Kisah cinta menjadi intrik politik. Pementasan ulang yang apik dan matang dipersiapkan. Kerapian yang menghapuskan unsur magis. JAYAPRANA DAN LAYONSARI Penulis: Jeff Last Pemain: Torro Margens, Alex Komang, Nungki Kusumastuti, Eko Hariyanto Sutradara: Teguh Karya Teater Arena TIM, 11-21 Mei 1991 SETELAH 19 tahun, Teguh Karya mementaskan kembali lakon Jayaprana dan Layonsari. Masih berdasarkan naskah yang ditulis oleh Jeff Last (seorang Belanda yang tinggal beberapa tahun di Bali). Kali ini tidak didukung oleh Slamet Rahardjo, Chaerul Umam, dan N. Riantiarno, tetapi Alex Komang (I Gusti Ketut Putus), Torro Margens (raja), Eko Hariyanta (Jayaprana), dan Nungki Kusumastuti (Layonsari). Teguh pun tidak lagi memakai payung Teater Populer, tetapi Padepokan Seni Drama dan Film Teguh Karya. Seperti pementasan sebelumnya, kisah cinta dari Bali itu kembali terhidang sebagai lakon politik. Penuh intrik dalam perebutan kekuasaan. Dibumbui oleh semangat menghantam feodalisme dan kerinduan pada keadilan yang kehilangan dirinya dalam kekuasaan mutlak raja. Jeff Last telah melepaskan kisah ini dari akar Balinya dan menjadikannya dialog sosial. Seakan-akan ia ingin mengaktualisasi kisah percintaan itu sebagai kisah yang relevan dengan kehidupan sosial di masa kini. Hasilnya buat saya menyedihkan. Cerita ini kehilangan unsur-unsur magisnya. Jeff Last tak membunuh Jayaprana. Panglima itu kembali ke kerajaan dan melihat istrinya sudah bunuh diri oleh berita yang salah. Lalu ia berdiri di depan raja yang penuh penyesalan -- karena merasa sudah diperalat oleh I Gusti Ketut Putus -- dan menyarungkan keris di tangan Raja ke dadanya. Lalu Raja ditikam sampai mati oleh sang Inang yang bernama Bintang (Sylvia W. Nainggolan). Sementara itu, Ketut Putus sendiri yang tertawa melihat segala upayanya berhasil kemudian tewas di tangan massa. Jeff Last ingin menciptakan tragedi dengan kematian beruntun itu. Tetapi kematian-kematian tak sempat meneror kita. Kisah Jayaprana dalam masyarakat Bali bukan semata-mata kisah cinta, tetapi semacam bayangan dari kepercayaan bahwa kebahagiaan itu tidak kasatmata. Tidak harus terwujud secara fisik. Sebagaimana Sampek Eng Tay, hidup tidak berakhir ketika seseorang mati, tetapi justru baru mulai. Puncak pesan filosofis kisah ini, ketika Jayaprana menyerahkan nyawanya pada Sawunggaling setelah membaca surat dari raja, hilang di tangan Jeff Last. Juga momentum, ketika Raja, yang telah edan dan melihat rakyatnya hanya sebagai sekumpulan binatang, dibunuh oleh kawulanya sendiri beramai-ramai, tak ada lagi. Jeff Last telah membuat kisah Jayaprana-Layonsari kehilangan ritusnya. Ide tentang kehidupan, konsep tentang dunia yang khas Bali, hanya menjadi kritik dan pesan-pesan sosial klise -- baca: kelas II. Barangkali itulah sebabnya unsur-unsur Bali dalam pementasan malam itu -- tanpa mengurangi hormat saya pada keindahan yang telah digarap Teguh -- hanya menjadi eksotik. Suara gamelan, kostum, adegan barong, dan gerak tari Bali kehilangan magisnya. Pertunjukan cantik itu tak berdarah. Elemen-elemen teater Bali (Wayan Diya) yang dikawinkan dengan musik elektronik (Idris Sardi) dan penataan artistik masa kini (Jufri Tanissan) baru menjotoskan kemanisan. Siapa tahu memang itu sasaran utamanya. Adegan pertempuran di bagian awal, yang mengingatkan kita pada film-film Kurosawa, tidak beringas. Juga pemunculan sosok "barong" yang dalam teater Bali memiliki makna spiritual hanya terasa sebagai selingan. Namun, ada adegan yang amat mengesankan. Ketika Raja berteriak karena terpesona oleh kecantikan Layonsari, lalu mengejar-ngejarnya. Kemudian ia rebah terbaring dan mengucapkan isi hatinya, sementara kedua orang kepercayaannya mendengarkan dengan bingung. Itu nakal, berani, dan spektakuler. Di situ roh teater Bali terasa muncrat dengan kental. Sayang, hal semacam itu terkalahkan oleh keinginan untuk "rapi" . Namun, cita rasa sutradara Teguh Karya yang begitu teliti pada pernik-pernik detail masih tetap mengagumkan. Selama tiga jam, terhidang tontonan yang dikemas apik. Mengalir lancar dalam bloking-bloking yang dinamis dan terjaga. Sekali-sekali membersitkan humor. Di potret yang cantik itu terasa keringat kerja persiapan yang lama (enam bulan) dari seorang sutradara yang berpengalaman. Inilah yang menurut saya paling berharga dalam pementasan ulang ini. Teguh Karya telah berekspresi. Itu membedakan karyanya dengan tontonan rutin yang semata mengejar penonton. Teguh Karya didukung oleh tim pemain-pemain "muda" yang kompak. Torro Margens membawakan peran raja dengan baik walaupun tidak sekental ketika Chaerul Umam membawakannya dulu. Setidak-tidaknya ia tampak berusaha menghadirkan tokoh itu dengan darah-dagingnya sendiri. Berbeda dengan Alex Komang yang, meskipun bermain bagus, terasa seperti ingin mengulang permainan Slamet Rahardjo. Sementara itu, Eko Hariyanto tampak energetik dibandingkan ketika Jayaprana dibawakan oleh Riantiarno di masa lalu. Layonsari, Bintang, Potet, dan Wijil belum berhasil diangkat oleh pendukungnya. Pementasan yang direncanakan akan keliling ke beberapa kota ini diselenggarakan dengan unik. Selama sebelas hari, pada setiap hari Minggu ada pertunjukan matine. Di emperan kanan Teater Arena juga dibuka semacam warung yang menjual kopi -- seperti suasana di off-off Broadway -- New York. Hal yang sebenarnya juga sudah ada dalam peristiwa kesenian kita di kampung-kampung, ketika teater masih menjadi semacam "upacara bersama masyarakat", ketika teater bukan semata-mata barang komoditi tetapi juga tempat "penyucian" batin. Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini