Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) telah menetapkan angklung sebagai warisan budaya takbenda dunia pada 2010. Namun kini setelah 14 tahun, alat musik dari bilah bambu itu dinilai masih sulit menyebar di sekolah untuk dimainkan kalangan pelajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Faktanya kita belum bisa menginternalisasikan angklung secara masif di sekolah sebagai kesenian atau kebudayaan, itu belum berhasil,” kata ketua sekaligus pendiri Tim Muhibah Angklung, Maulana Syuhada di Bandung, Ahad 9 Juni 2024.
Eksistensi Angklung di Sekolah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejauh ini menurutnya, angklung baru dimainkan secara sukarela oleh pelajar di sekolah yang punya kegiatan ekstra kulikuler angklung. Namun saat terjadi pandemi Covid-19 sejak 2020 lalu, kegiatan ekstra kulikuler angklung banyak yang tidak aktif di sekolah. “Setelah pandemi untuk memulainya kembali itu tidak gampang,” ujar Maulana.
Alasan pihak sekolah antara lain kini tidak ada lagi pelatih musik angklung. Tim Muhibah Angklung menurutnya berupaya untuk menghidupkan lagi musik angklung di sekolah. “Supaya angklung yang sudah ada bisa kembali dimainkan dan bisa tumbuh pemain angklung yang baru,” kata dia.
Selama ini belum ada kebijakan dari pemerintah pusat maupun daerah yang memasukkan angklung dalam kurikulum. Menurutnya sekarang baru ada gagasan, keinginan, dan harapan sejak dicetuskan oleh organisasi guru pada sekitar 1980-an. “Waktu itu sudah sepakat angklung menjadi alat pendidikan tapi realisasinya sampai sekarang belum ada,” ujar Maulana.
Upaya Pelestarian Angklung
Kegiatan dan promosi angklung menjadi bagian dari upaya pelestarian setelah dinobatkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO pada 2010. Tim Muhibah Angklung menurut Maulana, setiap tahun menulis laporan tentang kegiatan yang dilakukan untuk pelestarian angklung serta mengikuti acara musik angklung gelaran UNESCO di berbagai negara. Sejauh ini menurutnya status angklung belum terancam untuk dicabut.
Sementara itu di tempat lain seperti Saung Angklung Udjo di Bandung, para pengunjung selain disuguhkan musik angklung juga diajak main bersama. Di tempat itu, mendiang Udjo Ngalagena mengembangkan teknik bermain angklung dengan laras pelog dan salendro. Sebelumnya, alat musik tradisional yang dipakai unuk ritual tertentu itu dikembangkan Daeng Soetigna, seorang guru dan pembina kepanduan, dengan menggunakan nada diatonis kromatis dari semula pentatonis.
ANWAR SISWADI