PENGAMAT film Hollywood jauh-jauh hari sudah meramalkan bahwa Ishtar - film komedi termahal itu - pembuatannya akan berantakan, karena dibintangi tiga nama besar: Warren Beatty, Dustin Hoffman, serta Elaine May. Yang disebut terakhir adalah sutradara wanita, seorang sineas dengan sentuhan humor pekat, dan lebih dari itu, seorang perfeksionis. Sedangkan Beatty pernah berkibar di sini lewat Bonnie and Clyde - adalah aktor serba bisa (dia memenangkan Oscar untuk penyutradaraan Reds), sementara Hoffman adalah pemain watak yang hampir tak ada duanya (The Graduate, Kramer vs Kramer). Gagasan untuk tampil sebagai trio datang dari May, alasannya, "kita bisa melucu bersama", sedang Beatty memang sejak dulu mendambakan kesempatan itu. Spekulasi pun beredar: baaimana tia oran yang begitu berbakat, begitu hebat, serta sama-sama perfeksionis, bisa bekerja sama. Apalagi dua orang dari mereka bekerja rangkap: Sutradara May juga menulis skenario, Beatty, di samping akting, bertanggung jawab sebagai produser. Tapi apa yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Ketiga tokoh itu terbukti kompak, saling mengagumi, saling mengisi. Toh, Ishtar belum bebas dari gunjingan. Media massa di AS ramai-ramai membicarakan biayanya. Film ini dihebohkan sebagai komedi seharga US$ 40 juta. Dibiayai bersama oleh Columbia Pictures (yang induk perusahaannya adalah Coca-Cola) dengan Time Inc., serta US$ 11,5 juta dari Beatty dan Hoffman, Ishtar belum apa-apa sudah diramalkan gagal. "Ishtar dipenuhl hlburan-hiburan kecil digerakkan oleh kemampuan akting yang tak terbantah, tapi sehabis menontonnya, Anda tidak juga merasa kenyang," demikian Newseele (edisi 18 Mei 1987). Pada dasarnya, kritikus kecewa, bukan saja karena dua bakat besar yang bergabung itu - Beatty dan Hoffman - dibiarkan tidak muncul dalam penampilannya yang terbaik, melainkan juga lantaran biaya sebesar 40 juta dolar tidak tercermin dalam Ishtar. Oleh para kritikus, film itu sama saja dengan komedi-komedi 5-10 juta dolar, kendati tidak mereka jelaskan apa beda komedi 40 juta dolar dan 10 juta dolar. Yang pasti, Ishtar dianggap boros. Belum pembuatannya yang tertunda enam bulan, dan pemutarannya yang tersendat-sendat. Semua kecaman itu bagaikan promosi laiknya, hanya saja, amat merugikan. Ishtar bercerita tentang dua pencipta lagu kelas tiga: Chuck Clarke (Dustin Hoffman) dan Lyle Rogers (Warren Beatty), yang berduet di restoran di New York. Malang, pertunjukan mereka tidak disambut penonton, dan Chuck merasa masa depannya gelap. Keduanya sedang sial, memang. Chuck ditinggal istri, Lyle ditinggal pacar. Chuck bahkan ingin bunuh diri, tapi "diselamatkan" Lyle, yang meyakinkan bahwa sebagai pengamen dan pencipta lagu, dia bukanlah kartu mati. Lalu muncul seorang agen artis yang menawarkan kontrak menyanyi 10 minggu di luar negeri: Honduras atau Marokko. Keduanya memilih Marokko negeri yang juga tidak bisa menghargai bakat-bakat mereka - hingga kandas di Ishtar, sebuah tempat fiktif yang menawarkan suasana membingungkan. Di bagian cerita yang paling tidak masuk akal ini lengkap dengan seorang wanita cantik (dimainkan Isabelle Adjani) yang disalahtafsirkan sebagai teroris, lalu seorang agen CIA yang merekrut Chuck dengan bayaran 150 dolar seminggu dan seekor unta yang matanya buta - film menjadi semakin tidak menarik. Padahal, tema petualangan dua artis kelas tiga yang mengembara di padang pasir, kemudian terlibat dalam revolusi yang disponsori CIA, semestinya, di samping meriah dan kocak, tentu seru seram. Menurut komentar seorang kritikus, gaya khas komedi May - yang scrba kenes tidak keiihatan di sini, sementara perpindah adegan kerap kali terlalu sermg dan terlalu cepat. Kehadiran agen CIA - diperankan Charles Grodin yang berhasil memadukan sikap santai dan tipu muslihat, justru agak menolong. Tapi Grodin tidak bisa menyelamatkan Ishtardari protes masyarakat Arab Amerika. Abdeen Jabara, ketua Komite Amerika-Arab Anti-Diskriminasi, mengecam adegan-adegan film itu, yang, katanya, menghina Arab dan Muslim. "Dehumanisasi dan pembanditan seseorang semata-mata karena bangsa dan agamanya samalah dengan dehumanisasi terhadap semua bangsa," ucap Jabara, yang dikemukakan tak lama setelah Ishtar diputar di AS. Komite itu menilai bahwa film komedi termahal ini memperlihatkan sentimen anti-Arab dalam diri Isabelle Adjani, yang salah satu dialognya kepada Hoffman dan Beatty berbunyi, "Dunia kami adalah dunia purba yang penuh tipu daya." Mereka juga keberatan pada Beatty, yang menyuruh Hoffman, "Pergi ke bawah sana, dan bertindak sebagaimana halnya orang Arab." Cetusan-cetusan semacam itu, menurut Jabara, telah menampilkan bangsa dan kebudayaan Arab secara sangat menggampangkan, di samping memperlihatkan, "ketidakpekaan masyarakat Amerika terhadap kami." Di atas semua itu, Komite AntiDiskriminasi merasa terhina oleh lagu penutup film Ishtar, yang kata-katanya menyakitkan telinga. Judul lagunya "Aku Menuju Mekah", liriknya a.l. berkisah tentang pertemuan dengan seorang gadis di bawah pohon, di Kota Suci Mekah. Diingatkan oleh Faris Bouhafa, jubir Komite, bahwa Mekah adalah kota suci umat Islam dan tempat kelahiran Nabi Muhammad saw. Atas nama Komite Anti-Diskriminasi, Bouhafa menuntut Columbia Pictures dan pengedar film agar minta maaf secara terbuka. Ia juga berharap supaya negara-negara berpenduduk Islam melarang peredaran Ishtar. Elaine May dalam satu hal beruntung, dipercaya menghabiskan uang 40 juta dolar, dan bisa menyutradarai leluasa (ia tidak canggung melakukan retake sampai 50 kali). Tapi peluang emas itu rusak karena kurangnya wawasan dan kepekaan terhadap dunia luar, dalam hal ini, Arab, hingga May mengingatkan kita pada unta dalam Ishtar, buta terhadap sekitarnya. Jika saja May tidak Amerika-sentris - mereka umumnya memang tidak banyak tahu tentang dunia luar - barangkali Ishtar bisa digolongkan sebagai komedi mengasyikkan. I.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini