Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Indonesia dari Kamera Linda

”Buku ini merupakan rekaman perjalanan, pemikiran, dan kepedulian saya terhadap orang-orang biasa….”

6 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Dari Jawa Menuju Atjeh
Kumpulan Tulisan tentang Politik, Islam dan Gay
Penulis: Linda Christanty
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009 (200 hlm)

Demikian Linda Christanty­ memberikan pengantar dalam bukunya yang terbaru berjudul Dari Jawa Menuju Atjeh, sebuah kumpulan perjalanan ­jur­nalistik yang baru saja terbit. Ternyata buku berisi 17 judul tulisan itu bukan rekaman kepedulian tentang ”orang-orang biasa”, karena sebagian subyek yang ditulis Linda adalah orang luar biasa dalam sejarah: Pramoedya Ananta Toer, Wiji Thukul, dan Dede Oetomo. Dan penulisnya sendiri pun bukan seorang penulis biasa. Dia adalah aktivis SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) yang bergerak dengan gesit di bawah ancaman pemerintah Orde Baru; untuk kemudian bergabung dengan majalah Pantau (1999) dengan alasan ”saya dapat berpihak pada orang-orang biasa dan bersikap kritis terhadap kekuasaan”. Di antara ke­sibukannya meliput itu, Linda kemudian dikenal sebagai sastrawan yang melahirkan kumpulan cerita pendek Kuda Terbang Maria Pinto, yang memenangi Khatulistiwa Literary Award (2004).

Kumpulan tulisannya dimulai dengan sebuah perjalanan Linda ke Aceh, tempat untuk pertama kalinya dia membangun dan memimpin kantor berita Aceh Features Service. Linda membukanya dengan kalimat yang menggoda, yang membuat pembaca segera saja memutuskan untuk setia pada tulisannya: ”Dia hampir menendang laptop saya yang tersandar di kaki kursi.”

Lead seperti ini merebut perhatian. Linda, 39 tahun, seorang aktivis, sastrawan, dan wartawan yang memahami bagaimana menarik minat tanpa harus ”menjerit” atau berpretensi menggunakan kata-kata puitis. Kisah hari pertamanya bertemu dengan pengusaha Agam Patra adalah sikap khas seperti seorang yang sudah lama di Pulau Jawa, yang tak mengenali pemuka daerah. Ketika kawannya menyatakan bahwa Linda barusan diantar Agam Patra yang terkenal, Linda hanya memberikan reaksi: ”Oh….”

Hampir di semua tulisannya, ”Jurnalisme dalam Sepotong Amplop” (tentang saat pertama Linda bertemu dengan dunia ”jurnalisme bodrek” yang menghalalkan amplop), ”Arus Balik dalam Hidup Pramoedya Ananta Toer”, ”Wiji Thukul dan Orang Hilang” (tentu saja tentang Wiji Thukul), ”Gaya Nusantara”­ ­(tentang homoseksual di Indonesia), ”Adakah Pelangi dalam Islam”, Linda tidak menghakimi. Apa yang dia ceritakan adalah sebuah kisah yang pen­ting dalam sejarah dan posisi subyek itu dalam sejarah. Ia menceritakan dengan kalimat yang jernih, pas, dan sesekali lucu. Ini adalah faktor penting dalam sebuah penulisan artikel features dengan gaya literary journalism yang tampaknya menjadi acuan dalam gaya penulisan Linda.

Dalam penulisan literary journalism­ yang selalu menggunakan sang war­tawan sebagai ”kamera”, sebagai pence­rita, sangat sulit rupanya (bagi warta­wan Indonesia, paling tidak) untuk melupakan bahwa yang diceritakan bukanlah dirinya sendiri, tetapi: subyek berita. Beberapa tulisan gaya literary journalism­—yang sesekali dianut juga oleh majalah ini—sang wartawan malah sibuk dengan pemikirannya sendiri dan menjadikan subyeknya sebagai topik periferal. Dalam hal ini, Linda tahu, dia adalah sebuah ”kamera”; seorang pendongeng dan seorang wartawan. Dia tetap meletakkan Pramoedya, Wiji Thukul, Dede Oetomo di panggung cerita, tanpa melupakan reaksi dan pemikirannya sebagai bagian dari jalinan cerita.

Dalam artikel ”Gaya Nusantara”, kita mengenal Dede Oetomo, seorang gay yang berani keluar secara publik menyatakan orientasi seksualnya pada 1979, ketika soal homoseksualitas masih menjadi topik bisik-bisik. Linda bukan sekadar menyajikan Dede sebagai seonggok data biodata, tetapi dia meniupkan roh ke dalam tulisannya. Dede Oetomo seolah tampil seperti film dokumenter dalam bayangan kita; seseorang yang tidak mau kalah dan sangat nyaman dengan posisinya di masyarakat Indonesia yang masih memandang homoseksualitas sebagai ”sesuatu yang tidak normal”. Tetapi, lebih penting lagi, Linda ­selalu memberikan konteks, memberikan latar belakang sejarah dan situasi pada setiap gerakan subyeknya. Dalam kisah Dede, dia akan mengingatkan pembaca pada situasi politik dan sosial ketika Dede mulai mengumumkan ke­adaan dirinya, dari soal homoseksualitas dalam tradisi dan Serat Centhini. Linda juga memperkaya tulisannya dengan informasi guru besar Soetandyo Wignyosoebroto bahwa baru pada 1985 Departemen Kesehatan menghapus homoseksual dari daftar penyimpangan jiwa.

Dalam tulisan ”Adakah Pelangi dalam Islam”, Linda menekankan suatu pertanyaan penting yang sedang mengguncang negeri ini: apakah kebenaran itu tunggal? Apakah pemahaman Islam itu hanya satu? Lagi-lagi Linda tak ber­usaha menghakimi, meski jelas dia sangat memberikan empati kepada Ulil Abshar Abdalla, yang dikenai sanksi fatwa akibat tulisan-tulisannya.

Tulisan ”Batalion Terakhir” adalah ­penyajian Linda yang memperlihatkan betapa Linda sosok yang lucu (kelebihan yang harus dipelihara, karena penulis Indonesia biasanya terlalu serius dengan dirinya sendiri). Linda berkisah bagaimana tentara batalion terakhir di Aceh bergaya pada hari-hari terakhir sebelum mereka pulang ke Jawa. Dengan potongan rambut cepak, dan gaya kepingin difoto-foto dengan Linda, kita memba­yangkan sebuah hubungan yang menarik antara wartawan dan tentara. Dalam tulisan, kita mempersoalkan kekerasan mereka. Tetapi sehari-hari, tentara adalah manusia biasa yang sederhana dan rindu pada keluarga. Kemampuan Linda menggambarkan tingkah mereka dengan humor inilah yang sangat kurang dimiliki jurnalis Indonesia.

Buku ini bukan hanya melengkapi dan memperkaya pengetahuan kita tentang orang Indonesia (yang dikenal atau­pun yang tak dikenal) yang luar biasa kompleks; tetapi memberikan perenung­an: tak mudah untuk segera menghakimi dan bersikap moralistis pada kasus-kasus yang terjadi. Linda menarik pembaca untuk berpikir lebih jauh melalui penyajian yang asyik. Buku ini wajib dibaca bukan oleh wartawan saja, tetapi oleh seluruh warga Indonesia yang peduli untuk memperbaiki negeri ini.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus