Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mendalang dan menyanyi dengan iringan musik. Itulah kesan pertama jika mende-ngarkan album terbaru Sujiwo Tejo, Syair Dunia Maya. Sebelas lagu dalam album ini memiliki gaya geguri-t-an, yaitu bentuk pantun tradi-si-onal Nu-santara, berisi susunan -ka-ta, membentuk kalimat yang enak di-ucapkan dan nyaman dide-ngar. Tejo yang kerap menyebut diri sebagai -"da-lang edan" ini mengadopsi po-la ge-gurit-an Jawa.
Pada album ketiga, seperti juga dua album sebelumnya, Pada Suatu Ketika (1998) dan Pada Sebuah Ranjang (1999), sang dalang mengandalkan kata-kata sebagai bunyi melodius. Kata bukan hanya sebagai kata, tapi kata yang bermakna bunyi, sehingga menjadi sangat musikal. Coba simak sebagian lirik Ma:
Madya ratri, MaSak Madya atiku, MaMadek mangun kung
(Benderang, Mama, MaMata hatiku, MaMalam walau tak ganti-ganti pagi, Ma...)Karena lelaki kelahiran Jember 43 ta-hun silam ini memang mengutama-kan bunyi kata ketimbang bahasa yang digunakan dan apa artinya. -Ti-dak ada arti kata Lala dalam Aku Lala Padamu, tapi Tejo ingin menyam-paikan, lagunya itu adalah ungkapan ke-rinduan luar biasa, yang tak ada -pa-danan katanya.
...Inti kangenAku lalaSangat lalaPadamu
Menurut Tejo, semula semua syair al-bum terbarunya akan ditulis dalam bahasa Indonesia. Namun, setelah bergelut sekitar lima tahun, ia mene-mukan problem kebahasaan dalam bahasa nasional kita. "Tak ada istilah-istilah konsonan yang meletup," katanya. Alhasil, hampir semua lagu da-lam album ini bersyair Jawa dan satu lagu berbahasa Madura kuno, Zen-Die.
Jika syairnya berbahasa daerah, komposisi musik Syair Dunia Maya berbasis gamelan. Hal ini tak lepas de-ngan kedekatan Tejo dengan pe-r-angkat musik pentatonis ini. Sejak kecil putra Soetedjo, seorang dalang cukup kondang di Jawa Timur, ini sudah akrab dengan gamelan lewat wayang dan ludruk. Bagi Tejo, gamelan telah menjadi seperti naluri bermusiknya.
Menurut pria jebolan Teknik Si-pil, Institut Teknologi Bandung, ini, game-lan menjadi semacam perangkat lunak dalam bermusik, yang bisa diter-jemahkannya ke dalam alat mu-sik lain, seperti piano, violin, bas, sak-so-fon, xilofon, dan harpa. Hasilnya, sebuah komposisi musik bergaya klothekan, permainan bunyi-bunyian perkusi.
Simak Hujan Deras yang menjadi la-gu pembuka dalam album itu. Lagu dibuka dengan denting xilofon yang mengalir lembut, yang mengingatkan pada bunyi saron gamelan Jawa. Mu-sik disusul dengan betotan bas Bintang Indrianto, dipadu gesekan biola dan cello. Setelah itu, paduan suara bo-cah perempuan, yang mengingatkan pada lagu-lagu dolanan anak-anak, meng-alun mengawal suara Tejo.
Dengan gamelan, Tejo merasa tidak terikat dalam menyampaikan ek-spresi lagu: rasa sedih tidak harus di-lan-tun-kan secara melankolis, tapi bisa juga dengan rancak, dan sebalik-nya. Lagu Zen-Die-judul diambil da-ri bahasa Madura-menggambarkan kehancuran hati yang remuk redam, tapi dilantunkan "bersemangat".
Pengamat musik, Denny Sakrie, me-nya-takan, ketiga album Tejo semua-nya memanfaatkan bunyi-bunyian ka-ta menjadi bunyi-bunyian musikal. Dalam Syair Dunia Maya, Tejo tampil le-bih eksploratif dan total. "Pengguna-an bunyi bahasa verbal menjadi musikal terasa lebih kuat," katanya.
Denny mencontohkan lagu Pana-ka-wan dan Saya. Dengan gaya akapela, Tejo memerankan enam tokoh wa-yang: Bagong, Semar, Petruk, Gareng, Bilung, dan Togog. Keenam tokoh itu bernyanyi, berdialog, ber-sahutan, tanpa musik. Lontaran kata-kata mereka menjadi struktur musik menarik, seperti ensemble.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo