Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NOTIFIKASI itu diterima Delima Silalahi, 46 tahun, melalui sambungan telepon seluler pada akhir Oktober 2022. Di ujung telepon, Direktur Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) itu merasa ragu ketika perwakilan dari San Francisco, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa dia mendapat Goldman Environmental Prize 2023 untuk kategori negara pulau dan kepulauan.
Mulanya Delima menganggap pemberitahuan tentang penghargaan bidang lingkungan itu sebagai penipuan. Namun, saat mereka mengirimkan surat elektronik dengan lampiran dokumen-dokumen, dia baru yakin bahwa benar ia memperoleh penghargaan. "Saya pikir itu penipuan yang menyatakan dapat penghargaan dan sebagainya,” kata Delima saat ditemui Tempo di Jakarta, Selasa, 9 Mei lalu.
Delima adalah satu dari enam aktivis lingkungan dari sejumlah negara yang dipilih oleh juri Goldman Environmental Foundation sebagai penerima penghargaan. Juri memilih Delima atas dedikasinya bersama KSPPM dalam gerakan pelindungan hutan adat di Sumatera Utara. Berkat kampanye yang dilakukan Delima dengan KSPPM dan komunitas masyarakat adat, pemerintah memberikan hak pengelolaan sah atas 7.213 hektare hutan adat kepada enam kelompok masyarakat adat di Tano Batak pada Februari 2022.
Enam kelompok masyarakat adat itu menjalankan program pemulihan kawasan hutan adat dengan mulai menanam lagi spesies hutan asli. Salah satunya kemenyan. Mereka adalah komunitas masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta, Nagasaribu Onan Harbangan, Bius Huta Ginjang, Janji Maria, Simenak-menak, dan Tornauli Aek Godang Adiankoting.
Delima Silalahi dan para aktivis/Edward Tigor Siahaan
Bagi Delima, penghargaan Goldman yang ia terima bukan capaian pribadi. Karena itu, dia sempat bertanya kepada anggota di KSPPM dan beberapa komunitas mengenai pertimbangan menerima penghargaan tersebut. Delima sangat sadar, kerja-kerjanya dalam memperjuangkan pengakuan atas hak masyarakat adat itu bukan kerja individual. "Mereka sampaikan, itu apresiasi terhadap kerja-kerja kita, kerja bersama. Jadi diterima saja," tutur Delima.
Delima terbang ke Amerika Serikat untuk menerima penghargaan tersebut pada Senin, 17 April lalu. Selain menghadiri acara seremonial di San Francisco, Delima berkesempatan bertemu dengan beberapa jaringan lingkungan di tingkat internasional. “Jadi panitia mempersiapkan acara cukup baik, ya,” ujarnya.
Delima bukan orang Indonesia pertama yang mendapat Goldman Environmental Prize. Sebelumnya ada nama Loir Botor Dingit, pejuang lingkungan dari Dayak Bentian, Kalimantan Timur, yang menerimanya pada 1997; Yosepha Alomang pada 2001; Yuyun Ismawati pada 2009; Prigi Arisandi pada 2011; Aleta Baun, pejuang penentang tambang marmer di Nusa Tenggara Timur, pada 2013; dan Rudi Putra, yang konsisten menjaga hutan Leuser dan perlindungan badak Sumatera, pada 2014.
•••
SELAMA hampir 23 tahun Delima Silalahi mendampingi masyarakat adat di Tano Batak untuk mendapatkan hak-hak mereka. Delima mengibaratkan upayanya itu seperti melangkah di jalan sunyi dan mendaki gunung yang terjal.
Lahir di Siborongborong, Sumatera Utara, Delima berjumpa dengan Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat, lembaga swadaya masyarakat lokal yang mendampingi petani dan masyarakat adat dalam isu lingkungan serta pemenuhan hak tanah, ketika masih kanak-kanak. Rumahnya tidak jauh dari kantor KSPPM. Delima kecil tertarik pada kiprah organisasi tersebut.
Pada medio 1996 sampai 1998, ketika Delima menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, ketertarikannya pada KSPPM makin dalam. Saat itu KSPPM begitu aktif dalam gerakan yang menuntut penutupan PT Toba Pulp Lestari. Dia juga rutin mengikuti diskusi-diskusi tentang politik dan lingkungan.
“Ketertarikan saya sebenarnya untuk gerak di isu lingkungan dan sosial,” katanya. “Dan saya pilih di Tano Batak,” ujar Delima, yang memang memilih tidak merantau ke daerah lain dan tinggal di tanah kelahirannya.
Pada 1999, setelah lulus kuliah, Delima bergabung dengan KSPPM. Dia begitu menikmati kerja-kerja bersama komunitas masyarakat adat di Tano Batak. Praktik seperti turun langsung ke lapangan, terlibat dalam diskusi, serta transfer pengetahuan dalam isu lingkungan, hukum, dan politik juga dijalankan Delima bersama KSPPM. Dia merasa komunitas masyarakat adat dan petani begitu tulus menerima kehadiran KSPPM.
“Jadi yang membuat kami tetap bergerak itu harapan. Saat kami putus asa, komunitas masyarakat adat menguatkan. Sebaliknya, saat mereka lemah, kami yang menguatkan,” tuturnya. “Di samping itu, ada jaringan-jaringan teman yang satu gerakan. Jadi selalu ada jalan.”
Pada awal terjun mendampingi masyarakat adat, Delima dan anggota KSPPM lain kerap mendapat teror berupa pesan pendek dari nomor tak dikenal. Pesan tersebut berisi intimidasi, ancaman, hingga pelecehan secara verbal. Seiring dengan waktu, metode intimidasi makin bervariasi. Misalnya, Delima dan KSPPM dituduh sebagai provokator dan sumber konflik. Apalagi narasi semacam itu diembuskan di media sosial dan dibangun untuk memecah-belah masyarakat.
Delima dan KSPPM tidak ambil pusing terhadap hal-hal semacam itu. Keyakinan bahwa semua pekerjaan dilakukan secara tulus terus dirawat agar langkahnya bersama komunitas masyarakat adat Tano Batak tetap berjalan. Delima juga menaruh kesan baik kepada masyarakat adat yang telah bekerja sama bertahun-tahun. Misalnya, setiap kali hendak Delima dan anggota KSPPM lain pulang dari satu desa, masyarakat adat selalu mendoakan keselamatan mereka.
Hal itulah yang membuat Delima tetap kuat hingga kini. "Harapan mereka terhadap kami juga besar, kepercayaan mereka terhadap kami adalah harga yang paling mahal,” ucap Delima.
Melalui gerakan ini, Delima juga ingin membantah narasi yang menyebut masyarakat adatlah yang merusak hutan. Menurut dia, yang terjadi justru sebaliknya. Hutan yang dikelola komunitas adat masih lebih baik ketimbang hutan yang diklaim sebagai kawasan milik negara.
Delima menjelaskan, masyarakat adat Tano Batak memelihara hutan sebagaimana mereka merawat ruang hidup. Sebab, tanah adalah identitas. Masyarakat adat juga meyakini sistem komunal dalam pengelolaan hutan adat. “Jadi bagi mereka itu harus dijaga,” ujarnya. Dengan demikian, Delima menambahkan, narasi masyarakat adat dalam menjaga alam harus dibangun. “Tujuannya, menghilangkan stigma negatif terhadap masyarakat adat yang disebut anti-pembangunan.”
Delima Silalahi saat menerima Goldman Environmental Prize 2023/Youtube.com/Goldman Environmental Prize
Delima masih berpegang pada keyakinan masyarakat adat yang menyebut tanah sebagai "Ibu Pertiwi". Di tengah kultur patriarki, dia mengatakan posisi perempuan dalam perjuangan masyarakat adat di Sumatera Utara sangat besar. Dia menyebutkan banyak perempuan yang berpikir bahwa bumi tidak hanya berfungsi sekali berproduksi. Artinya, bumi tetap harus dijaga untuk bisa bereproduksi bagi generasi berikutnya.
“Ketika ada yang mengganggu tanah mereka, itu dianggap mengganggu ibu mereka. Dan ketika tanah dirampas, perempuan yang merasakan dampaknya, mereka kehilangan sumber pencarian,” tutur ibu dua anak ini.
Bersama rekan-rekan di KSPPM, Delima juga melakukan pendidikan melalui diskusi-diskusi kesetaraan gender. “Tujuannya adalah memastikan sejauh mana keterlibatan perempuan dalam gerakan komunitas masyarakat adat,” ucap Delima.
Karena itu, Delima menegaskan, langkahnya untuk terus mendampingi masyarakat adat mendapat pengakuan masih sangat panjang. Masyarakat adat, Delima melanjutkan, berada di garda terdepan dalam upaya menyelamatkan hutan dari kondisi krisis. Hal itu terbukti dari kembalinya pengelolaan sah terhadap 7.213 hektare tanah hujan tropis bagi enam kelompok masyarakat adat di Sumatera Utara.
Mereka juga kembali menanam kemenyan dan merestorasi hutan sehingga menciptakan serapan karbon berharga di hutan tropis Indonesia dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. “Karena apa yang dilakukan masyarakat adat itu bukan hanya untuk kehidupan mereka sendiri, tapi kehidupan kita semua,” kata Delima.
•••
PERWAKILAN dari Komunitas Masyarakat Adat Pargamanan Bintang-Maria, Eva Junita Lumban Gaol, mengatakan selama ini ia menyaksikan Delima Silalahi bersama Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat kerap turun langsung ke lapangan untuk memberikan pelatihan dan transfer pengetahuan. Misalnya sekali dalam sebulan mereka menggelar pelatihan dalam isu hukum dan ekonomi.
Menurut Eva, transfer pengetahuan itulah yang membikin komunitas di masyarakat adat Tano Batak memahami posisi tawar ketika harus berhadapan dengan perusahaan dan pemerintah. "Banyak yang mereka lakukan,” ujar Eva, yang ikut menyaksikan ketika Delima naik ke atas panggung menerima Goldman Environmental Prize di Opera House, San Francisco, Senin, 24 April lalu.
Eva berharap penghargaan Goldman yang diterima Delima bukanlah akhir perjuangan masyarakat adat Tano Batak. Eva menuturkan, ada sebuah komitmen yang harus tetap dijaga, yaitu merawat hutan agar bisa dinikmati generasi berikutnya. "Kalau merawat sudah jadi kewajiban kami," kata Eva.
Peneliti dan akademikus Sandra Moniaga punya kesan lain terhadap sosok Delima. Menurut dia, Delima, yang serius meneliti masyarakat adat, ikut memperkaya kerja-kerja KSPPM yang sudah berlangsung puluhan tahun dengan kajian yang lebih konseptual. Delima juga mendokumentasikan secara sistematis gerakan masyarakat adat Tano Batak.
Sandra menyebutkan Delima bisa menghubungkan praktik di lapangan dengan berbagai macam teori yang ia pelajari saat menempuh kuliah magister di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Terlebih, Sandra menambahkan, aksi Delima sejalan dengan komitmen KSPPM sejak awal dalam mendampingi masyarakat adat Sumatera Utara. “Jadi dalam gerakan dia bisa mengabstraksikan apa yang terjadi di lapangan. Dan itu perlu dalam sebuah gerakan," ucap Sandra melalui sambungan telepon, Kamis, 11 Mei lalu.
Delima Silalahi (kiri) dalam konfrensi pers dan temu wicara “Pengakuan Hutan Adat di Indonesia: Peluang dan Tantangan” di Jakarta , 9 Mei 2023/Tempo/ Yosea Arga Pramudita
Sandra melanjutkan, perjalanan panjang Delima bersama KSPPM dan masyarakat adat di Tano Batak mempunyai kontribusi penting dalam penyelamatan lingkungan. Tentunya hal itu bisa menjadi refleksi bagi masyarakat luas dan pemerintah atas berbagai macam masalah. "Jadi saya berharap, dengan adanya penghargaan ini, pemerintah melihat lebih serius permasalahan masyarakat adat," tuturnya.
Abdon Nababan, aktivis yang juga menaruh perhatian pada isu masyarakat adat, melihat Delima sebagai sosok yang mampu bekerja sama dengan banyak orang. Sebagai pemimpin di KSPPM, dia mampu meluaskan perjuangan masyarakat adat dengan mengajak pihak lain baik yang berada di lapangan maupun di level pemerintahan. "Itu yang saya pikir bisa diamati dari seorang Delima Silalahi," kata penerima Ramon Magsaysay Award 2017 tersebut melalui sambungan telepon.
Menurut Abdon, pemberian penghargaan Goldman kepada Delima mempunyai banyak dimensi. Salah satunya penghargaan itu bisa memperkuat kesadaran publik terhadap kawasan Danau Toba. Sebab, Abdon menjelaskan, banyak orang yang menolak kehadiran perusahaan yang mengelola hutan di sana, tapi tidak cukup mencernanya sebagai suatu masalah yang serius.
“Paling tidak memberi entakan, bahwa ini masalah serius dan dilawan oleh masyarakat yang tidak berhenti berjuang," ucapnya. "Dan di tengah-tengah itu ada Delima Silalahi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo