MEMANGNYA orang buta itu kebal hukum?"--begitu ditanyakan Kepala
Kejaksaan Negeri Bogor, Alfian Husen SH. Tentu saja tidak. Tapi
tuduhan melakukan perampokan, dan vonis tiga bulan penjara bagi
si buta Hasan, berita yang cukup memedihkan.
Ia buta sejak berumur tiga tahun. Konon disebabkan oleh sebangsa
cacing yang menyerang matanya. Cacing semacam itu, sebenarnya,
hanya lazim beroperasi di Afrika sana. Entah mengapa sampai
menyerang mata si Hasan. Maka Hasan pun, 22 tahun, hidup
terlunta-lunta. Ia biasa menadahkan tangan, minta-minta, di muka
sebuah gereja dekat pemakaman kober di Petamburan--Jakarta
Barat. Selain itu ia ada pekerjaan tetap lain. Yaitu mulai lepas
maghrib dengan kacamata hitam, Hasan berjalan keluar. masuk
kampung dituntun oleh tongkatnya. Di tangannya ada sebuah kaleng
susu yang jika dihendak-hendakkan selalu berbunyi krontang ....
krontang.... Hasan memang tukang pijit keliling. Ia baru pulang
(rumahnya dekat pemakaman Petamburan juga), jika didengarnya
beduk subuh ditabuh orang. Kadang ia pulang, basah oleh embun,
tanpa memperoleh nafkah.
Nasib baik belum berpihak kepada si Hasan. Dan tanpa diketahui
apa yang sebenarnya terjadi, paling tidak begitu diakuinya,
mendadak ia jadi orang hukuman. Persis tiga bulan, ketika ia
dilepas Maret, ia ditutup di penjara di Jalan Pledang Bogor.
Hukuman itu diterimanya dari Hakim I Ktut Sugriwa SH, dari
Pengadilan Negeri Bogor, yang dengan yakin menyatakan: Si buta
Hasan terlibat dalam suatu perampokan bersenjata terhadap sopir
mobil President Taxi.
Subur & Budiyanto
Bagaimana si buta ini beraksi? Jaksa Singgih, yang membawa Hasan
kc pengadilan, menuduhnya berkomplot bersama penjahat lain,
Subur dan Budiyanto ketika menyodok Sopir Bahrun bin Abdulmajid.
Bahkan dalam pemeriksaan polisi Cibinong, katanya, ada pengakuan
Hasan yang hebat: la pernah melakukan lima kali penodongan
bersama Subur dan Budi itu juga.
Hasan geleng kepala. Dengan lirih dan memelas, dia membantah tak
pernah sekalipun berurusan dengan todongmenodong. Duduk
perkaranya, katanya, begini:
Seperti biasa, habis salat maghrib 1 Desember lalu, Hasan
berkrontangkrontang menjajakan kebisaan memijitnya. Belum jauh
dari rumahnya ada dua orang menyapanya. Orang yang pertama,
Subur, 22, sudah lama dikenalnya. Namun Budi, 21, baru
diperkenalkan Subur malam itu. Setelah berbincang beberapa saat,
kata Hasan, kedua temannya itu menawarkan jasa baik: hendak
mengikhtiarkan pengobatan mata ke salah seorang dukun pintar di
Bogor.
Bagaimana Hasan dapat menolak kebaikan ini? Akhirnya mereka
bersepakat hendak ke Bogor malam itu juga. Semua biaya, katanya,
menjadi tanggungan Subur.
Hasan digandeng Subur ke sebuah halte bis di Slipi. Di sana
Hasan menunggu setengah jam, sampai Subur dan Budi kembali
membawa sebuah taksi, sambil berpegangan tiang besi. Si buta ini
tak tahu apa-apa. Dia cuma merasa "naik sedan empuk" saja.
Pokoknya mereka langsung menuju Bogor.
Sepanjang jalan Hasan tak mendengar apa-apa selain bunyi radio
taksi. Sampai suatu ketika badannya mendadak terhentak. Dan
telinganya yang tajam mendengar suara keras Bruk! Setelah itu ia
tak sadarkan diri.
Sadar-sadar ia merasa di suatu tempat yang asing. Sekujur
tubuhnya dirasakan sakit. Kata orang yang merawatnya, cerita
Hasan, "bibir dan pelipis kiri berdarah." Dari tempat yang tak
diketahuinya itu, Hasan dibawa ke tempat asing lain. "Tempatnya
sempit" -- itulah sebuah ruangan di kantor polisi Cibinong.
Pemeriksaan cukup panjang dialami Hasan. Berangsur-angsur,
setelah 46 hari berada dalam tahanan, Hasan mulai faham apa yang
tengah terjadi atas dirinya. Ia dituduh melakukan penodongan.
Dan 16 Pebruari berikutnya ia mulai berhadapan dengan hakim.
Saksi utama, Bahrun, tak hadir di sidang pengadilan. Kabarnya ia
masih sakit--gegar otak. Tapi kesaksiannya dibacakan sebagai
berikut.
Menurut Bahrun, ketika taksinya sampai di Desa Nanggewer,
kira-kira 44 km dari Jakarta ke arah Bogor, ia mulai digarap
para penumpangnya. Katanya Hasan dan Subur, yang duduk di
belakangnya, memegangi badannya. Sementara Budi menyodok
perutnya dari samping dengan sebilah pisau. Bahrun diancam untuk
menyerahkan semua penghasilannya malam itu. Tapi sopir taksi Ini
tak gampang menyerah. Ia melawan.
Terjadi pergulatan di dalam mobil. Dan entah sadar atau tidak,
Bahrun membawa mobilnya ke pinggir jalan, dan menabrak pohon.
Dongkol, Tidak?
Budi dan Subur tak membantah tuduhan dan kesaksian. Ia
memberatkan Hasan: Si buta ini memang terlibat dalam kejahatan
mereka. Kedua tersangka ini dihukum penjara masing-masing dua
tahun potong tahanan. Hasan sendiri, sampai hakim mengetuk palu,
tetap saja merasa tak bersalah. Juga ia merasa tak pernah
melakukan lima kali penodongan di Tomang, Kebayoran atau
Pejompongan. Lalu bagaimana dengan pengakuannya kepada polisi?
Biasa--seperti lazim didalihkan banyak tersangka pengakuannya
itu diberikan karena "terpaksa." Hasan bilang, polisi melakukan
pemeriksaan dengan kekerasan. Sekali pernah dirasakan pelipisnya
disundut rokok. Alat vitalnya juga pernah dihantam kayu ketika
ia mandi, begitu katanya.
Namun Hakim Sugriwa yakin benar akan kesalahan Hasan. "Saya
punya alasan untuk menghukum pelaku penodongan taksi dengan
hukuman yang seberat-beratnya." Katanya, banyak polisi yang
berbisik-bisik kepadanya Belakangan ini sudah terlalu banyak
kejadian sopir taksi kena todong. Jadi pelakunya harap dihukum
berat saja. Alasan pribadi juga ada -- walaupun itu tak termasuk
dalam pertimbangan keputusannya. Yaitu dua tahun lalu, katanya,
mobil coltnya dibajak orang. Baru ketemu 20 hari kemudian di
Bandung. "Coba dongkol, tidak?" kata Hakim Sugriwa.
"Saya tak mau memberi komentar apa-apa tentang tulisan koran,"
kata Sugriwa, 40, lulusan FH Untag Jakarta (1966). Dia merasa
telah menjatuhkan hukuman bagi Hasan dengan penuh
perikemanusiaan. "Kalau tidak, hukuman tiga bulan itu sebenarnya
terlalu ringan."
Hasan keluar dari penjara di Jalan Pledang--Bogor 2 Maret lalu.
Penyambut kebebasannya lumayan juga. Ada anggota DPRD Kotamadya
Bogor, advokat, wakil dari Persatuan Pedagang Kecil dan
Persatuan Tukang Becak, Ikatan Dokter Indonesia Cabang Bogor dan
banyak juga perseorangan. Semuanya menyatakan ikut prihatin atas
nasib Hasan. Juga, tak lupa tentunya, sumbangan berupa uang dan
lain-lain ikut mengalir.
Sebelum ia meninggalkan penjara, yang dijemput oleh adik dan
ibunya untuk diboyong ke Cibadak, Hasan juga disambut dengan
beberapa pidato oleh para penjemputnya. Hasan sendiri cuma
menunduk. Beberapa kali ia menyeka matanya-- yang tampaknya tak
berairmata lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini