Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Si Buta Itu Bernama Hasan

Hasan, 22, yang buta sejak berumur 3 tahun dituduh terlibat perampokan terhadap sopir mobil president taxi bersama subur dan budiyanto. ia dihukum 3 bulan. (hk)

11 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMANGNYA orang buta itu kebal hukum?"--begitu ditanyakan Kepala Kejaksaan Negeri Bogor, Alfian Husen SH. Tentu saja tidak. Tapi tuduhan melakukan perampokan, dan vonis tiga bulan penjara bagi si buta Hasan, berita yang cukup memedihkan. Ia buta sejak berumur tiga tahun. Konon disebabkan oleh sebangsa cacing yang menyerang matanya. Cacing semacam itu, sebenarnya, hanya lazim beroperasi di Afrika sana. Entah mengapa sampai menyerang mata si Hasan. Maka Hasan pun, 22 tahun, hidup terlunta-lunta. Ia biasa menadahkan tangan, minta-minta, di muka sebuah gereja dekat pemakaman kober di Petamburan--Jakarta Barat. Selain itu ia ada pekerjaan tetap lain. Yaitu mulai lepas maghrib dengan kacamata hitam, Hasan berjalan keluar. masuk kampung dituntun oleh tongkatnya. Di tangannya ada sebuah kaleng susu yang jika dihendak-hendakkan selalu berbunyi krontang .... krontang.... Hasan memang tukang pijit keliling. Ia baru pulang (rumahnya dekat pemakaman Petamburan juga), jika didengarnya beduk subuh ditabuh orang. Kadang ia pulang, basah oleh embun, tanpa memperoleh nafkah. Nasib baik belum berpihak kepada si Hasan. Dan tanpa diketahui apa yang sebenarnya terjadi, paling tidak begitu diakuinya, mendadak ia jadi orang hukuman. Persis tiga bulan, ketika ia dilepas Maret, ia ditutup di penjara di Jalan Pledang Bogor. Hukuman itu diterimanya dari Hakim I Ktut Sugriwa SH, dari Pengadilan Negeri Bogor, yang dengan yakin menyatakan: Si buta Hasan terlibat dalam suatu perampokan bersenjata terhadap sopir mobil President Taxi. Subur & Budiyanto Bagaimana si buta ini beraksi? Jaksa Singgih, yang membawa Hasan kc pengadilan, menuduhnya berkomplot bersama penjahat lain, Subur dan Budiyanto ketika menyodok Sopir Bahrun bin Abdulmajid. Bahkan dalam pemeriksaan polisi Cibinong, katanya, ada pengakuan Hasan yang hebat: la pernah melakukan lima kali penodongan bersama Subur dan Budi itu juga. Hasan geleng kepala. Dengan lirih dan memelas, dia membantah tak pernah sekalipun berurusan dengan todongmenodong. Duduk perkaranya, katanya, begini: Seperti biasa, habis salat maghrib 1 Desember lalu, Hasan berkrontangkrontang menjajakan kebisaan memijitnya. Belum jauh dari rumahnya ada dua orang menyapanya. Orang yang pertama, Subur, 22, sudah lama dikenalnya. Namun Budi, 21, baru diperkenalkan Subur malam itu. Setelah berbincang beberapa saat, kata Hasan, kedua temannya itu menawarkan jasa baik: hendak mengikhtiarkan pengobatan mata ke salah seorang dukun pintar di Bogor. Bagaimana Hasan dapat menolak kebaikan ini? Akhirnya mereka bersepakat hendak ke Bogor malam itu juga. Semua biaya, katanya, menjadi tanggungan Subur. Hasan digandeng Subur ke sebuah halte bis di Slipi. Di sana Hasan menunggu setengah jam, sampai Subur dan Budi kembali membawa sebuah taksi, sambil berpegangan tiang besi. Si buta ini tak tahu apa-apa. Dia cuma merasa "naik sedan empuk" saja. Pokoknya mereka langsung menuju Bogor. Sepanjang jalan Hasan tak mendengar apa-apa selain bunyi radio taksi. Sampai suatu ketika badannya mendadak terhentak. Dan telinganya yang tajam mendengar suara keras Bruk! Setelah itu ia tak sadarkan diri. Sadar-sadar ia merasa di suatu tempat yang asing. Sekujur tubuhnya dirasakan sakit. Kata orang yang merawatnya, cerita Hasan, "bibir dan pelipis kiri berdarah." Dari tempat yang tak diketahuinya itu, Hasan dibawa ke tempat asing lain. "Tempatnya sempit" -- itulah sebuah ruangan di kantor polisi Cibinong. Pemeriksaan cukup panjang dialami Hasan. Berangsur-angsur, setelah 46 hari berada dalam tahanan, Hasan mulai faham apa yang tengah terjadi atas dirinya. Ia dituduh melakukan penodongan. Dan 16 Pebruari berikutnya ia mulai berhadapan dengan hakim. Saksi utama, Bahrun, tak hadir di sidang pengadilan. Kabarnya ia masih sakit--gegar otak. Tapi kesaksiannya dibacakan sebagai berikut. Menurut Bahrun, ketika taksinya sampai di Desa Nanggewer, kira-kira 44 km dari Jakarta ke arah Bogor, ia mulai digarap para penumpangnya. Katanya Hasan dan Subur, yang duduk di belakangnya, memegangi badannya. Sementara Budi menyodok perutnya dari samping dengan sebilah pisau. Bahrun diancam untuk menyerahkan semua penghasilannya malam itu. Tapi sopir taksi Ini tak gampang menyerah. Ia melawan. Terjadi pergulatan di dalam mobil. Dan entah sadar atau tidak, Bahrun membawa mobilnya ke pinggir jalan, dan menabrak pohon. Dongkol, Tidak? Budi dan Subur tak membantah tuduhan dan kesaksian. Ia memberatkan Hasan: Si buta ini memang terlibat dalam kejahatan mereka. Kedua tersangka ini dihukum penjara masing-masing dua tahun potong tahanan. Hasan sendiri, sampai hakim mengetuk palu, tetap saja merasa tak bersalah. Juga ia merasa tak pernah melakukan lima kali penodongan di Tomang, Kebayoran atau Pejompongan. Lalu bagaimana dengan pengakuannya kepada polisi? Biasa--seperti lazim didalihkan banyak tersangka pengakuannya itu diberikan karena "terpaksa." Hasan bilang, polisi melakukan pemeriksaan dengan kekerasan. Sekali pernah dirasakan pelipisnya disundut rokok. Alat vitalnya juga pernah dihantam kayu ketika ia mandi, begitu katanya. Namun Hakim Sugriwa yakin benar akan kesalahan Hasan. "Saya punya alasan untuk menghukum pelaku penodongan taksi dengan hukuman yang seberat-beratnya." Katanya, banyak polisi yang berbisik-bisik kepadanya Belakangan ini sudah terlalu banyak kejadian sopir taksi kena todong. Jadi pelakunya harap dihukum berat saja. Alasan pribadi juga ada -- walaupun itu tak termasuk dalam pertimbangan keputusannya. Yaitu dua tahun lalu, katanya, mobil coltnya dibajak orang. Baru ketemu 20 hari kemudian di Bandung. "Coba dongkol, tidak?" kata Hakim Sugriwa. "Saya tak mau memberi komentar apa-apa tentang tulisan koran," kata Sugriwa, 40, lulusan FH Untag Jakarta (1966). Dia merasa telah menjatuhkan hukuman bagi Hasan dengan penuh perikemanusiaan. "Kalau tidak, hukuman tiga bulan itu sebenarnya terlalu ringan." Hasan keluar dari penjara di Jalan Pledang--Bogor 2 Maret lalu. Penyambut kebebasannya lumayan juga. Ada anggota DPRD Kotamadya Bogor, advokat, wakil dari Persatuan Pedagang Kecil dan Persatuan Tukang Becak, Ikatan Dokter Indonesia Cabang Bogor dan banyak juga perseorangan. Semuanya menyatakan ikut prihatin atas nasib Hasan. Juga, tak lupa tentunya, sumbangan berupa uang dan lain-lain ikut mengalir. Sebelum ia meninggalkan penjara, yang dijemput oleh adik dan ibunya untuk diboyong ke Cibadak, Hasan juga disambut dengan beberapa pidato oleh para penjemputnya. Hasan sendiri cuma menunduk. Beberapa kali ia menyeka matanya-- yang tampaknya tak berairmata lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus