Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Wajah-wajah yang Berbicara

Murid Sekolah Luar Biasa Santi Rama mendapat pendidikan pantomim dari aktor Prancis Philippe Bizot. Sangat digemari, sayangnya cuma berlangsung tiga bulan.

6 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mubarok berubah. Seko­nyong-konyong tubuhnya menggeliat menahan gatal, dua tangannya sibuk menggaruki sekujur badan, dan dahinya mengernyit. Ia gelisah. Tapi lihat, setelah menguap beberapa kali, suasana hatinya seperti berubah. Ia mengerling pada seorang gadis manis di sampingnya, tangannya hendak meraih sang gadis. Kini matanya terbuka le­bar, ia pun terkesima. Tetangganya bukan gadis manis itu, melainkan seorang pria berkumis.

Mubarok, 17 tahun, siswa kelas dua Sekolah Menengah Luar Biasa Santi Rama, Jakarta, telah menemukan dunianya: pantomim. Ia salah seorang di antara 40 siswa sekolah luar biasa itu yang selama tiga bulan mendapat sentuhan langsung aktor pantomim Prancis Philippe Bizot. Didukung Pusat Kebudayaan Prancis, Bizot melatih siswa Santi Rama, sejumlah kelompok teater, dan mahasiswa Universitas Indonesia.

Sabtu akhir Maret lalu, 150 remaja yang mendapat pelatihan Bizot—termasuk Mubarok—menunjukkan hasil­nya di Taman Menteng, Jakarta. Di si­tu, remaja tunarungu asal Peureulak, Aceh Timur, ini memerankan Si Malang Pierot, tokoh pada lakon pantomim abad ke-19, karya Jean-Gaspard Debereau. Hari itu, beberapa kali Mubarok tampil sebagai aktor utama.

Kursus kilat pantomim sepanjang November-Februari lalu itu telah membawa angin segar pada kegiatan ekstra­kurikuler di sekolah itu. ”Bukan hanya para murid yang belajar, tapi kami juga mendapat ilmu baru,” kata Yono, pengajar di sana. Selama ini Santi Rama hanya memiliki ekstrakurikuler standar sekolah di Tanah Air seperti menari, menggambar, atau berlatih taek­wondo.

Dan Bizot punya cukup pengalaman dalam hal ini. Ia sudah 30 tahun meng­ajar pantomim kepada anak-anak di li­ma benua—terutama mereka yang memiliki keterbatasan fisik: cacat, buta, tuli, autis, anak jalanan, penderita­ kanker, dan keterbelakangan mental. Bizot percaya, setiap manusia yang punya kekurangan di satu bidang pasti memiliki kelebihan di bidang lain. Dan anak tunarungu unggul dalam komunikasi visual. ”Mereka lebih mudah menangkap ekspresi mimik wajah atau gerakan tubuh,” katanya.

Di sekolah luar biasa itu, sensasi bunyi—bagi anak tunarungu—tentu saja tidak terdengar melalui telinga. Di sebuah aula yang berisi panggung luas dengan tinggi sepuluh sentimeter, mereka mencoba merasakan dan mengenali irama. Panggung itu dihubungkan­ dengan sistem suara yang memiliki sub­woofer kuat sehingga setiap getar­an atau dentuman yang ditimbulkan oleh musik akan terasa pada kaki anak-anak itu. ”Anak-anak belajar mengenai irama dan ketukan dengan melakukan latihan di atasnya,” kata Siti Rahayu, Kepala Sekolah Menengah Santi Rama.

Ya, keinginan untuk mendengar atau merasakan bunyi tak pernah berakhir. Untuk mendapatkan sensasi itu, sering kali siswa lantas membanting pintu,­ jendela, atau alat lain keras-keras. ”Bisa jadi (mereka melakukannya) karena tidak sengaja,” tutur Siti.

Kepada mereka, Bizot justru menyodorkan sesuatu yang menenangkan: latihan meniadakan suara. Menggunakan ring hulahop yang biasa digunakan untuk senam, Bizot melatih anak-anak itu melewati lingkaran ring tanpa menyentuh. Dan ia juga menuntun mereka menyusuri lorong hulahop sambil membawa lonceng—syaratnya lonceng tak boleh berbunyi. Ada juga latihan menyusun batang kayu tanpa menimbulkan bunyi sama sekali.

Ajaib, anak-anak tunarungu yang bia­sanya berisik itu menjadi tenang. Siti Rahayu bercerita bagaimana Bizot bisa menaklukkan seorang siswa yang suka mengganggu kelas dan sulit duduk diam. Diakuinya, betapa piawai Bizot berkomunikasi lewat mimik. Bila ada yang melakukan kesalahan, Bizot menegur dengan mimik. Tapi, bila bagus, Bizot memujinya dengan sangat ekspresif. ”Philippe galak. Kalau tidak suka, matanya melotot,” Mubarok tertawa.

Pelatihan Bizot diikuti dengan antusias. Jarang sekali ada yang membolos, kata para pengajar. Usia mereka bervariasi, dari 8 tahun hingga 15 tahun. Sebagian dari SD, sebagian lagi dari SMP dan SMA. Sebagian yang terlibat dipilih oleh wali kelas sebagai anak-anak yang biasanya tak terlalu menonjol prestasinya. Semuanya berjalan sangat menyenangkan bagi anak-anak.

Pantomim, menurut Bizot, adalah­ bentuk kesenian total yang mengga­bungkan unsur teatrikal, visual, musik, tari, konsentrasi, ingatan, dan emosi.­ Selama kursus, Bizot berkali-kali menekankan empat prinsip yang menda­sari pantomim: konsentrasi, elegan, per­caya diri, dan senang hati. Dengan konsentrasi pada tubuh dan wajah, para siswa diajari memaksimalkan ekspresi minus suara. Elegan diartikan sebagai gerakan yang halus dan indah. Percaya diri penting untuk kekuatan ekspresi individu. Sedangkan senang hati, ”Semua gerakan harus dilakukan dengan senang dan riang, pakai senyum,” kata Erna, staf pengajar Santi Rama.

Dan dengan senyum yang mengembang pula, Ayu menjalani lakonnya men­cuci dan menjemur pakaian di atas panggung. Dengan tersipu-sipu ia meminta tolong kepada dua lelaki untuk­ memegang tali jemuran di mana ia ­meng­gantung bajunya satu-satu. Dengan­ tersipu-sipu pula ia menggandeng lengan laki-laki ketiga, dan melewati kedua ”tukang jemur” itu yang langsung lemas melihat Ayu dalam gandengan pria lain.

Ayu mengaku senang dengan kursus pantomim itu, dan berharap kegiatan ini berlanjut terus dengan guru pantomim yang datang reguler ke ­sekolah. Pantomim membawanya ke dunia panggung yang, seperti film India yang ia gemari, gembira dan separuh rea­lita. ”Mencuci baju di rumah sudah setiap hari. Tapi tak pernah ada pria yang menunggui,” Ayu tertawa lebar.

Kurie Suditomo

Isyarat Non-Universal

Meski mengaku gembira dengan pengalamannya di Indonesia, Bizot mengakui ada satu kekhasan yang dirasakannya di sini: bahasa isyarat Indonesia berbeda dengan bahasa isyarat internasional yang dipela­jarinya. ”Tapi saya bisa mengakalinya, yang penting anak-anak bisa menangkap apa yang saya komunikasikan,” katanya.

Menurut Dimyati Hakim, salah seorang staf pengajar di Santi Rama yang pernah menjadi Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Bahasa Isyarat Indonesia, bahasa isyarat yang berlaku di Indonesia berdasar pada sistem isyarat struktural yang mengacu pada aturan tata bahasa Indonesia yang berlaku. Sedangkan American Sign Language adalah bahasa isyarat berbentuk konseptual yang tidak mengikuti aturan tata bahasa. Ini lebih sering disebut bahasa ekspresi atau mimik muka.

Yang belakangan ini adalah produk Amerika yang dikembangkan dari bahasa isyarat Prancis lama dari abad ke-18, dan tak bisa meng­akomodasi aturan bahasa lokal. ”Kami tunarungu Indonesia bila ke luar negeri menggunakan bahasa isyarat internasional,” kata Dimyati.

KS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus