Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Garin Nugroho: "Film ini adalah Sikap Politik Saya"

27 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAAT perfilman Indonesia gelap-gulita, film Garin muncul bak nyala lilin. Meski ada kelemahan di sana-sini, Cinta dalam Sepotong Roti, yang lahir pada 1991, menerima hujan kritik sekaligus hujan pujian, yang menghambur ke pangkuan Garin Nugroho Riyanto. Bagaimanapun, melalui film ini, Garin mengingatkan bahwa film adalah sebuah ekspresi dan eksplorasi melalui gambar, bukan hanya kata. Berturut-turut, lahirlah film-film berikutnya seperti Surat untuk Bidadari, Bulan Tertusuk Ilalang, dan Daun di Atas Bantal, yang seperti menjadi langganan penerima berbagai hadiah internasional, meski beberapa kalangan mengejeknya bahwa penghargaan yang diterimanya itu tidak cukup prestisius.

Di antara film-film layar lebarnya itu, ayah tiga anak ini juga melahirkan film-film iklan, serial televisi, iklan layanan masyarakat (serial pemilu yang kemudian meledak popularitasnya itu), serta dokumenter—jenis film yang sebetulnya merupakan keahlian Garin yang utama. Dongeng Si Kancil tentang Kemerdekaan, sebuah film dokumenter tentang anak-anak jalanan, produksi NHK, yang menggegerkan itu adalah salah satu karyanya yang menyentuh.

Puisi Tak Terkuburkan adalah karyanya yang baru lahir dan akan beredar segera. Garin baru berusia empat tahun ketika peristiwa Gerakan 30 September itu meletus. Dan bagi warga generasi angkatannya, peristiwa itu dikenal melalui versi pemerintah Orde Baru lewat film Pengkhianatan G30S-PKI atau buku-buku sejarah, yang kini tengah direvisi.

Film Puisi Tak Terkuburkan tidak berpretensi untuk merevisi sejarah. Tapi Garin berupaya menerjemahkan trauma seseorang pada masa itu ke layar lebar. Penderitaan salah seorang korban, Ibrahim Kadir—penyair balada dan pemain didong Gayo yang pernah dipenjarakan 22 hari dengan tuduhan komunis pada 1965—diangkat sebagai sebuah film hitam-putih berdurasi 86 menit. "Idenya berawal dari keinginan saya menafsirkan kembali luka-luka sejarah," tutur Garin.

Berikut ini petikan wawancara tim Layar TEMPO dengan Garin.


Bagaimana awalnya Anda membuat film Puisi Tak Terkuburkan?

Sekitar dua tahun lalu, setelah saya selesai membuat film Daun di Atas Bantal, ada penyandang dana yang bertanya kepada saya tentang karya saya selanjutnya. Saya menjawab bahwa saya tidak bisa membuat proposal untuk minta dana. Tapi, kemudian, saya mendapat subsidi untuk menulis sebuah skenario sekitar Rp 60 juta. Uang itulah yang bisa saya gunakan untuk membuat film apa pun.
Saat itu, saya juga ditanya tentang topik apa yang menarik untuk sebuah film. Saya bilang, sejak Tembok Berlin runtuh (1989), telah terjadi perubahan politik besar-besaran karena terjadi perpecahan negara bangsa.
Seperti teori domino, dari Balkan sampai Indonesia, semuanya pasti terkena pengaruh pergolakan ini karena negara-negara yang mengalami perubahan politik tersebut memiliki dasar masyarakat yang multikultur, yang sudah memiliki luka sejarah yang lama, sehingga terjadi suasana kaos atau kacau.
Waktu itu, saya punya ide membuat tiga cerita, yaitu tentang Irian, Aceh, dan tentang gerakan anak muda. Ternyata ketiga ide saya itu disetujui, tapi waktu itu—Soeharto belum jatuh—saya tidak pernah membayangkan bahwa teori domino perpecahan itu menimpa Indonesia.

Mengapa Anda memilih Aceh atau Irian, bukan daerah lain?

Saya berpikir bahwa biasanya masyarakat multikultur yang punya luka sejarah, ekonomi, hukum, di mana politik dijalankan tanpa etika, akan memiliki potensi konflik. Jadi, ide itu berawal dari upaya saya menafsirkan kembali luka-luka di berbagai bidang. Saya percaya bahwa akan timbul suatu masa transisi yang besar hingga terjadi kekerasan.

Mengapa memilih mengangkat kisah pribadi Ibrahim Kadir ke layar putih?

Karena Ibrahim Kadir adalah orang yang penuh luka. Pada 1965, dia pernah dipenjarakan selama 22 hari setelah dituduh sebagai komunis. Selama itu, ia melihat pembantaian di Gayo, Aceh Tengah—tapi dia berani membuka luka itu dalam sebuah testimoni. Dan yang paling menarik bagi saya adalah sifat penghargaannya terhadap kemanusiaan, bagaimana Ibrahim Kadir mampu membuka luka, tapi tidak melahirkan dendam kekerasan, dan justru melahirkan pemahaman atas nilai kemanusiaan. Ibrahim Kadir adalah orang yang percaya bahwa hidup adalah untuk mengurangi kejahatan secara terus-menerus. Dan itu diungkapkan dalam karya-karyanya.
Nah, di negara yang penuh luka, manusia seperti Ibrahim itu sangat langka. Dari situlah, akhirnya, saya memutuskan untuk memilih dia, tanpa wawancara, tanpa tahu wajahnya, dan sebagainya.
Selain itu, saya juga ingin menunjukkan bahwa kekerasan masa kini itu rahimnya adalah kekerasan pada 1965, di mana peristiwa Gerakan 30 September melahirkan pengadilan jalanan. Orang-orang yang sekarang memimpin itu melewati masa kekerasan itu.

Apakah trauma yang dialami Ibrahim Kadir itu refleksi dari trauma rakyat Gayo atau dari masyarakat yang lebih luas?

Sebetulnya situasinya hampir sama, tapi dalam perspektif yang berbeda. Pada masa Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 1955, kalau seseorang harus ke gunung, dia mengaku sebagai orang gunung—maksudnya orang DI/TII. Sedangkan kalau harus ke kota, dia harus mengaku sebagai orang kota. Contoh lain, jika kita diundang nyanyi didong di gunung, lalu menolak, orang yang di gunung akan curiga. Jadi, sebetulnya, perpecahan itu dimulai dari hal-hal kecil: rumah tangga atau diri sendiri.
Ketika orang melakukan politik kekerasan dan militerisme, terjadilah disintegrasi pada tingkat individu dan keluarga. Hal seperti itu tidak hanya baru terjadi sekarang ini. Itu seperti ungkapan "menunjuk dalam sarung", di mana orang melakukan apa saja, seperti menunjuk orang, untuk mencari selamat. Orang bisa merasakan bahwa disintegrasi itu dimulainya dari individu-individu, pedagang kopi, pedagang tembakau, pendendang....

Bisa Anda ceritakan pertemuan Anda dengan Ibrahim Kadir?

Pertemuan saya dengan Ibrahim Kadir sendiri terjadi pada Februari 1999. Antara Februari dan Juli, saya memutuskan untuk menghentikan semua kegiatan. Nah, waktu itu, di kantor ada dana Rp 300 juta. Lalu, saya pun bilang, "Panggil saja Ibrahim Kadir ke sini!" Semua kru bilang, "Kan, biayanya mahal sekali…." Berikutnya, saya bilang, "Mencipta sesuatu itu selalu ada pintu untuk mengatakan visi kita. Dan, bagi saya, dia adalah visi. Sudah, bawa ke Jakarta, siapkan kamera!" Lalu, syuting dimulai pada Agustus 1999.

Segmen pasar yang mana yang Anda tuju dengan film ini?

Film Puisi Tak Terkuburkan memang tidak untuk konsumsi publik. Ini berbeda dengan film-film saya sebelumnya, seperti Daun di Atas Bantal, yang dari segi penonton mampu menjadi box office. Sebab, nilai-nilai yang disajikan dalam film Daun lebih universal.
Bagi saya, setiap film punya segmen pasar sendiri. Dan film Puisi jelas sekali untuk medium dialog. Untuk itu, segmennya bukan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Konsep pengiklanannya pun adalah konsep dialog. Film ini adalah sikap politik saya. Sedangkan dulu, film sebagai sikap politik adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan di Indonesia. Itu yang membuat saya jengkel….
Dengan segmentasi seperti itulah saya berencana hanya akan memutar film Puisi di bioskop kelas atas sekitar lima hingga tujuh hari, lalu akan saya jual ke televisi, dan dibawa ke diskusi-diskusi dengan mahasiswa. Saya yakin, kalangan universitas punya minat dan respons yang tinggi terhadap film ini.

Ada yang menilai film-film Anda tidak gampang dipahami begitu saja. Apakah penonton Puisi Tak Terkuburkan membutuhkan persiapan khusus sebelum menyaksikan film itu?

Mereka tidak perlu melakukan persiapan apa-apa. Saya yakin, penonton lama-lama bisa memahami pesan yang ada dalam film itu. Memang, calon penonton butuh waktu untuk sosialisasi. Ini kan tafsir bebas pertama (tentang peristiwa G30S-PKI di suatu daerah—Red.) di wilayah publik Indonesia. Karena itu, kita juga harus menyiapkan masyarakat (untuk tafsir bebas peristiwa itu—Red.).

Apakah Anda merasa gagal jika penonton film Anda sedikit?

Saya tidak merasa gagal. Saya sendiri terus mencari sponsor agar bisa melakukan diskusi di kampus-kampus. Pihak sponsor itulah yang akan mengembalikan jumlah uang sebesar nilai yang seharusnya dibayar penonton. Dan memang ada beberapa sponsor yang mau dengan konsep seperti itu.
Bagi saya, keberhasilan sebuah film itu tidak semata-mata diukur dari segi jumlah penonton. Film juga dianggap berhasil dan dikagumi orang karena aspek teknik atau nilai plus tertentu.

Film-film Anda selama ini dikenal kaya gambar. Kenapa film terbaru Anda tidak mengandalkan visualisasi?

Itu pertanyaan bagus, tapi susah sekali untuk dijawab. Masalahnya, dalam film Puisi, kita tidak bisa berbicara tentang kekayaan gambar, tapi tentang tradisi bercerita, bertutur, yang kemudian diterjemahkan dalam peristiwa. Begitu ada tokoh, seperti dalam tradisi wayang, tokoh itu akan bercerita segala-galanya. Tokoh tersebut bisa ditempatkan di mana saja, tidak masalah, asalkan tokoh itu bermain bagus, selesai!

Kenapa Anda membuat film yang mendasarkan pada tradisi lisan seperti itu, bukan dengan tradisi neorealis seperti film Daun di Atas Bantal?

Karena kita bertumpu pada karakter Ibrahim Kadir yang berprofesi sebagai penyair didong. Berbeda, misalnya, saat saya bertumpu pada kehidupan anak-anak jalanan yang karakternya memang realis seperti dalam Daun.

Apakah pembuatan film ini merupakan yang terberat bagi Anda?

Secara energi, film ini adalah yang terberat bagi saya. Sebab, setelah saya membuat film ini, terlalu banyak pertanyaan yang muncul. Ada pertanyaan seperti mengapa saya tulis korban G30S sekitar 500 ribu hingga dua juta orang, apa maksudnya. Itu yang melelahkan. Setelah proses penciptaan, segala-galanya di luar kendali saya karena sudah berada di wilayah publik.

Apakah Anda merasa bahwa karya-karya Anda cukup diapresiasi di Indonesia?

Rasanya, karya-karya saya cukup terapreasiasi. Saya tidak seperti sineas lain yang harus mendapatkan penonton. Saya orang yang sangat sadar proses. Jadi, saya akan memulai suatu hal dengan penonton kecil. Saya bukan seorang ahli pidato dengan jumlah penonton satu stadion. Saya tidak punya kemampuan seperti itu sama sekali.
Saya selalu percaya bahwa ide itu seperti kacang, punya kulitnya sendiri. Jadi, ide (yang kemudian menjadi karya, seperti film—Red.) menciptakan pasarnya sendiri. Itu seperti ekosistem di hutan: setiap tanaman, apa pun jenisnya, pasti ada gunanya, dan walaupun tidak populer, pasti ada gunanya dan pasti akan ada seorang profesor yang tertarik meneliti tanaman tersebut.
Dari segi apresiasi, saya merasa kita memerlukan dialog sikap kritis. Dengan begitu, apresiasinya akan terus berkembang ke oasis-oasis yang lebih kecil. Tapi, bahwa apresiasi di luar negeri itu lebih besar daripada di dalam negeri, itu merupakan suatu kewajaran, sekaligus tantangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus