Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Instalasi Arsitektur Sunaryo

Pameran Sunaryo merespons furnitur Philippe Starck. Kebutuhan akan karya seni rupa seperti kebutuhan akan garam di dapur.

11 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUISI TITIK PUTIH
Pameran seni rupa
Karya:Sunaryo
Tempat: Decorous, Jakarta Pusat
SATU langkah perkembangan Sunaryo kali ini adalah keberhasilannya dalam merespons furnitur karya Philippe Starck. Di galeri furnitur Decorous, Slipi, Jakarta Pusat, yang dipimpin oleh Eileen Rachman, Sunaryo menghangatkan Ibu Kota, yang sehari-hari terus diguyur hujan lebat, dengan sebuah persembahan karya terbaru.

Pada awalnya, Sunaryo tertarik pada plafon yang rendah di showroom Decorous yang menawarkan furnitur kelas dunia karya arsitek Philippe Starck, Antonio Citterio, ataupun Mario Bellini itu. Akhirnya, Sunaryo merespons secara menyeluruh (terhadap kursi, meja, vas, rak, dingklik, tangga, dan lampu), yang melahirkan instalasi arsitektur yang oleh Jim Supangkat, kurator Sunaryo, disebut sebagai instalasi ruang.

Tiga puluh lembar lukisan dan beberapa batang patung menandai Sunaryo berkarya kembali. Setelah absen dua tahun dan membungkus karya-karyanya dengan kain hitam tanda berkabung dalam pameran "Titik Nadir"(1998) di Bandung, Sunaryo tampil lebih akrab ke publik lewat "Puisi Titik Putih"ini. Ia membagi showroom itu menjadi delapan ruang. Ia menampilkan berbagai pendekatan. Pada ruang IV, ia menandaskan keberhasilannya membawa seni rupa menjadi kebutuhan sehari-hari sebagaimana kita membutuhkan garam untuk masakan kita. Di ruang ini ia memajang empat lukisan, satu patung, dan dua tabung daun kering untuk merespons kursi karya Starck, sofa dan bufet (Antonio Citterio), meja makan (Paulo Piva), rak (Studio Kairos), karpet (Studio Rembrandt), TV (Sony), dan vas (Studio Cappellini). Inilah ruang keluarga yang khas: santai, menyatukan keluarga, dan membebaskan.

Masih ada tujuh ruang lagi yang mengusik. Pada ruang II, instalasi Antara Bumi dan Langit menyatukan yang di atas dengan yang di bawah dengan kain putih yang menutup plafon. Di ruang ini ia menampilkan lukisan panjang Pantai Nelayan, karya Antara Bumi dan Langit, yang menghubungkan ruang dalam dengan ruang luar yang dipisahkan kaca dinding showroom, tebaran daun kering yang memenuhi seluruh lantai, dan ranting-ranting. Itu semua merespons sofa warna biru dari Studio Cassina.

Sedangkan ruang Enlightment menyuguhkan lukisan putih, Pusaran Titik Putih, suatu pemandangan situasi Ka'bah dilihat dari atas. Untuk melihat lukisan Ka'bah itu, pandangan mata kita melewati dinding kain putih yang berlubang bundar. Di ruang itu, sejumlah kursi Starck menggeletak di atas lantai yang dipenuhi tebaran daun kering. Sementara itu, pada dindingnya terdapat lampu-lampu dengan berbagai desain yang bertonjolan dari tangan para desainer kenamaan itu.

Yang problematik pula, di ruang V ia memajang lima kursi Starck fleksiglas yang masing-masing ia buatkan lima patung pipih fleksiglas macam wayang kulit. Di sebelahnya, Sunaryo memajang lima dinding sisa dari patung-patung itu, sementara di kaki kursi-kursi yang beralaskan level kayu ia memajang lampu warna hijau yang byar-pet bergantian nyalanya. Untuk karya Starck-Naryo ini, ia memberi judul Kursi-Kursi Bening. Pada tembok latar belakang kursi-kursi ini, Sunaryo membuat sketsa dengan warna sinar—menyala, pantulan dari neon di depannya.

Agaknya ia sedang bermain, mencoba menggali elan-vitalnya kembali, yang dua tahun disapu oleh krisis kepercayaan karena keguncangan politik, sosial, dan ekonomi. Dalam pergelaran pamerannya itu, ada acara pembukaan bungkus sebuah patungnya di Jakarta dan seluruh selubung yang membungkus semua karya-karyanya di selasarnya di Bandung, yang ditutupnya selama dua tahun itu. Ini simbol kelahiran kembali. Menarik pula dikaji bahwa Jim Supangkat, kuratornya, telah melihat potensinya sebagai akibat atau hasil gesekan dengan kehidupan panggung bersama seniman-seniman Bandung, sehingga ia memberi kata pengantar pamerannya ini dengan judul "Seni Rupa Teatrikal Sunaryo".

Yang sangat mengejutkan adalah perhatian para kolektornya. Setelah mendengar ia melukis kembali, para kolektornya serta-merta antre untuk memesan karya-karyanya. Dari 30 lukisannya, 26 di antaranya laku ketika pamerannya dibuka oleh penyair Taufiq Ismail, dengan nilai jual Rp 2,115 miliar. Sebuah lukisan Ka'bah-nya, Pusaran Titik Putih, laku Rp 250 juta. Sebuah lukisannya, termasuk yang bagus sekali, Titian Bidadari, justru tidak dikoleksi para pengagumnya.

Danarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum