah Fatih: The Prince and The Drum, tentu saja, terselip kritik terhadap kekuasaan. Angker, misalnya, bersumpah tak sudi menghamba kepada raja yang hanya berpesta dan bersukaria. Di sisi lain, ditunjukkan desa makmur bernama Maialena yang dipimpin Tuan Arjih (Fadhli Ramlee) yang memiliki putri jelita Cyanila (Izzathy Halil). Masyarakat desa itu dikisahkan hidup sejahtera dari beternak, bercocok tanam, dan mencintai seni. Di desa inilah Fatih terdampar sete-lah kapalnya terempas gelombang besar. Seperti diduga, Cyanila jatuh hati kepada Fatih, yang telah lupa asal-usulnya. Tapi, tatkala kalung dari dewi rembulan yang dikenakan Fatih memancarkan peta ke angkasa, ia terkenang akan tanah kela-hirannya. Ia memutuskan mengarungi sa--mudra untuk kembali ke Sritanmira, meninggalkan pujaan hatinya dan berha-dapan dengan Angker.
Kendati kisahnya mirip hikayat yang nyaris dalam setiap percakapan dibumbui pantun, pentas Fatih: The Prince and The Drum jauh dari kesan membosankan. Ada ikhtiar menyusupkan anasir kontemporer ke pertunjukan. Umpamanya, tatkala me-nantang Panglima Adani bertempur, Angker, yang menjadi dedengkot penya-mun Tohmah, melantunkan pantun de--ngan gaya rap. Ada pula trio karakter mirip Punakawan yang memainkan perangkat perkusi berbeda serta memancing tawa penonton. Selain itu, sang juru cerita meng-ajak penonton bersenandung bak dalam konser musik sembari ia terus melanjutkan kisahnya. Akibatnya, tembok pembatas penampil dan penonton pun mencair. Tak aneh jika tepuk tangan penonton beberapa kali merekah di tengah pertunjukan.
Adegan perang menjadi kesempatan Nan Jombang menunjukkan gerakan silat yang memukau. Selain tangkas memperagakan gerak pencak silat, para pemain Nan Jombang lentur mengikuti rentak irama perkusi. Perang tak hanya bersifat fisik, tapi juga antar-alat musik perkusi. Menariknya, perangkat perkusi tak hanya ditabuh un-tuk menghasilkan bebunyian, tapi bisa juga berubah menjadi bahtera, pilar untuk melompat, dan lain-lain. Begitu pula batang bambu yang digunakan sebagai perangkat musik, yang bisa diubah menjadi jeruji penjara. Pendek kata, perangkat musik perkusi mampu menjelma menjadi properti di atas panggung.
Demikianlah, pentas Fatih: The Prince and The Drum menunjukkan bahwa, jika diolah secara kreatif, khazanah perkusi Nusantara sejatinya bisa menjadi medium ekspresi yang sangat kontemporer. Dan rentaknya mampu merekatkan semangat komunalitas bangsa Asia Tenggara.
BUDI IRAWANTO, PENELITI TAMU ISES-YUSOF ISHAK INSTITUTE, SINGAPUA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo